"Bu, Ian berangkat," pamit Adrian seraya menyalakan mesin motornya.
Mala masih mengenakan daster semalam saat ia menghampiri Adrian di depan rumah. Bahkan tangannya masih dilumuri busa pakaian. "Rajin amat maneh. Hayam tatangga ge can kaluar kandang," ujar Mala. Bahkan matahari masih malu-malu menampakan dirinya saat Adrian bersiap untuk pergi sekolah. Waktu masih menunjukan pukul lima lewat tiga puluh menit.
Adrian meringis. "Bimbel isuk, Bu."
"Terus itu si neng Anya kumaha? Moal sakola? Teu acan gugah lain?" Mala melirik ke kamar Adrian yang masih tertutup rapat.
Semalam, Adrian membiarkan Anya menangis hingga perempuan itu lelah dan tertidur di pelukannya. Perempuan yang selama ini sangat ia hindari keberadaannya, semalam justru berada di rumahnya dan tidur nyaman bersandar di dadanya. Wajah cantik yang sering Adrian perhatikan diam-diam selama ini, terlihat tidak memiliki gairah hidup seperti biasanya.
"Yan? Kumaha si neng Anya?" Suara Mala kembali terdengar.
"Bae lah, Bu. Masalahna pelik. Ajeunna teu gaduh sasaha deui, teuing da rek nyare di mana mun peuting teu tepung jeung Ian, mah. "
Mala akhirnya mengangguk. "Dio lain mah tatanggana? Kamana geuning si kasep?"
Ah, Adrian lupa. Dio pun tidak bisa dihubungi dan temannya juga tidak masuk sekolah kemarin. Sepertinya Dio pun tidak tahu masalah yang menimpa Anya. "Ian berangkat nya, Bu, assalamualaikum." Ia langsung mencium punggung tangan ibunya dan memakaikan helm.
***
Kelas sudah ramai saat Adrian masuk ke sana, ia menghampiri Ajeng di meja guru yang sedang menulis agenda menggantikan Anya. Perempuan itu terlihat pendiam.
"Ajeng," panggil Adrian.
Ajeng menoleh sesaat. "Kenapa?"
"Anya—"
"Anya nggak masuk hari ini. Kalau lo masih penasaran Dio kenapa, lo samperin aja ke rumahnya," selorohnya. Ajeng bersiap beranjak dari sana saat Adrian menahan bahunya, membuatnya berdecak sebal. "Bisa nggak jangan ganggu Anya? Gue nggak tahu Anya ke mana, semalam kakaknya nelepon gue dan nanyain Anya tiba-tiba pergi dari rumah padahal dia baru pulang jalan-jalan sama omnya." Ajeng mengusap air mata di sudut bibirnya.
Om yang Ajeng maksud pasti om yang sama dengan yang Anya ceritakan semalam. Yang menjadi ayah kandung perempuan itu. "Sorry, jangan salah paham. Tapi gue—"
"Pak Bagas udah dateng, sana ke bangku lo." Ajeng menunjuk pak Bagas yang sudah datang dengan penggaris
dan buku besar akuntansinya.Adrian membiarkan Ajeng pergi ke bangkunya. Selama bimbingan dimulai, Adrian benar-benar tidak fokus, ia bahkan beberapa kali ditegur oleh pak Bagas karena melamun dan tidak memerhatikan. Dino dan Hendra yang berada di belakangnya pun ikut heran. Tumben sekali Adrian tidak fokus.
"Dio kenapa nggak masuk lagi, Yan?" tanya Dino.
"Nggak tahu. Gue belom ke rumahnya." Adrian menjawab sekenanya.
"Kita ke rumahnya yuk balik sekolah?" ajak Hendra.
"Gue kerja."
Keduanya mendesah kasar. "Kita nongkrong di babeh aja sama anak-anak yang lain."
***
Anya membantu Mala membereskan dagangan di etalase saat Adrian baru pulang. Kaus kebesaran dan celana kolor selutut yang Anya pakai menyambut Adrian yang berwajah masam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Ficção AdolescenteDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...