Malam.
Di dalam kamarnya, saat ini Chiquita tengah mengobati salah satu lututnya yang terluka menggunakan kapas beralkohol.
Namun, ketukan pada pintu kamarnya tiba-tiba terdengar.
Tok!
Tok!
"Chiquita, ini aku Asa, apakah aku boleh masuk?"
Menghentikan pergerakan tangannya, dengan nada datar Chiquita menjawab."Silahkan."
Cklek!
Perlahan pintu putih itu terbuka, menampakkan siluit menawan Asa, yang diam-diam masuk dengan dua paperbag besar di tangannya.
"Apa yang sedang kau lakukan?"tanya Asa sambil buru-buru meletakkan dua paperbag di tangannya ke atas tempat tidur.
"Kau terluka?"panik Asa sambil berjongkok di hadapan Chiquita yang pada kenyataannya sedang duduk di tempat tidur sambil mengobati lukanya.
"Hum..."gumam Chiquita tanpa menatap Asa.
Melihat gerakan kasar Chiquita dalam mengobati lukanya, Asa meringis, dan segera menghentikan pergerakan tangan adiknya dengan mencekal lengannya.
"Biarkan aku saja yang melakukannya."
"Tidak aku..."
"Canny, biarkan Unnie yang mengobatimu, hum?"bujuk Asa selembut mungkin.
Mengedarkan pandangannya ke arah lain,tanpa kata, Chiquita menyerahkan kapas tersebut pada Asa.
Tersenyum, Asa meraihnya, lalu dengan gerakan pelan mulai mengobati luka adik bungsunya itu.
Selama sedang di obati, Asa cukup heran kenapa dia tidak mendengar adiknya mengaduh sedikitpun. Karena pasalnya saat di masa lalu jika dia terluka dia akan memanggil semua orang untuk mengobati lukanya, dan berempati padanya.
"Sudah selesai."ucap Asa setelah memberikan plester pada lutut adiknya itu, lalu mulai merapikan kotak obat.
Chiquita menggeser tubuhnya menjauh."Terima kasih."
Tersenyum, setelahnya Asa mulai berdiri, meletakkan kotak p3k di atas meja belajar, kemudian dia berjalan menuju dua paperbag yang dia bawa.
"Um...kemarin, aku membeli banyak pakaian untukmu di mall, aku harap...kau mau mengenakannya."selesai berbicara, dengan penuh semangat Asa berniat mengeluarkan pakaian-pakaian itu.
"Jika aku suka, aku akan mengenakannya nanti, sekarang kau bisa pergi."
Ucapan dingin Chiquita, berhasil melenyapkan senyuman Asa. Dengan lemah, gadis itu menurunkan tangannya.
"Salahkah jika aku merindukan Chiquitaku yang dulu."lirih Asa sebelum melemparkan pandangannya pada Chiquita yang masih enggan untuk menatapnya.
"Uri Canny ku, yang selalu memanggilku Unnie, Uri Canny ku yang selalu gembira dengan apapun yang aku berikan. Bolehkah aku merindukannya?"tambah Asa sebelum satu tetes airmata mulai luruh dari pelupuk mata indahnya.
Dengan mata berkaca-kaca, Chiquita tersenyum kecil."Kau bisa merindukannya....namun untuk mengharapkan agar dia kembali, sepertinya itu tidak mungkin."
Asa tersentak, dengan dada yang sesak, dia mendekati Chiquita, dan berdiri di hadapan gadis itu."Wae? Kenapa aku tidak bisa mendapatkan adikku kembali!"
Perlahan Chiquita mendongak, dan menatap mata Kakaknya,"Karena... anak itu sudah terbunuh sepuluh tahun yang lalu."
"Kau....Chiquita.."dengan tatapan tidak percaya, Asa membekap mulutnya.