Anya menguap lebar saat menuruni motor. Beruntungnya pagi ini tidak ada bimbingan belajar. Perempuan berseragam sekolah itu hanya mengangguk-angguk mendengarkan omelan Faya yang sering kali menjadi nyanyian paginya.
"Nya!"
"Iya, Kak."
"Kamu dengerin kakak gak, sih? Jangan sampai kamu pulang telat lagi."
Ah, itu lagi. "Kakak udah bilang itu sejak semalam," kata Anya.
Faya mendengus kasar. "Ya udah, kakak berangkat."
Anya bergumam, kemudian mulai menyusuri koridor yang tampak sepi. Kemarin ia pulang pukul tujuh malam dari rumah Dio. Menghabiskan hari liburnya dengan Dio seharian—yang batal ke rumah Dino karena hujan sepanjang hari—malamnya Faya mengomel saat Anya tak bisa dihubungi dan pulang dengan keadaan basah kuyup sementara ia berpesan untuk tidak pulang terlambat.
Ia menghela napas kasar, beruntungnya nyeri di pinggang sudah mereda karena tidur di kamar Dio setelah menangis lalu menghabiskan camilan buatan Eva dilanjut dengan bermain hujan di lapangan basket.
Anya berbelok ditikungan koridor, matanya memicing melihat sosok Adrian yang tengah berbincang dengan siswi menarik perhatiannya.
"Oke, La. Nanti dikabarin lagi, ya."
Perempuan itu mengangguk, lalu tersenyum anggun. "Duluan ya, Ian."
Adrian mengangguk. Memandang punggung perempuan itu yang mulai menghilang di tangga.
"Oh... jadi gebetan lo si Daleya anak IPA," gumam Anya.
Adrian melengos mendapati Anya pagi ini sudah mengganggunya.
"Gue yakin, sih, gak bakal jadian."
Adrian melotot. "Gak usah sok tahu!"
"Just feeling. Mau denger pendapat gue gak?"
"Gak usah urusin hidup gue. Dan gue gak perlu pendapat lo." Adrian melangkah cepat menaiki tangga, berusaha menghindari Anya.
"Elah, buru-buru amat, sih, Cis." Anya mengejar langkah Adrian. "Lo tahu gak kenapa cewek gak mau pacaran tapi mau diajak jalan?"
Langkah itu terhenti tiba-tiba. "Kenapa?"
"Pertama, dia cuma manfaatin lo dalam hal tertentu. Bisa uang lo, tenaga lo, atau fisik lo—misalnya; buat bikin cemburu cowok lain."
Adrian memutar tubuhnya. "Kedua?"
"Kedua, dia cuma main-main. Ada kepuasan tersendiri saat dia berhasil bikin lo melting. Ada sensasi luar biasa yang bikin dia bangga sama dirinya sendiri setelah si korban tersakiti."
"Gak masuk akal." Adrian menggeleng.
"Bagian mananya gak masuk akal?"
"Kenapa juga harus gue yang dia deketin?"
"Emang kenapa? Masalah buat dia? Nggak. Masalahnya buat hati lo doang," katanya diakhiri gelak tawa.
"Lo pikir gue bakal percaya sama omong kosong lo ini?"
Anya menggeleng cepat. "Gak ada yang menjamin kalau dia juga suka sama lo. Gue tebak, lo udah nembak dia."
Tak ada jawaban dari sang empunya.
Anya menjentikan jarinya. "Dan dia pasti nolak secara halus. Atau ngeles dan ngulur-ngulur waktu."
"Menurut lo, Dalila ada di opsi mana?"
Anya mengedikkan bahunya. "Kenapa gak lo tanya langsung ke orangnya? Cewek itu penuh manipulatif, Cis. Apa yang dia rasain bisa ditutupin dengan apik."
"Termasuk elo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Kita Temukan Jalan Pulang
Ficção AdolescenteDio terbiasa hidup dalam rencana-rencana yang telah orang tuanya susun. Termasuk belajar giat agar bisa masuk PKN-STAN yang ayahnya inginkan. Baginya, Anya seperti matahari setelah hujan, selalu ada harapan ketika semuanya jatuh berantakan. Sejak ke...