"P dikurang sembilan ribu, per-sepuluh ribu dikurang sembilan ribu, sama dengan Q dikurang delapan ratus, per-enam ratus dikurang delapan ratus. Nah, jadi, P dikurang sembilan ribu, per-seribu sama dengan...."
Anya menatap papan tulis dan pak Bagas bergantian seraya menguap lebar. Paginya terasa membosankan diiringi lantunan titik keseimbangan pasar yang dijelaskan guru ekonomi tersebut.
Ia melihat sekeliling, teman kelasnya sudah sibuk dengan dunia masing-masing. Menelungkup wajah di atas meja, menutup ponsel dengan buku paket, berbisik dengan teman sebangku, dan ada saja yang mencatat materi. Dio termasuk yang terakhir. Anak teladan.
Pandangan mereka bertemu. Dio tersenyum ke arahnya dengan pulpen yang menunjuk papan tulis di depan. "Tulis. Jangan diem aja," katanya tanpa suara.
Anya mengangguk. Ia mengartikan bahwa Dio menyuruhnya, "Jangan berisik. Tidur aja."
Ia menelungkupkan wajah di atas meja, merapat pada Ajeng yang sibuk mencorat-coret bukunya dengan abstrak.
"Jangan tidur! Ketahuan pak Bagas bisa kena poin!" bisik Ajeng.
"Makanya lo tutupin gue," balas Anya.
"Ogah."
"Ck. Geser, sini!" Ia menarik Ajeng agar lebih mendekat.
"Apaan sih, gak mau."
"Jeng, kerjasama dikitlah."
"Kanya Dwi Sabria." Suara pak Bagas seketika membuat hening. "Tulis titik keseimbangan soal ini."
Ajeng menelan ludah susah payah saat Anya melotot padanya. "Sana," bisiknya.
Oh, tidak semudah itu. Hanya dengan menatap angka-angka di depannya saja sudah membuat Anya pusing. Bahkan ia tidak tahu darimana angka itu berasal.
"Ayo, Kanya. Waktu bimbingan akan habis."
Perempuan itu berjalan terseok menuju papan. Ia melirik Dio yang sibuk menulis di bukunya. Tidak memerhatikan Anya yang bahkan sudah menyita atensi seluruh kelas.
Tangannya gemetar memegang spidol. "I-ini, jadi gini... hm, P ini..."
"Ayo, Kanya. Teman-temanmu sudah menunggu," ujar pak Bagas mengeluarkan logat bataknya.
Anya mendengkus kesal. Selama bimbingan ekonomi, ia tidak pernah memerhatikan pak Bagas menjelaskan materinya. Anya terlalu malas dengan neraca saldo, titik keseimbangan dan teman-temannya.
"Kemarin kita sudah bahas cara menentukan titik keseimbangannya. Tinggal kamu aplikasikan saja."
"Pak." Dio mengangkat tangannya. "Saya mau konsultasi tentang olimpiade minggu depan."
Pak Bagas mengangguk. "Ayo, di luar."
Anya bernapas lega.
"Kanya, kamu selesaikan itu sebelum bimbingan berakhir."
Sialan! Tidak jadi bernapas lega.
Pak Bagas berjalan keluar kelas diikuti Dio. Tangan laki-laki itu terangkat untuk meraih tangan Anya, kemudian menyerahkan selembar kertas yang sudah kusut. Ia menatap Dio yang sudah berdiri di ambang pintu kelas. Yang balas menatapnya dengan dagu terarah pada kertas yang sudah di tangannya.
Oh, God! Anya sangat menyayangi Ladio Harsa! Ini baru namanya teman!
Dino bersiul. "Enak bener lo, Nya. Bagi tips dong biar dikasih jawaban sama Dio kalau disuruh ke depan."
"Dio cuma mau sama yang cantik, ya. Bukan modelan kayak lo!" sahut Hendra di kursi belakang.
"Oke, gue kalah! Sekarang ngomonginnya fisik!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Teen FictionDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...