20

80 24 0
                                    

"Akhirnya, kau telah menarik busurmu."

"Sudah kubilang, semua harus dihukum setimpal."

"Aku akan beritahu keluargaku juga pihak sekolah."

Kini keduanya berada di atas atap sekolah, keduanya tak sengaja bertemu saat Kang Ha mendatangi kepala sekolah dan Juwon yang marah padanya, saat itu juga Jae-i datang di waktu yang tepat, pada akhirnya ia mengetahui siapa yang selama ini menerornya hampir setiap hari.

"Aku akan bilang tentang video itu dan mungkin akan tersebar. Aku akan laporkan sendiri," kata Jae-i menyambung ucapan sebelumnya. Entah apa video yang ia maksud, mungkin video mengenai kejadian bersama Rian di vila miliknya atau video lain yang Kang Ha ketahui.

"Tidak, mengapa harus kau? Jae-i, kau bisaㅡ"

"Ayahku pasti mengamuk. Aku akan dikirim ke New York. Meski begitu, mereka akan menghentikannya. Ayahku dan pihak sekolah akan melakukan segala cara untuk menyangkalnya. Itu cara Jooshin." Jae-i memotong Kang Ha, ia memberikan sebuah fakta yang menurutnya Kang Ha harus mengetahuinya.

"Lalu, kau mau menelan itu semua sendiri?" tanya Kang Ha.

"Tak peduli denganku. Asal bisa melindungi Rian. Kau sendiri? Bukankah kau juga memiliki cara untuk melindungi Arin?"

"Kenapa?" Kang Ha menjawab pertanyaan Jae-i dengan pertanyaan lain.

"Dia segalanya bagiku." Pukulan telak bagi Kang Ha, jawaban singkat Jae-i membuat Kang Ha merasa sesak di dadanya.

"Lantas, kenapa? Segalanya bagimu itu... kenapa harus Kim Rian?" Salahkah dia menyimpan rasa cemburu pada gadis di depannya?

"Karena bagi Rian pun aku adalah segalanya. Kami tumbuh besar bersama, kami saling mengandalkan. Jika Rian hancur, aku pun hancur."

"Lakukan sesukamu, aku tak akan menyerah. Mau kau berdiri di depan Rian atau mati bersamanya pun... aku tak akan berhenti." Kang Ha beranjak dari tempatnya, ia melangkah meninggalkan Jae-i namun langkahnya terhenti ketika gadis itu mengungkap sebuah rahasia yang selama ini disimpan sendiri. "Aku sempat hamil," katanya.

"Jangan berbalik. Dengar saja dari sana," titah Jae-i.

"Aku ketakutan. Aku takut diusir oleh Ayah, seperti Ibuku dahulu. Aku takut milikku semuanya dirampas dan dibuang dalam sekejap. Karena itu, aku ke AS sendirian. Ternyata aku tidak bisa.

Dua kali aku mencoba ke rumah sakit, aku tak tahu harus apa. Kemudian... suatu hari aku kesakitankesakitan, mungkin dia tahu niat burukku. Seperti kedatangannya, dia tiba-tiba menghilang."

Kang Ha pernah mendengar cerita yang sama sebelumnya, tetapi ia mendengar dari orang yang berbeda. "Lalu, Kim Rian. Dia tahu?" tanyanya.

Jae-i menggeleng sebagai tanggapan, ia berbalik menatap Kang Ha yang ternyata juga sudah membalikkan tubuhnya. "Tidak," jawabnya. "Aku hanya... berusaha menghindarinya. Aku tak bisa melihat Rian seolah tak ada yang terjadi. 'Lebih baik begini. Keadaan kembali normal. Itu alasanku pergi ke AS. Dengan begini, semua akan terlupakan. Akan selesai jika kami putus.' Dengan itu, aku bertahan."

Hening sesaat, Jae-i yang sempat mengalihkan pandangannya dari Kang Ha, kini kembali berpusat pada pemuda yang berdiri lumayan jauh di depannya. "Semua hancur karena kemunculanmu. Kang Ha, kau membuatku menghadapi perasaan yang ingin aku hindari. Kau gali memori yang terkubur. Kau membuatku menyadari semua pikiran yang tak kutahu."

Keduanya sama-sama terdiam dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Baik Kang Ha maupun Jae-i larut dalam keheningan, namun lagi-lagi suara Jae-i memecahnya. "Jadi, mulai sekarang... akan kulakukan apa yang kau ajarkan."

"Kau mau melawan?" tanya Kang Ha.

"Aku akan lindungi apa yang kusukai. Kalau mau menarik busurmu, silakan. Aku akan berdiri menghadapinya."

• • •

Arin berdecih sebal melihat Yeongsu yang masih bisa tersenyum meski luka menghiasi wajahnya. Padahal beberapa jam lalu, lelaki muda itu masih berbaring tak sadarkan diri dengan alat bantu pernapasan yang menutupi hidung dan mulutnya.

"Aku tak ingin mendengar penjelasan apapun darimu," kata Arin saat Yeongsu ingin berbicara menggunakan tangannya.

Yeongsu pun mengurungkan niatnya, tatapannya lurus mengarah ke Arin yang sedang menunduk memainkan ponselnya. Helaan napas panjang ia dengar, maniknya mengerjap saat Arin menatapnya. "Aku akan mengungkapkan semuanya." Kedua mata Yeongsu membulat, kepalanya menggeleng sebagai tanda bahwa ia tidak menyetujui rencana Arin.

Duduk di pinggir ranjang pasien, pandangan Arin tertuju pada kaca jendela yang terbuka. "Seperti ucapanmu waktu itu, aku menceritakannya pada Kang Ha. Semuanya." Kepalanya tertunduk, ia tiba-tiba merasa khawatir dengan semuanya juga dirinya di masa depan.

Tangannya digenggam, Arin menoleh ke arah Yeongsu yang menatapnya teduh. 'Kau tak apa-apa?' tanya Yeongsu dibalas senyuman simpul dari Arin.

"Awalnya aku merasa begitu, tapi sekarang tidak. Aku takut." Genggaman di tangannya semakin kuat, senyum di bibir Arin menghilang. "Aku tidak takut semua orang perlahan menjauh dan membenciku, aku tak peduli dengan itu. Aku takut Ibu bertindak lebih jauh daripada ini."

'Jangan takut, aku di sini. Aku akan selalu menemanimu.'

"Jangan berkata seperti itu, aku tidak ingin mendengar sebuah janji lagi." []

HierarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang