| Lima : Celengan ayam |

109 62 8
                                    

Dio meninggalkan lapangan saat permainan dimenangkan olehnya dengan skor 12:10. Ia meraih handuk kecil yang tersampir di kursi sebelum mengetikan sesuatu di ponselnya. Sementara Adrian meneguk es jeruk yang telah dibuatkan Eva untuk mereka.

Ia kembali men-dribble bola oranye di tengah lapangan, tanpa memedulikan Dio yang mulai berjalan menjauh sambil mengangkat telepon dari Alanis dengan senyum mengembang. "Dasar bucin," gumamnya.

Beberapa kali Adrian berhasil memasukan bola ke dalam ring, dan sudah terhitung lima belas menit berlalu Dio belum juga kembali. Membiarkan bola menggelinding tak tentu arah, ia meraih ponsel di atas meja. Pesan terakhir untuk Dalila hanya centang dua biru.

"Kok gak dibales, ya." Adrian memandang profil perempuan berambut panjang dengan senyum manis itu seraya meneguk habis minumnya.

"Dor!"

Uhuk. Es itu mengenai kaosnya.

Anya mendadak panik saat melihat sang korban bukanlah Dio. Ia menepuk-nepuk punggung Adrian lalu menyerahkan susu stoberi miliknya.

"Lo gila apa, ya?!" seru Adrian setelah meneguk susunya. Ia menyingkirkan sari-sari buah di kaosnya yang sudah lengket.

"Sorry-sorry, gue kira Dio."

"Dua kali lo bikin gue hampir mati!"

Anya meringis. "Gak sengaja, serius."

Adrian mendengkus. Kembali meneguk susu stoberinya sampai habis. Tak mengerti dengan pola pikir perempuan yang bahkan sudah menuju tahun akhir SMA ini. Terlalu kekanakan.

"Gak bakal gitu lagi, deh. Janji."

"Lagian lo gak ada kerjaan banget, sih. Kalau ternyata gue punya riwayat jantung, gimana? Terus gue langsung mati di tempat. Emangnya lo mau tanggung jawab?" cecarnya.

Anya menggeleng.

"Gak mau tanggung jawab?!"

"Bu-bukan!" Anya menggeleng lagi. "Maksudnya, gak mau Icis punya riwayat jantung, ih!"

"Tapi sikap lo malah bikin gue cepet jantungan!" serunya.

"Tapi kan tadi udah janji gak gitu lagi!"

"Gak bisa dipercaya!"

"Ih, nyebelin!"

"Biarin!"

Dio kembali dengan dahi berkerut, karena dari jauh, suara Anya dan Adrian terdengar berisik. "Kenapa sih, kok ribut-ribut?"

Anya gelagapan. "Anu, itu," tatapannya bergerak gelisah. "Susu stoberi gue diminum Icis!"

Adrian mendelik. Apa-apaan perempuan ini! "Enak aja! Kan lo sendiri yang ngasih ke gue!"

"Itu kan buat Dio!"

"Mana gue tahu!"

"Harusnya kan jangan dihabisin!"

"Suka-suka gue-lah!"

"Ih, Icis nyebelin banget, deh!"

Dio terkekeh melihat Anya kalah. Biasanya ia yang akan selalu kalah kalau adu mulut dengan Anya. "Udah, udah. Nanti beli lagi aja."

"Belinya jauh, harus ke depan dulu," keluh Anya.

"Lebay. Lo kan punya kaki, jalanlah!"

Anya mengerucut bibirnya sebal. "Ladi, Icis kok senewen banget, sih, sama gue!" adunya pada Dio.

"Ya iyalah! Gue masih kesel sama lo," kata Adrian.

"Emang gue salah apa, sih?"

"Salah lo banyak. Gue belum maafin lo soal ayam sialan itu."

Mari Kita Temukan Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang