Perpustakaan pada jam satu siang cukup sepi, hanya ada beberapa siswa yang sedang belajar di sana dan penjaga perpustakaan yang terlihat susah payah membuka matanya. Cuaca sedang panas di luar, AC di dalam seolah meniupkan kelopak matanya agar tertidur lelap.
Jam kosong setelah istirahat kedua hingga pulang nanti membuat suasana di kelas sudah tidak lagi kondusif. Beberapa teman Dio mulai membentuk lingkaran di belakang kelas sambil menggenjreng gitarnya untuk mengiri lagu, para perempuan sudah terbagi menjadi beberapa kelompok untuk begosip atau sekadar menonton drama Korea di kelas. Sementara Ajeng memilih tidur di bangkunya karena semalaman begadang menjaga neneknya yang sakit. Maka, saat Dio memutuskan untuk belajar di perpustakaan, Anya menyusulnya setelah menutup telepon dari ibunya.
Sejak tadi perempuan itu hanya memainkan game block puzzle rekomendasi Caca di samping Dio. Laki-laki itu tidak mengeluarkan suara apapun selain hebusan napasnya yang sesekali terdengar. Dio seolah punya dunia sendiri jika sedang belajar.
Bosan dengan ponselnya, Anya merebahkan kepalanya di atas meja, tersenyum manis menatap Dio dari samping. "Di, gue penasaran banget sama hal ini."
"Hal apa?" Dio mencoret buku soalnya setelah menemukan jawaban soal matematika.
"Icis beneran kerja?"
"Kok kepo?"
"Soalnya gue emang jarang lihat dia kumpul bareng sama Dino dan yang lain. Terus lo juga pernah bilang dia kerja. Emang dia kerja apa?"
"Bukan hak gue untuk ngasih tahu," jawab Dio.
Anya cemberut. "Pelit!"
"Kenapa mau tahu?"
"Siapa tahu Icis butuh bantuan? Gue juga mau kerja."
Dio mengalihkan tatapannya pada Anya. "Gini, pekerjaan Ian bukan sesuatu hal yang harus dikerjakan dengan otak tapi—"
"Otot? Lo meragukan tenaga gue?"
Dio menggeleng. "Keterampilan. Intinya lo jangan coba-coba, ya."
"Apakah pekerjaannya ekstrem? Membahayakan nyawa seseorang? Kriminal?"
Dio menggeleng samar, ia menahan kedutan bibirnya yang hampir tertawa. "Jangan aja. Lagian, lo harus fokus buat ujian. Udah konsul sama kak Faya soal prodi yang lo pilih?"
"Belom. Gue mau ambil psikolog juga mereka gak peduli."
"Kan belom dicoba, Nya, jangan pesimis gitu."
Anya mengangguk. "Kalau kak Faya mau ngomong sama gue, ya. Komunikasi itu dua arah, tapi kalo kak Faya-nya nggak mau, gue nggak bisa ngomong."
"Iya. Tapi lo yakin ambil psikolog, kan?"
Bukannya menjawab, perempuan itu justru tersenyum lebar. "Gue ambil yang sekiranya biaya per semesternya mahal. Gue mau lihat reaksi mereka."
Terdengar helaan napas kasar dari Dio. Ia sudah tidak bisa memberi tanggapan lagi dengan pola pikir temannya. "Jangan begitu. Niat lo udah jelek duluan. Cari prodi yang sesuai dengan minat lo."
"Tapi mereka bahkan gak peduli rapor gue. Mereka nggak pernah nanya apa cita-cita gue, apa yang gue mau, apa mimpi gue. Mereka nggak peduli itu. Yang mereka mau gue pergi dari rumah secepatnya," jelas Anya.
Dio memusatkan atensinya pada Anya, mencoba menahan kekesalannya dan meraih jemari perempuan itu. "Mereka mungkin nggak peduli itu, tapi gue peduli. Gue mau tahu apa minat dan mimpi lo. Gue akan selalu support apapun yang lo pilih demi kebaikan lo. Paham?"
Anya menatap lawan bicaranya kemudian mengangguk, lalu mengusap sudut matanya yang berair.
"Jadi, minat lo apa? Hal yang menurut lo itu passion lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Genç KurguDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...