12

460 78 14
                                    

"Mana satpamnya?"

"Kubilang ada yang tertinggal, sepuluh menit saja."

Malam yang cukup sunyi dan sepi tak menggetarkan rasa penasaran Kang Ha untuk kembali ke sekolah. Loker Rian adalah satu-satunya alasan kenapa ia berani datang ke sekolah bersama Taeho.

"Sebenarnya, apa yang kau cari?" Taeho bertanya begitu mereka berdiri di depan loker Rian.

"Narkoba. Rian dapat itu dari Yunseok, aku lihat ditaruh di loker. Kata Bu Han, itu obat depresi. Pasti ada yang lain." Kang Ha mencoba mengingatnya, ia yakin akan ingatannya jika yang dilihat tadi adalah obat terlarang bukan obat depresi seperti yang dikatakan wali kelasnya.

"Aku dengar tentang transaksi narkoba mereka, permen ganja dan GHB." Taeho menekan beberapa digit angka untuk membuka loker milik salah satu tiran Jooshin, setelah memastikan jika sandi loker tersebut benar, ia menyingkir dan menyuruh Kang Ha untuk segera mencari apa yang ingin dicari.

Alih-alih mencari apa yang ia butuhkan, perhatian Kang Ha justru terfokus pada foto Jae-i yang tersenyum lebar yang sepertinya sengaja dipasang di balik pintu loker Rian. Matanya melihat satu persatu foto yang tertempel, kali pertama dalam hidupnya setelah dekat dengan Jae-i cukup lama ia melihat senyum lebar milik Jae-i yang terlihat cantik di matanya.

"Ketemu?" tanya Taeho. Rupanya pemuda itu menyadari jika temannya tidak mencari apa yang ddibutuhkan, melainkan sibuk memandangi gambar perempuan yang menjadi salah satu kelemahan Kim Rian. "Kenapa? Ada sesuatu di foto ini?" tanyanya.

"Aku takjub. Dia bisa tersenyum begitu."

Brak!

Keduanya tersentak saat pintu loker ditutup dengan kasar. Jelas sekali keduanya terlihat panik, berbanding terbalik dengan gadis yang menangkap basah mereka yang tengah bersandar pada salah satu loker sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Loker adalah tempat privasi seseorang. Jadi, apa yang kalian cari di loker Rian sampai berani datang ke sekolah malam-malam?"

Tidak ada satupun yang menjawab, baik itu Kang Ha ataupun Taeho, mereka sama-sama mengantupkan mulutnya seakan ada lem yang merekatkan kedua bibir mereka. "Kuharap kalian bisa bertanggung jawab dengan apa yang kalian ucapkan tadi," tutur Arin, gadis yang memergoki Kang Ha dan Taeho membuka loker milik Rian.

"Apa maksudmu?" tanya Kang Ha tak mengerti dengan maksud ucapan Arin.

Arin menegakkan tubuhnya, mengangkat ponselnya di depan wajah lalu berkata, "Aku merekam semua ucapan kalian, jika ternyata dugaan kalian salah, kalian bisa dihukum atas dasar fitnah dan pencemaran nama baik."

• • •

'Sedang menuju rumah? Ibu baru sampai, jadi masih di pesawat. Ibu ingin tahu, bagaimana perasaanmu tentang kemarin.'

"Perasaanku tentang apa?"

'Melihat semua yang akan kau miliki dan pimpin ada di depanmu, apa membuatmu sadar? Kau lihat banyak cinta yang Ibu akan wariskan padamu?'

Rian terdiam, kepalanya terpenuhi akan ucapan Arin tempo hari. "Apa peduli Ibu? Bukankah anak Ibu hanyalah Kim Rian? Kim Arin sudah lama mati bukan?"

"'Cinta'?"

'Tentu, itu bukan bentuk cinta yang mudah untuk diterima. Kau akan bertanggung jawab atas reputasi yang telah Jooshin jaga selama ini, karyawan, keluarga, dan masa depan mereka. Itu adalah mahkota yang berat. Karena itu, jagalah hakmu untuk memilikinya. Secara sosial dan moral. Terutama, jangan sampai terlibat skandal rendahan. Dan setiap saat, ingatkan dirimu bahwa kau adalah orang penting. Sampai jumpa lagi, pewaris Ibu.'

"Ibu kira aku tidak tahu kalau selama ini Ibu tidak pernah menginginkan anak perempuan, maka dari itu sedari kecil aku selalu dilempar sana-sini ke negara orang yang bahkan aku tidak tahu bahasa dan budayanya? Sayang sekali, andai aku bisa meminta sebelum diciptakan, aku lebih memilih untuk menjadi anak Samchon dibanding anak Ibu, meski caraku dilahirkan sama dengannya."

Rian terdiam melamun, semenjak kembali dari Kanada kembarannya terlihat lebih berani membantah dan melawan ibunya. Rian sendiri bahkan tidak punya keberanian sebesar itu meskipun dirinya adalah anak laki-laki dan seorang pewaris yang diagung-agungkan oleh ibunya.

"Jauhi Jae-i."

Entah sudah berapa kali kata larangan itu terucap, namun Rian tak pernah memedulikannya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa rasa sayangnya untuk Jae-i lebih besar daripada rasa sayangnya untuk Arin yang merupakan kembarannya.

"Kuperintahkan sekali lagi, jauhi Jung Jae-i, Kim Rian."

"Jangan sampai terlibat skandal rendahan."

Apa mungkin skandal rendahan yang dimaksud ibunya adalah berita mengenai dirinya berpacaran dengan Jae-i? Rian masih belum mengerti hingga mobil yang ia tumpangi akhirnya berhenti di depan rumah.

• • •

"Rian." Sang pemilik nama menoleh ketika dirinya dipanggil oleh gadis yang duduk di sebelahnya.

"Maaf telah membawamu ke dalam permasalahanku dengan Ibu." Tanpa berpaling ia berucap, rupanya gurat senja yang perlahan menghilang di balik bukit lebih menarik dibanding paras pemuda di sebelahnya.

"Kenapa?" Rian menjawab Arin dengan sebuah ppertanyaan yang terlontar.

Arin tersenyum kecil, ia merubah posisi duduknya menjadi bersandar pada pohon di belakangnya. "Hanya kau satu-satunya kelemahan Ibu, hanya kau yang Ibu lindungi secara penuh. Aku... apakah aku salah jika aku ingin merasakan kebahagiaan tanpa harus memikirkan bagaimana caranya menghadapi ketakutan yang selalu menghantui aku?

Bahagiaku, rasa nyaman, dan rasa hangat itu hanya bisa kurasakan saat bersama Yeongsu Samchon. Sama halnya denganmu, kau bisa merasakan itu saat bersama Woojin dan teman-temanmu."

Rian mengamati pergerakan Arin, ia menahan tangan kembarannya saat gadis itu hendak pergi. "Apa yang kau sembunyikan, Kim Arin?"

"Suatu hari nanti semuanya akan terjawab, Kim Rian. Satu hal yang harus kau tau, aku tak pernah menyesal terlahir sebagai kembaranmu." []








Makin ruwet aja diliat-liat

HierarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang