Senin, 1 Februari 2021
Hari itu, ibu Yuki datang ke sekolah atas permintaan dari Guru Kelas Yuki. Walau tidak diberi tahu apa alasan dari pemanggilan tersebut, ibu Yuki tetap menuruti keinginan dari Guru Kelas anaknya itu. Singkatnya, saat sampai ke dalam ruang Wakil Kepala Sekolah, ibu Wakasek Kurikulum dan Bu Virly sudah berada di sana. Ibu Yuki pun langsung menyalami kedua guru yang berhadapan dengannya itu.
"Silakan duduk, Bu," perintah Bu Virly, Wali Kelas Yuki.
"Selamat siang, Bu. Tidak perlu terlalu banyak basa-basi sepertinya, jadi saya langsung saja menjelaskan mengapa saya memanggil Ibu ke sini. Jadi, kemarin saat acara makrab, anak ibu berulah lagi. Dia dengan sengaja melempar gelas kaca berisi teh panas kepada temannya. Hal itu terjadi setelah Yuki melihat teman laki-laki yang ia sukai duduk berdampingan dengan teman perempuannya," tutur ibu Wakasek Kurikulum mengenai permasalahan Yuki berdasarkan laporan yang beliau terima. Mendengar kata-kata tersebut, ibu Yuki kaget bukan kepalang, sampai-sampai beliau tak bicara. Ibu Yuki tak yakin anaknya mampu berbuat sekeji itu. Beliau mengerti betul, walaupun Yuki mudah sekali terpengaruh emosinya oleh lingkungan sekitarnya, ia tak mungkin sampai melakukan hal tersebut.
"Apakah Ibu sudah memeriksakan psikologis anak Ibu?" tanya sang Wakasek Kurikulum dengan nada yang sedikit sarkas.
"Tentu sudah," jawab ibu Yuki. Wajah ibu Yuki mulai terlihat kesal, akan tetapi beliau tetap berusaha tenang.
"Apakah anak Ibu mengidap autisme? Sebab anak Ibu kesulitan bergaul dan sepertinya terlalu sibuk dengan dunianya sendiri," Ibu Wakasek Kurikulum kembari melayangkan sebuah pertanyaan. Entah apa yang membuat sang Wakasek Kurikulum bertanya tentang hal ini, secara hal tersebut tidak berhubungan dengan topik yang akan didiskusikan.
"Mohon maaf Bu, tolong jangan memfitnah anak saya. Saya ibu kandungnya, saya sudah merawat Yuki selama kurang lebih 18 tahun, sudah sejak ia masih berada dalam kandungan saya. Saya juga yang membawa dia untuk terapi semenjak dia kecil hingga sekarang remaja. Tidak pernah sekali pun hasil tes psikologi yang ia ikuti menunjukkan hasil bahwa ia mengidap autisme seperti yang Ibu sebutkan tadi. Ia menghadapi tantangan dalam bergaul karena dia kesulitan untuk mengutarakan perasaannya dengan kata-kata, tidak ada hubungannya dengan autisme," respon ibu Yuki dengan nada yang agak tinggi. Tak ayal jika ibu Yuki tersinggung, sebab ibu Wakasek menyebut Yuki dengan sebutan yang sangat tidak tepat dengan kondisi Yuki di dunia nyata. Kendati demikian, ibu Yuki tetap berusaha bersikap sopan dengan mengucapkan kata-kata seperti "mohon maaf" dan "tolong".
"Benar bu, tolong fokus pada topik utamanya, ya," tegur Bu Virly pada sang Wakasek Kurikulum.
"Lalu, apakah hal yang membuat Yuki sampai melempar Raya dengan gelas kaca berisi teh panas? Apakah dia tidak tahu kalau itu berbahaya? Bahkan ia tak segan-segan melakukannya di depan saksi mata yang merupakan teman-temannya sendiri. Saya awalnya tidak tahu akan keadaan ini karena saya tidak ikut makrab, tapi saya diberi tahu temannya yang nyaris terkena lemparan gelas tersebut. Apakah itu menunjukkan perilaku anak yang normal?" Secara tak langsung, ibu Wakasek Kurikulum kembali meremehkan Yuki dan menyulut emosi ibu Yuki. Namun, ibu Yuki tetap berusaha sabar, tapi sekaligus objektif terhadap perkaranya.
"Saya bukannya tidak memercayai perkataan Ibu. Namun, alasan saya sedikit meragukan kronologi yang Anda berikan adalah, ibu bahkan tidak melihat langsung kejadian tersebut. Seperti yang ibu tahu, kan zaman sekarang informasi itu cepat sekali menyebar. Sangat mungkin kalo sebelum sampai ke ibu, info itu berubah karena kesalahpahaman atau ada yang sengaja mengubahnya," komentar ibu Yuki.
"Ibu, tolong berhenti mencari pembelaan. Jika anak Ibu salah, maka segera akui kesalahannya," timpal ibu Wakasek Kurikulum.
"Saya tidak akan mengaku bahwa anak saya salah, sampai ada bukti kuat jika anak saya memang bersalah," ucap ibu Yuki dengan tegas.
"Mohon maaf, Bu. Yang dimaksud oleh ibunya Yuki adalah, kami semua di sini kan sama-sama tidak melihat kejadiannya, ya. Bahkan ikut acaranya pun juga tidak. Jadi, ibu Yuki hanya mau meluruskan agar tiada lagi fitnah yang tersebar tentang anaknya," ucap Bu Virly mencoba memperbaiki suasana.
"Kejadian itu betulan terjadi. Mengapa Anda bilang itu fitnah?" Bu Wakasek Kurikulum mencoba melawan Bu Virly.
"Sebentar... biarkan saya untuk menjelaskan terlebih dahulu. Mohon maaf jika ada kesalahan, karena saya sendiri tidak terlalu tahu, hanya mendengar dari orang-orang yang berada di sekitar saya. Jadi, semester lalu Yuki terlibat pertengkaran fisik dengan Raya. Teman-temannya menduga hal tersebut disebabkan oleh Yuki yang tidak terima dengan hubungan dekat antara Valen dan Raya. Maka sejak saat itu, teman-temannya Raya pun jadi lebih protektif ke Raya, karena tidak mau hal tersebut terulang kembali. Terlebih lagi, mereka semua juga tahu tentang permasalahan Yuki dan Gwen yang juga terjadi semester lalu. Saya tidak bermaksud mengungkit, tetapi jika diurut memang kenyataannya seperti itu. Jadi itu ibarat sekali lancung ke ujian selamanya orang tak percaya, alias sekali berbuat salah, selamanya ia akan kehilangan kepercayaan itu. Bicara jujur, saya juga tidak suka jika ada anak didik saya, tidak cuma Yuki, yang dimusuhi atau dikucilkan anak kelas lain. Namun, penting bagi Ibu untuk mengetahui hal apa yang menjadi pemicunya," terang Bu Virly dengan lengkap mengenai permasalahan yang menjadi pemicu kebencian terhadap Yuki.
"Saya paham, Bu. Saya juga sudah tahu dua kejadian yang Ibu ceritakan tadi. Memang benar, di situ anak saya salah dan tidak ada justifikasi atas kesalahan anak saya. Namun, yang membuat saya sangsi dengan laporan rekan-rekan Yuki akan dugaan pelemparan tersebut adalah kondisi Yuki saat ia merasakan emosi gugup atau panik. Sangat mungkin, ia sebenarnya tidak pernah melempar gelas itu, tapi dia yang melihat Raya dan Valen duduk bersama seketika merasakan rasa sakit hati, lalu tangannya mulai bergetar dan tanpa sengaja menjatuhkan gelas tersebut," kata ibu Yuki dengan panjang dan lebar mengenai kondisi Yuki.
"Kalau begitu, untuk Bu Wakasek, bagaimana jika kita panggil saksi yang bisa bicara jujur ke sini agar segera mendapatkan titik terang?" usul Bu Virly.
"Boleh, kebetulan saya juga tahu siapa saja yang ada di sana. Saya izin keluar sebentar," ucap Bu Wakasek Kurikulum. Pada akhirnya, ucapan Bu Virly mampu membuat Bu Wakasek Kurikulum yang sedari tadi merendahkan Yuki dan ibunya melunak.
Tak lama kemudian, Bu Wakasek Kurikulum pun datang bersama dengan Helga, siswi kelas 11 B IPS. Helga pun berjabat tangan dengan Bu Virly dan ibu Yuki sembaei tersenyum ramah.
"Perkenalkan, Tante. Saya Helga, temannya Yuki. Saya di sini untuk memberikan kesaksian saya mengenai insiden yang melibatkan Yuki saat acara makrab kemarin. Sedikit latar belakang, saya aslinya tidak terlalu dekat sama Yuki karena beda jurusan. Namun, kalau boleh jujur, saya berteman dengan Yuki karena saya penasaran. Saya ingat betul, semester lalu Yuki terlibat pertengkaran dengan Raya, teman sekelas saya. Saya tahu karena Raya mengadukan kejadian itu di kelas. Raya itu tipe-tipe orang yang semuanya serba dilebih-lebihkan. Maka dari itu, saya sedikit meragukan kesaksian Raya. Itulah yang membuat saya tertarik untuk mengenal Yuki lebih dekat. Singkatnya, kami sekarang cukup sering mengobrol melalui aplikasi Instagram. Saya ingat betul, dia pernah bercerita bahwa dia seringkali dianggap tidak normal karena kondisinya. Kondisinya adalah, dia mengalami gejala anxiety disorder atau gangguan kecemasan. Gejala tersebut adalah tangannya yang sering kali bergetar hebat saat berhadapan dengan hal-hal yang membuatnya takut atau panik. Hal ini tentu berhubungan dengan kejadian saat makrab kemarin, karena saya yang duduk dekat Raya melihat bahwa tangan Yuki bergetar-getar sampai akhirnya gelas yang dia pegang jatuh. Tatapannya kosong, seperti raganya ada di Bumi, tapi jiwanya ada di tempat lain. Tidak mungkin ia dengan sengaja melempar gelas itu, sudah pasti tidak sengaja terjatuh. Hanya saja reaksi Raya dan Valen yang berhadapan dengan Yuki terlalu berlebihan," terang Helga.
"Terima kasih Helga atas kesaksianmu. Silakan kembali ke kelas. Untuk ibu Yuki, terima kasih sudah datang ke sini hari ini," ucap sang Wakasek Kurikulum. Ibu Yuki pun berdiri dan membungkukkan badannya sebagai penghormatan. Kendati demikian, ibu Yuki tetap tersinggung atas perlakuan sang Wakasek Kurikulum yang tidak meminta maaf walau telah salah menuduh Yuki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Error : Who Is She? (02 line)
Teen Fiction[UNBELIEVABLE SEASON 2] "Selalu ada kala dimana kau merasa sebagai sistem yang gagal" Kabar meninggalnya seorang gadis yang populer tiba-tiba menghebohkan sekolah. Namun, bagaimana jika sebenarnya gadis itu tak pernah meninggal? Kedatangan anak baru...