23

255 47 0
                                    

"Ibu memata-mataiku? Kenapa Ibu melakukan itu? Tak masalah jika menyuruh orang memata-mataiku, tetapi tidakkah cukup melakukannya melalui Arin? Dan video itu. Kenapa dikirim padaku?"

"Ibu hanya khawatir. Jika kalian bersama dan dia hamil, kita yang akan dirugikan. Ibu harus waspada. Ibu tak lagi mempercayainya."

Hyewon sudah memperkirakan ini sebelumnya, ia yakin jika Rian akan mendatanginya setelah apa yang tengah terjadi hari ini.

"Ibu!"

"Beraninya kau teriak! Kau anak Ibu dan pewaris Jooshin."

"Sebelum peranku sebagai anak dan pewaris, aku juga manusia! Bukan peliharaan Ibu! Aku tak mau hidup dalam kekangan Ibu. Sungguh membuatku sesak. Lebih baik telantarkan saja aku, seperti Ayah!"

Sebuah tamparan Rian dapatkan, sungguh ia merasakan sakit di dalam dadanya. Sesaat ia berpikir, apakah ini yang Arin rasakan selama ini? "Aku berhenti. Mustahil berhenti menjadi anak Ibu, tetapi aku bisa berhenti menjadi pewaris." Ia hendak meninggalkan ibunya, akan tetapi sang ibu menyerukan namanya.

"Teganya kau berbicara seperti itu. Kau segalanya bagi Ibu. Putraku semata wayang, pewaris Jooshin dan pusat dunia ini. Ibu akan buat kau jadi seperti itu."

"Kau adalah penerus Jooshin, Rian. Kau adalah harapan Ibu satu-satunya, kau adalah segalanya untuknya, kau anaknyaㅡ"

Mata Rian tertuju pada tangannya yang digenggam oleh ibunya. Ucapan Arin tempo hari terngiang di kepalanya. Kepalanya menengadah tak lama, ia tidak akan membiarkan air matanya terjatuh di depan ibunya. "Kau harapan Ibu satu-satunya, Rian."

"Ya, kau anaknya. Hanya kau satu-satunya anak yang terlihat di matanya." Tubuhnya direngkuh, kedua tangannya mengepal, air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. Rian mencoba untuk tidak terisak, meski dadanya terasa sesak.

"Aku ingin istirahat." Lain di mulut, lain di hati. Alih-alih membuka pintu kamarnya, Rian justru membuka pintu di seberang kamarnya.

Hal yang pertama kali Rian lihat adalah tubuh Arin yang memunggunginya, gadis itu tengah menatap keluar jendela dengan kekehan kecil yang ia dengar. Rian melangkah mendekat, suara Arin yang terdengar samar, kini terdengar jelas.

"Pergilah, aku tidak akan menolongmu jika kau ketahuan."

Kosong, tidak ada satupun seseorang yang Rian lihat, pun ia tidak melihat adanya ponsel yang dipegang oleh kembarannya. Air matanya menetes lagi, kali ini isakannya terdengar jelas.

"Bukan hanya itu, beberapa kali dia juga datang dan menceritakan bahwa dia terus diikuti oleh seseorang. Namun, saat kutanya pada supir pribadinya, tak ada satu orang pun yang mengikutinya bahkan sampai ke depan kamarnya.

Aku tidak bisa menyimpulkannya sendiri, jadi aku juga memanggil temanku, dan pemikiran kita sama. Selain mengalami gangguan kecemasan, dia juga merasakan gangguan halusinasi."

"Maaf." Kening Arin berkerut bingung dengan ucapan dan gerakan Rian yang tiba-tiba memeluknya.

"Seharusnya aku yang melindungimu," tambah Rian. Satu tangan Arin terangkat, perlahan ia mengusap punggung lebar Rian secara lembut.

"Aku tidak apa-apa. Sudah kewajiban bagi seorang kakak untuk melindungi adiknya." Arin melepas dekapannya saat mendengar ada sesuatu yang bertabrakan dengan kaca jendelanya.

Rian menatap ke arah yang sama seperti Arin dan gadis itu secara bergantian, ia bingung mengapa kembarannya tersenyum lebar sambil melihat ke arah bawah. "Ada apa?" tanyanya.

Tangan Arin terangkat, ia menunjuk ke arah subjek yang menjadi pusat pandangannya. "Tidakkah kau melihatnya? Di sana, Inhan sedang tersenyum lebar, padahal sudah kukatakan untuk segera pergi. Jika Ibu tahu, dia pasti akan diseret keluar."

Tidak ada, tidak ada Inhan di sana, tidak ada apapun selain bunga matahari yang ditanam. Rian menoleh patah-patah, air matanya mengalir semakin deras saat melihat Arin melambaikan tangan. Ia menarik tubuh Arin ke dalam pelukannya lagi, tetapi kali ini Arin ikut menangis bersamanya.

• • •

Ini kali ketiga dirinya menangis. Pertama karena ibunya, kedua karena Arin, dan ketiga karena selembar foto yang Jae-i tunjukkan padanya. Jae-i menengok ke arahnya kemudian mengambil foto ultrasonografi di tangannya.

Jae-i mendekat ke arah sungai yang terlihat tenang, jemari tangannya melepas foto yang menjadi alasan Rian menangis membiarkan gambar yang dicetak itu berjalan mengikuti arus.

"Maafkan aku." Kalimat Rian membuatnya menoleh. "Semua ini salahku." Jae-i beranjak, ia duduk di sebelah Rian, mengusap punggung pemuda itu sebelum menariknya ke dekapannya. Ia membiarkan Rian menangis di bahunya, tak ada satupun suara yang ia keluarkan, hanya ada tepukan lembut di bahu pemuda itu yang ia berikan.

• • •

Bulan telah tergeser posisinya dengan matahari. Di suatu tempat kolumbarium, terlihat sepasang insan sedang berdiri sambil terdiam. Sang gadis akhirnya melangkah, meletakkan sebuah mini buket di tempat penyimpanan abu Kang Inhan. Di belakangnya ada pemuda yang berdiri sambil menunduk. "Kang Inhan. Apa kabar?"

Ia melirik ke belakang, memerintah pemuda yang datang bersamanya untuk menyapa lalu tersenyum kecil. "Aku mengajaknya. Ada yang ingin Rian katakan padamu." Mereka adalah Rian dan Jae-i.

"Halo, Kang Inhan."

"Tidakkah kau melihatnya? Di sana, Inhan sedang tersenyum lebar, padahal sudah kukatakan untuk segera pergi. Jika Ibu tahu, dia pasti akan diseret keluar."

"Apa kabar? Lama tidak berjumpa denganmu." Seolah yang diajak bicara berdiri di depannya, Rian tak berani untuk melihatnya, katakanlah jika dia adalah seorang pengecut. "Maaf,  aku baru menyesalinya." []

HierarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang