02

882 118 0
                                    

Minggu pagi yang cerah, namun tak secerah raut wajah seorang gadis yang terlihat jelas tidak nyaman di acara yang diadakan di rumahnya. Gadis itu Jung Jae-i, yang baru saja kembali beberapa hari lalu setelah tiga bulan lamanya tinggal di Amerika Serikat.

"Putrimu sangat cantik. Sangat mirip dengan ibunya." Tersirat ketidaknyamanannya dari kedua iris kembarnya. Jae-i tidak suka jika dirinya disamakan dengan ibu tirinya.

"Mirip denganku? Kurasa Jae-i jauh lebih cantik." Lihatlah bagaimana cara wanita itu mencari muka, jujur saja Jae-i tidak betah berlama-lama berada di sana, jika boleh ia ingin sekali pergi meninggalkan tempat itu dan mencari tempat untuk menyendiri.

"Sudah cantik, pintar pula. Kalian pasti sangat bangga. Woojin bilang, Jae-i peringkat kedua di SMA Jooshin." Siapapun tahu bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan putri sulung pemilik Jooshin Group di SMA Jooshin.

"Untunglah anak-anak kami bisa mengurus semuanya sendiri. Dan dengan membanggakannya, Jaehyeok jadi lulusan terbaik di SMP Hanguk." Senyum di wajah Jae-i menghilang saat wanita yang duduk di sisi kiri ayahnya berbicara, membanggakan anak laki-laki yang tak lain adalah adik tirinya.

Selama acara makan bersama itu Jae-i hanya diam, berbicara seperlunya dan senyum tipis sesekali terlukis di wajahnya sebagai jawaban. Sepertinya ada yang memihaknya, entah itu waktu atau mungkin keadaan membuatnya berhasil terlepas dari situasi memuakkan meski sebentar.

Berjalan meninggalkan meja makan yang disusun rapi di taman, Jae-i mencoba untuk menarik diri dari keluarganya dan orang-orang yang diundang ayahnya untuk acara makan bersama. Namun, sepertinya ayahnya tak membiarkan dirinya bernapas sejenak, sebab lelaki dewasa itu entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya, memanggilnya membuatnya mau tak mau menoleh. "Kenapa? Kau tak nyaman? Ayah lihat kau tidak makan."

"Aku baik-baik saja." Jawaban yang terlontar berbanding terbalik dengan apa yang ia rasakan. Jae-i tidak berani mengatakan jawaban sesungguhnya pada laki-laki di hadapannya.

"Kita akan minum teh di lantai dua. Bersiaplah," ujar sang ayah.

"Ya, baiklah." Ia berbalik ingin melanjutkan langkahnya karena ia merasa tak ada lagi sesuatu yang akan ayahnya sampaikan. Namun, ternyata dugaannya salah, lelaki dewasa itu kembali berbicara menghentikan pergerakannya meski baru dua langkah.

"Omong-omong bajumu itu... kau memilihnya sendiri?" Jae-i meneliti penampilannya setelah berbalik menghadap ayahnya. "Sebaiknya kau ganti baju. Baju itu tak cocok di acara seperti ini. Banyak yang memperhatikan detail kecil, bahkan hingga selera berpakaianmu. Menurut Ayah, lebih baik kau kenakan pakaian yang elegan seperti ibumu."

"Maksud Ayah, ibu yang mana?" celetuknya, bisa ia lihat ayahnya mengetatkan rahangnya seperti menahan emosi. "Ibu tiri?" lanjutnya menyambung pertanyaan sebelumnya.

"Itu lagi!" Bukan lagi menjadi rahasia bahwa ayahnya selalu meledak jika dirinya bertanya seperti itu. "Tentu saja istri Ayah. Ibu yang membesarkanmu, bukan yang melahirkanmu." Jae-i terdiam tak melawan meski hatinya terasa sakit saat mendengarnya. "Intinya, ganti bajumu. Sekarang juga."

"Akan kuganti," balas Jae-i berbalik melanjutkan langkahnya, tetapi lagi-lagi ayahnya bersuara. "Kalau begitu, sekalian." Jae-i membalikkan tubuhnya lagi menatap jengkel ayahnya yang maju beberapa langkah hingga jaraknya benar-benar dekat dengannya. "Sebaiknya kau ganti warna lipstick ini," titah ayahnya sambil menghapus kasar pewarna bibir yang digunakan Jae-i.

"Lihatlah warnanya, sangat murahan. Sama seperti ibu yang telah melahirkanmu. Ayah berharap, kau bersikap layaknya putri Ayah. Layaknya putri dari Jaeyul Group."

• • •

"Mau kemana?" Rian bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari tablet di tangannya. "Menemui kekasihku." Terkejut dengan pengakuan yang tiba-tiba, Rian meletakkan benda digenggamannya beralih menatap kembarannya yang terlihat rapi menggunakan kemeja juga celana panjang.

HierarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang