| Dua Puluh Delapan : Bertaut |

50 17 3
                                    

Dio mencoba mencari Anya dari tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama. Timezone, Richeese dan beberapa tempat makan yang Anya sukai, saking tidak percayanya ia juga pergi ke rumah Ajeng dan memeriksa kebenarannya bahwa Anya memang tidak ada di sana. Teman kelasnya itu benar-benar terlihat khawatir namun tidak bisa membantu banyak. Mereka terlalu buntu karena selama ini pun Anya tidak pernah jauh dari rumah apalagi menginap di rumah orang lain.

Hingga Dio menepi di warkop babeh Udin, memesan segelas wedang jahe dan duduk termenung di sana. Beberapa kali ia menghubungi Anya namun tetap tidak aktif.

Laki-laki berseragam sekolah menyampirkan tas di sebelah bahunya, kemudian duduk di samping Dio. "Beberapa hari ini lo nggak masuk sekolah, dan sekarang lo bisa duduk santai di warkop babeh?" Adrian sempat khawatir dengan temannya itu karena pesan dan teleponnya pun tidak mendapat jawaban dari sang empunya. "Abis dari sini waktu itu, lo diapain sama Tante Eva?"

"Hape gue di sita, gue nggak boleh sekolah dan harus bimbel di rumah." Dio meremat buku-buku jarinya hingga memutih. "Gue bahkan baru tahu barusan kalau Anya pergi dari rumah sejak kemarin."

"Jadi sekarang lo lagi nyari dia?"

"Iya. Gue harus menemukannya hari ini juga."

Adrian amati ekspresi Dio sejak tadi, keras dan sulit ditebak, namun rasa khawatir itu lebih mendominasi.

"Kenapa harus nyari Anya? Dia mungkin nggak kenapa-napa hari ini?"

"Itu masih mungkin."

"Anya berarti banget buat lo?"

Dio meneguk wedang jahenya, menatap lurus pada jalanan ramai di depannya. Tatapannya melesat jauh. "Nggak peduli orang lain beranggapan apa, tapi udah pasti gue sayang sama dia lebih dari apapun. Bagi gue, dialah pusat dunia."

Adrian membuang pandangan ke arah lain. "Anya di rumah gue."

Atensinya beralih pada temannya. "Anjing?!"

"Temui pusat dunia lo itu. Tapi jangan paksa dia pulang kalau memang nggak mau." Adrian beranjak dari sana, menghela napas pelan kemudian meninggalkan temannya.

***

Dio sampai di rumah Adrian saat Mala sedang membereskan dagangannya dibantu Anya. Mereka tidak menyadari kehadirannya. Perempuan itu terlihat bahagia bercanda bersama Mala dan Caca seolah masalah yang ia alami tidak pernah terjadi. Anya memakai kaus milik Adrian dan celana olahraga Bina Bangsa, lusuh namun tetap cantik.

"Eh, si kasep!" Tatapan Mala berbinar kala menyadari kehadiran Dio. "Meuni teu aya sora datang, teh, ih. Ian na teu acan uwih."

"Tadi patepung di jalan, Bu." Dio tersenyum tipis.

"Oh, kitu. Naha teu bareng atuh?"

"Jigana aya urusan keneh di si babeh."

Mala mengangguk. "Ka lebet, hayu."

Dio mengangguk sopan. "Dio nambut Anya sakedap nya, Bu?"

Wanita paruh baya itu melihat keduanya bergantian. "Oh... eunya, sok. Neng Anya sok ngobrol, biar ibu yang ngeberesin ini."

Setelah Dio mengucapkan terima kasih dan membiarkan Mala membawa beberapa peralatan dagang ke dalam rumah. Tatapannya kini beralih pada Anya yang mematung di tempat. "Kita bicara di mobil aja, yuk? Nggak enak dilihat tetangga."

"Caca boleh ikut gak?" tanya anak perempuan yang sedari tadi duduk di teras.

Dio berjongkok di depan Caca, mengusap puncak kepala anak itu dengan senyum terpatri di wajahnya. "Caca di sini dulu, ya. A Dio cuma sebentar. Nanti pulangnya A Dio beliin es krim di warung depan."

"Oke!" Caca mengangguk senang, kemudian memasuki rumah mengikuti ibunya.

Anya mengikuti langkah Dio keluar gang rumah Adrian menuju mobil sahabatnya yang terparkir di sisi lapangan yang tak jauh dari mulut gang. Dio membukakan pintu sebelah kemudi untuk Anya, kemudian ia duduk di kursi kemudi. Mereka diam untuk beberapa saat, melihat jalanan yang terlihat sepi karena hari memang sudah cukup malam.

"Maaf." Dio lebih dulu membuka suara. Tatapan mereka bertemu, Dio tidak tahan untuk memeluk perempuan ini. "Maaf lo harus mengalami ini sendiri. Maaf karena gue mengabaikan semua chat dan telepon lo. Maaf gue baru bisa cari lo sekarang. Maaf, Nya."

Anya membalas pelukannya. "Nggak pa-pa. Gue baik-baik aja. Justru gue yang minta maaf karena membiarkan lo melalui hal berat itu sendirian. Harusnya gue paksa pak Didi buka gerbang dan ketemu sama lo."

Dio menggeleng. "Nggak. Ini salah gue."

"Di, jangan salahin diri lo sendiri." Anya mengusap punggung Dio yang bergetar. "Gue nggak pa-pa. Harusnya gue udah ngerti dari sikap mereka selama ini kalau gue bukan anak kandung mereka. Gu-gue... harusnya gue tahu—" Anya tidak bisa melanjutkan ucapannya karena dadanya sesak, lehernya sakit saat menahan tangisnya.

Dio mengecup puncak kepala Anya beberapa kali. "Nangis aja gak pa-pa."

Tangisnya akhirnya pecah. Ia memeluk Dio seolah laki-laki itu akan pergi jauh. Meluapkan semua apa yang ia rasakan beberapa hari ini. Hanya bersama Dio, ia bisa dengan bebas menangis, meraung, mencurahkan semua isi hatinya. Rasa sesak yang sejak kemarin bersemayam di hatinya akhirnya Anya keluarkan di pelukan Ladio Harsa.

Seperti Anya yang memeluknya tiga tahun lalu, Dio kini melakukan hal serupa pada sahabatnya. Ketika ia sedang hancur berantakan, Anya membawa harapan bahwa semua akan baik-baik saja.

Setelah membiarkan Anya meluapkan kesedihannya, perempuan itu bersandar pada bahunya dengan napas masih tersendat. Dio mengusap surai panjang Anya.

"Maaf karena ucapan gue saat itu keterlaluan. Sebelumnya mama telepon gue dan bilang dia nggak mau tahu apapun masa depan yang gue pilih, yang pasti gue harus bisa melakukannya sendiri dan nggak merepotkan mereka." Anya mencubit kaus yang Dio pakai, mengusapkannya ke sudut mata perempuan itu. "Gue merasa benar-benar sakit. Gue ketakutan kalau lo dan yang lain akan pergi di saat gue nggak siap untuk ditinggalkan."

"Lo bilang, gue adalah rumah. Maka, tetap jadikan itu rumah dan pulang ketika lo merasa lelah. Seperti janji gue, gue akan selalu membawa lo pada rencana-rencana yang telah gue susun. Kita nggak akan meninggalkan satu sama lain setelah ini. Paham?" Dio menegaskan bahwa Anya tidak akan sendirian. Sekalipun keluarganya atau Ajeng pergi dengan kesibukannya, Dio tetap akan berada di samping perempuan itu, dan berusaha melakukan yang terbaik untuknya.

"Apa gue boleh berharap sama lo? Setelah om Hans yang menganggap gue keluarga ternyata bohong sama gue?" Anya mencari keyakinan pada netra laki-laki itu.

"Boleh." Dio mengangguk yakin.

"Makasih, Di. Makasih karena lo selalu ada sampai saat ini." Anya kembali memeluk Dio dan kembali menjatuhkan air matanya.

Dio balas memeluknya dan menyandarkan kepalanya di bahu perempuan itu. "Dengar, Anya... gue yakin, om Hans dan keluarga lo yang lain punya alasan tersendiri kenapa menyembunyikan ini dari lo. Mereka pasti akan jujur tapi nunggu waktu yang tepat. Lo harus dengar apapun alasan mereka dan apa yang mereka rencanakan. Jangan menyimpulkan semuanya sendiri, oke?"

Sayangnya, Anya tidak langsung menjawab. Ia membentuk pola abstrak di punggung Dio dengan jarinya. Masih bimbang dan kecewa atas rahasia yang keluarganya sembunyikan. Ia masih belum bisa menerima semua fakta yang ada.

"Nggak harus sekarang atau besok, kok. Setelah lo siap aja. Take your time, okay?"

Ia akhirnya mengangguk. "Lo mau nemenin gue ketemu mereka nanti?"

"Sure, Princess."

***


Halooo, akhirnya event 25 days menulis selesai hari iniiiii. donat seneng banget akhirnya bisa konsisten nulis selama 25 hari ini, makasih buat temen-temen pensi dan readers yang udah bantu vote + komen di lapak ini 🤍

06/07/24

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang