17

241 58 0
                                    

Arin terbangun dari mimpi buruknya, ia melirik jam digital yang berada di atas nakas sebelah tempat tidurnya, waktu menunjukkan pukul setengah dua dini hari, masih cukup lama hingga matahari terbit menyapa bumi. Merubah posisinya menjadi duduk, Arin melamun sebentar, rasanya mimpi buruk yang baru saja hadir dalam bunga tidurnya terasa begitu nyata.

Perutnya bergemuruh riuh, tanpa berpikir panjang ia pun beranjak meninggalkan tempat tidurnya menuju dapur. "Mau kemana?" Suara Rian menyapanya begitu ia menutup pintu kamar, tanpa menatap pemuda yang lebih tinggi darinya itu, ia pun menjawab, "Dapur. Kau sendiri?"

Rian tidak menjawab, ia hanya diam namun langkahnya mengikuti kemana Arin pergi. Duduk di kursi meja makan, sorotnya tak lepas dari punggung Arin yang sibuk memasak mie instan.

"Hei, Kim Arin!"

"Hei, jangan karena kau adalah kakakku, kau bisa berbuat semaumu!"

"Baiklah, lakukan saja. Kita buktikan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Kalau aku kalah, aku akan menuruti semua perkataanmu seumur hidup, tapi jika aku menang...

kau harus bertanggung jawab atas semua yang telah terjadi. Berjanjilah tak akan ada lagi derajat dan perbedaan kasta antara murid biasa dan murid beasiswa."

Buru-buru kesadaran menarik Rian dari lamunannya ketika semangkuk mie instan tersaji di depannya. Kepalanya yang tadi menunduk, kini mendongak menatap Arin yang duduk di seberangnya, gadis itu nampak tak acuh dengan tatapannya.

"Gadis itu diasingkan setelah membuat kekacauan di malam pertemuan bersama lelaki yang dijodohkan dengannya." Arin berceletuk seolah mengetahui kegundahan hati Rian beberapa hari belakangan ini. Rian menghentikan gerakan tangannya, matanya menyorot bingung ke arah saudari kembarnya.

"Kau mencarinya, bukan? Kau bahkan sampai bertanya pada Kang Ha kemana dia pergi dan menghilang." Kali ini Rian benar-benar memusatkan atensi pada Arin seluruhnya, ia menunggu kelanjutan penjelasan yang mungkin Arin ketahui mengenai Jung Jae-i.

"Maaf," kata Arin tiba-tiba.

"Aku mengganggu hubunganmu dengan Jae-i," lanjut gadis yang sudah selesai memakan mie instannya.

"Apa alasanmu melakukan itu?" tanya Rian penasaran akan tujuan mengapa Arin selalu melarangnya berhubungan dengan Jae-i.

"Aku hanya..." Kepalanya menunduk sejenak, menimbang kembali apa yang ada di pikirannya sebelum ia mengatakannya. "Aku... melakukan apa yang diperintahkan Ibu meski sebenarnya aku tidak ingin."

Rian terdiam, ia tidak tahu jika Arin masih saja menuruti perintah ibunya meski gadis itu terlihat tidak akur dengan wanita yang telah melahirkan mereka. "Kau adalah penerus Jooshin, Rian. Kau adalah harapan Ibu satu-satunya, kau adalah segalanya untuknya, kau anaknyaㅡ"

Senyum miris tersungging di bibirnya, Arin mengeratkan pegangannya pada mangkuk kosong di depannya. "Ya, kau anaknya. Hanya kau satu-satunya anak yang terlihat di matanya."

• • •

"Inhan, ini aku, Kim Arin." Tak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya, iris coklatnya terpaku pada foto kecil Inhan yang menjadi penanda tempat penyimpanan abu milik pemuda itu.

"Aku datang terlambat, bukan? Maaf, karena aku baru memiliki keberanian untuk mengunjungimu." Air menggenang di pelupuk matanya. Lagi-lagi Arin terdiam, tak melanjutkan kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya.

"Aku sudah bertemu dengannya. Kang Ha, dia sangat mirip sepertimu." Senyum terlukis meski rongga dadanya merasakan sesak.

"Seharusnya aku tidak pergi agar selalu bisa menemanimu, maaf karena telah menempatkan dirimu di posisi yang tak seharusnya kau berada di sana." Pada akhirnya ia tak bisa menahannya lagi, air matanya jatuh membasahi pipinya.

"Bagaimana? Apakah kau jauh lebih baik di sana? Apakah kau menemukan teman yang selalu mendengarkanmu bercerita? Inhan, bagaimana dengan dia? Apakah kau sudah bertemu dengannya?" Bahunya bergetar, isak tangis terdengar sangat memilukan.

Dari jarak yang lumayan dekat, Kang Ha mendengar semuanya, namun ia hanya diam di tempatnya menunggu gadis yang ditakuti seantero sekolah itu kembali bercerita. "Rasanya menakutkan, aku tidak bisa bernapas dengan baik hari itu, yang kupikirkan adalah kematian."

"Inhan, tak cukupkah kau menghukumku dengan kejadian itu? Mengapa kau selalu hadir di setiap aku ingin sekali menyerah? Kau... apakah kau butuh aku di sana?"

Mendengar kalimat Arin yang semakin melantur, Kang Ha akhirnya mendekat, ia berdiri tepat di sebelah Arin yang melirik ke arahnya.

Lutut Arin melemas, ia jatuh bersimpuh dan isak tangisnya terdengar lebih keras. "Maaf, maaf Kang Ha." Kang Ha terkejut dengan aksi Arin yang tiba-tiba memegang salah satu tangannya sementara kepalanya tertunduk di depan kakinya.

"Maaf karena aku telah mengakhiri hidup Inhan, maaf karena aku kau kehilangan Inhan untuk selamanya, maaf atas perlakuan burukku padamu hari itu."

Kali pertama dalam hidupnya, Kang Ha melihat ada seseorang yang membungkuk sambil terduduk di hadapannya. Untuk pertama kalinya juga, Kang Ha melihat sisi lain dari Kim Arin.

"Tidak, aku tahu ini bukan salahmu. Jangan salahkan dirimu atas kematian kakakku." []

HierarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang