| Dua puluh : Rumah |

45 26 6
                                    

Satu Minggu berlalu, ujian tengah semester telah selesai, namun tidak ada kata longgar untuk kelas dua belas. Materi pembelajaran dikulik lebih dalam, guru per-mata pelajaran membuat kelompok belajar agar materi pelajaran tetap tersampaikan dalam waktu singkat. Bimbingan belajar di pagi hari tetap berjalan seperti semestinya, konsultasi pada guru bimbingan konseling pun dilakukan secara bergantian oleh siswa.

OSN yang Dio ikuti pun berjalan lancar. Laki-laki itu kembali menyumbangkan piala untuk sekolah, namanya dipasang di mading, menjadi trending topik di sekolah. Ladio Harsa selalu menjadi panutan dan pujaan bagi warga sekolah yang lain. Tidak heran Alanis ketakutan Anya akan merebutnya.

Ah, menyebalkan hanya dengan mengingat nama pacar temannya itu.

Anya memilin pulpennya dalam diam, sesekali menutup mulutnya yang menguap lebar. Penjelasan pak Jamal mengenai dampak pertumbuhan penduduk di pusat kota sama sekali tak ia hiraukan. Pukul dua siang ke atas memang waktu-waktu rawan bagi guru maupun murid untuk tertidur, ditambah lagi hujan deras membasahi kota Bogor.

Lihat saja, Dio yang notabene-nya juara kelas, anak kesayangan pak Jamal, ikut menopang dagu di atas meja sembari menatap malas layar proyektor. Jangan tanya bagaimana ia bisa bertahan sementara teman-teman yang lain meletakan kepala di atas meja yang kemudian ditutupi buku paket geografi, pasalnya pak Jamal selalu mendebarkan.

"Saat terjadi gempa dan kita terjebak di dalam lift, apa yang harus kita lakukan?" Pertanyaan itu terlontar. "Ajeng Gitaskiya."

Tuh, kan!

Dio menoleh ke belakang, Ajeng dengan muka bantalnya membuka asal buku di depannya.

"Jawabannya, Ajeng."

"Emmm... anu, Pak," Ajeng menggaruk pelipisnya gugup.

"'Saat terjadi gempa kita sedang berada di dalam lift, apa yang harus kita lakukan?' itu pertanyaannya, Jeng," jelas Dio.

Ajeng mengangguk. "Hmm... tekan semua tombol di lift."

Pak Jamal mengangguk. "Kalau kalian bisa fokus, poin kalian akan bertambah, tapi kalau lengah—ya sudah, poin berkurang."

Ini yang dimaksud mendebarkan. Jangankan untuk tertidur, membuang pandangan ke arah lain saat materi sedang di sampaikan saja Dio tidak akan mau. Poin itu berharga untuknya.

"Sudah memahami materi yang baru saja disampaikan?" tanya Pak Jamal yang menatap ke penjuru kelas.

Hening.

Seluruh murid terdiam. Tentu saja belum. Mereka baru tersadar saat nama Ajeng disebutkan. Kalaupun sudah, jawabannya hanya Ladio Harsa.

"Karena tidak ada yang jawab, untuk bimbel besok pagi kalian siapkan proyektor, kita kuis soal UN 2018."

Terdengar protesan dari seisi kelas.

"Waktu pulang setengah jam lagi, kalian habiskan untuk tidur. Dio, tolong bantu bapak bawa laptop ke ruang guru."

***

"Sumpah ya, pak Jamal bikin gue jantungan tahu!" gerutu Ajeng.

"Siapa suruh lo tidur?" ucap Anya.

"Ngantuk banget, sumpah, Nya!" Ajeng mengacungkan jarinya membentuk huruf V. "Gila apa ya, mana bisa gue melek kalau ujan gini. Bawaannya ngantuk terus!"

Penjelasan Ajeng disetujui Dino. "Enaknya makan Indomie tambah telor setengah mateng."

Setengah jam berlalu, meja mereka diisi gerutuan mengenai pak Jamal. Hendra, Dino dan Ajeng jelas merasa paling kesal. Sementara Adrian hanya tertawa bersama Anya. Jangan tanya Dio, jelas lelaki itu sibuk dengan ponselnya sejak tadi.

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang