07

646 102 18
                                    

"Kau yakin?"

"Ya. Aku lihat mereka masuk, ke vila Jae-i."

Rian menatap Arin sebentar, kembarannya itu sepertinya tengah menikmati indahnya sejak dua jam lalu, sejak ia memberikannya obat tiKaudur dalam dosis lumayan tinggi. Rian tidak mengerti, ia masih belum memahami Arin yang hari ini berbeda kepribadiannya seratus delapan puluh derajat. Sejak sore, gadis itu terus meraung seperti orang depresi, kamar yang ia tempati pun terlihat berantakan.

Keraguan melanda dirinya, Rian tengah menimbang pilihan antara menjaga Arin atau menghampiri Jae-i, kedua gadis itu sama-sama berarti baginya. Lumayan lama bergulat dengan pikirannya, ia pun memilih opsi kedua, tak apa meninggalkan Arin sebentar bukan? Lagipula gadis itu tengah tertidur lelap sekarang.

"Jangan pergi." Rian menunduk menatap tangan yang menahannya, kepalanya menoleh ke arah Arin yang masih memejamkan matanya. "Maaf, Arin." Ia melepaskan tangan yang menahannya, setelahnya ia beranjak meninggalkan Arin yang mengigau dalam tidurnya.

"Bu, sedang dimana? Tolong datang ke sini membawa kunci master," titah Rian tanpa basa-basi setelah telepon diangkat dari seberang kemudian langsung ia matikan secara sepihak.

• • •

Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai mengusik tidurnya. Arin meregangkan otot tubuhnya, membuka matanya dan langsung disuguhkan pemandangan Rian yang tengah berdiri memunggunginya sambil mengancingkan baju.

Mendengar suara berisik di belakangnya, Rian menoleh, dilihatnya saudari kembarnya yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang sambil menatapnya. "Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?" tanyanya namun tak ditanggapi oleh Arin.

Rian melangkah mendekat, menaruh punggung tangannya di kening Arin, seingatnya suhu tubuh gadis itu lumayan tinggi semalam. "Tidak usah mengambil kelas dulu hari ini, beristirahatlah. Kau punya hutang cerita padaku, ceritakan nanti saat aku pulang." Arin tidak menjawab, namun tindakannya berhasil membuat Rian membulatkan kedua matanya.

Pemuda itu hanya diam saat sang kakak memasangkan dasi di lehernya, ia jelas terkejut karena kakaknya yang tak acuh itu sedang membantunya memasangkan dasi. "Berhenti membuat masalah, Kim Rian."

"Aku tidak membuat masalah, dia yang lebih dulu mengusik aku."

"Kenapa? Apa karena Jae-i? Tidakkah cukup kasus Inhan menjadi pelajaran untukmu?"

"Berhentilah menyebut namanya."

"Kenapa? Kenapa aku harus berhenti menyebut namanya? Kang Inhan, apa kesalahannya sehingga kau merundungnya meski kau tidak turun tangan?" Rian diam, ia tidak berani menjawab bahwa Jae-i adalah alasannya.

Sadar tidak ada jawaban yang ia terima, Arin beranjak dari tempatnya, ia menyibak tirai membuat sinar matahari memasuki kamar yang ia tempati bersama Rian. "Pergilah, belajarlah dengan baik, agar Ibu tetap menjadikanmu sebagai anak yang kebanggaan dan pewaris Jooshin."

Tangan Rian yang sudah memegang handel pintu pun berhenti, ia tak kunjung membuka satu-satunya jalan keluar dari kamar karena menunggu kalimat selanjutnya dari mulut Arin. "Lalu kau?" tanyanya memberi umpan agar Arin kembali berbicara.

Arin tertawa miris mendengar pertanyaan Rian, ia menoleh ke arah Rian yang berbalik menatapnya. "Suatu saat kau akan mengerti kenapa kau yang Ibu pilih." Setelah mengatakannya, Arin mengalihkan pandangannya, ia kembali melihat ke arah luar jendela tanpa peduli kebingungan yang mungkin menyelimuti Rian.

• • •

Kang Ha baru saja sampai di kelasnya, entah kenapa banyak pasang mata tertuju padanya. Rahangnya mengerat saat melihat fotonya dibingkai dan terdapat pita di atasnya di meja tempatnya, ditambah lagi beberapa tangkai bunga berwarna putih yang berada di sisi bawah fotonya. Rasanya sangat deja vu, seperti melihat foto Inhan yang dipasang saat pemakaman pemuda itu.

HierarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang