09

561 88 18
                                    

Drrt... drrt...

Kim Arin

Drrt... drrt...

Kelima kalinya kontak itu terlihat di layar sebuah ponsel, namun sang pemilik tak kunjung mendengarnya karena suara keran air yang berisik. Tak lama panggilan itu mati bersamaan keran air yang ia tutup. Tungkainya melangkah menuju ruang tengah, duduk bersandar pada sandaran sofa kemudian menyalakan televisi di depannya.

Ting!
Ting!

Dua notifikasi masuk, ia mengambil benda persegi pintarnya dan baru menyadari ada lima panggilan tak terjawab.

Kim Arin
|Samchon, maaf
|Aku sudah tidak kuat

Refleks ia menegakkan tubuhnya, buru-buru ia menghubungi nomor Kim Arin. Di panggilan pertama hingga ketiga hanya ada suara operator, di saat panggilan keempat barulah keponakannya itu mengangkat panggilannya.

Isak tangis terdengar sangat memilukan, tak ada kata yang terucap baik dari dirinya maupun dari Arin. Ia hanya diam, menunggu Arin bersuara dan menceritakan apa maksud dari pesan yang dikirim.

"Sakit, rasanya sangat sakit. Banyak darah yang keluar, aku tidak bisa menahannya."

"Samchon, tolong aku."

Suaranya sangat lirih, Yeongsu tidak tahu apa yang tengah terjadi di seberang sana, namun yang jelas ia tahu jika Arin tengah merasakan sakit yang teramat sangat.

"Tidak ada yang mendengar teriakanku, tidak ada yang menyadari kehadiranku, tidak ada satu orang pun di sekitarku."

"Samchon, aku takut, Inhan di hadapanku sekarang."

"Samchon, tubuhku tak bisa digerakkan, Inhan semakin mendekat ke arahku, aku takut."

Yeongsu terbangun dari tidurnya, sudah lebih dari sepuluh kali ia memimpikan kejadian yang sama seperti dua bulan lalu. Ia meraba nakas di sebelah ranjangnya, mengambil ponsel miliknya lalu membuka kontak keponakan kesayangannya.

HierarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang