15. Percobaan

114 48 1
                                    

Julian Alden, seorang pengusaha kaya yang terkenal dengan kesuksesannya di bidang teknologi, sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah acara bisnis di pusat kota.

Malam itu, bulan bersinar terang, memberikan sedikit penerangan di jalanan yang sepi.

Saat melewati sebuah rumah yang entah mengapa sangat gelap kala itu, Julian merasa ada aktifitas yang tak biasa sedang terjadi dalam rumah tersebut.

Dari kejauhan, dia melihat beberapa mobil van hitam parkir di sekitar rumah. Rasa penasaran menguasai dirinya, Julian memutuskan untuk menghentikan mobilnya dan mengamati lebih dekat.

Dengan hati-hati, ia keluar dari mobil dan berjalan mengendap-endap mendekati gudang. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat pemandangan yang mengejutkan: tujuh anak laki-laki yang terikat dan tampak ketakutan sedang digiring oleh beberapa pria berbadan kekar.

Anak-anak itu adalah Evan, Jayden, Jeffrey, Sadam, Rian, Erlan, dan Riko—tujuh bersaudara yang tak bersalah. Mereka menangis dan memohon agar dibebaskan, namun para penculik hanya tertawa sinis.

Julian dengan cepat mengeluarkan ponselnya untuk merekam kejadian tersebut, namun tiba-tiba seseorang memukulnya dari belakang. Dunia menjadi gelap seketika.

Julian terbangun dengan kepala yang berdenyut sakit, tangan dan kakinya terikat di kursi.

Di hadapannya, berdiri seorang pria dengan jas lab putih, memandangnya dengan senyum dingin.

Dia adalah Dr. Leonard Vincent, ilmuwan terkenal sekaligus pemilik laboratorium terbesar di kota.

"Ah, Tuan Alden, akhirnya Anda bangun," ujar Dr. Vincent dengan nada tenang namun mengancam. "Anda sangat tidak beruntung malam ini. Saya sebenarnya tidak ingin ada saksi, namun Anda terlihat sangat potensial untuk bergabung dengan kami."

Julian merasa kebingungan dan marah. "Apa yang Anda inginkan dari saya?" tanyanya dengan suara serak.

Dr. Vincent menghela napas seolah berbicara dengan anak kecil. "Sederhana saja. Anda memiliki kekayaan dan pengaruh. Kami membutuhkan itu untuk mendanai proyek-proyek kami. Jika Anda tidak bekerja sama, Anda dan keluarga Anda akan menemui nasib yang sangat buruk."

Julian menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Dan anak-anak itu? Apa yang Anda rencanakan untuk mereka?"

Senyum Dr. Vincent menghilang, digantikan oleh ekspresi dingin. "Mereka adalah subjek percobaan kami. Proyek ini sangat penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Anda tidak perlu khawatir tentang mereka."

Julian merasa hatinya berdegup kencang. Dia harus membuat keputusan sulit: menyerahkan kekayaannya dan menjadi kaki tangan para penjahat ini, atau mencoba melawan dan mempertaruhkan nyawanya.

Dia tahu bahwa menuruti Dr. Vincent hanya akan memperpanjang penderitaan anak-anak itu dan mungkin lebih banyak lagi yang lain.

Dengan pikiran yang cepat, Julian memutuskan untuk berpura-pura bekerja sama. "Baik, saya akan membantu kalian. Tapi saya butuh bukti bahwa keluarga saya tidak akan disakiti."

Dr. Vincent tersenyum lebar. "Keputusan yang bijak, Tuan Alden. Kami akan memastikan keselamatan keluarga Anda. Sekarang, mari kita mulai."

Julian tahu bahwa ini hanya permulaan dari perjuangannya. Dia harus mencari cara untuk menghubungi pihak berwenang dan menyelamatkan anak-anak itu tanpa membahayakan dirinya sendiri dan orang-orang yang dicintainya.

Dalam benaknya, dia berjanji bahwa dia akan menghentikan kejahatan ini, berapapun harga yang harus dibayar.

Begitulah kejadian sepuluh tahun silam yang membuat Julian Alden berakhir ada di pihak mereka.

Dengan terpaksa, tentunya.

"Jadi ...."

"Maafkan Ayah, Callie." Julian berlutut di hadapan anaknya dengan wajah bersalah.

Callie memeluk ayahnya itu erat. Ia menggeleng dan berkata, "Tidak. Aku yang minta maaf karena telah salah paham."

Julian tersenyum dan mengelus kepala putrinya. "Tidak apa-apa ...."

James dan anggota tim lain yang menyaksikan hanya bisa terdiam tanpa berbuat apa-apa.

Sebelum Shenia memberi informasi lewat headset yang tersambung di antara ketiganya.

"Halo? Aku menemukan sesuatu yang tak akan kalian sangka. Cepat, ke bawah tanah!"

Tak lagi menunggu, James langsung mengajak Callie beserta anggota lainnya—termasuk Julian—berjalan cepat menuju gudang bawah tanah yang dimaksud Shenia.

"Ada apa, Shenia?" James mendekat.

"Lihatlah ini," kata Shenia sambil menunjukkan sebuah panel rahasia di dinding yang baru saja ditemukannya. Panel tersebut terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang tampaknya belum pernah dijamah oleh siapapun.

James mengangguk pada anggota tim lainnya, memberi isyarat untuk bersiap-siap. Mereka memasuki lorong dengan hati-hati, dipimpin oleh Shenia yang membawa senter kecil. Lorong itu panjang dan berliku, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan berbagai peralatan laboratorium.

Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar dengan berkas-berkas dan peta yang tersebar. Shenia segera mulai memeriksa berkas-berkas tersebut, sementara Julian membantu dengan mengamati peta.

"Ini dia," kata Shenia akhirnya. "Ini adalah peta jaringan rahasia Dr. Vincent. Semua lokasi laboratoriumnya ada di sini, termasuk tempat di mana anak-anak itu mungkin disekap."

Callie yang berdiri di dekat ayahnya, memandangi peta tersebut dengan serius. "Kita harus segera bertindak. Setiap detik berharga."

Julian mengangguk setuju. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus menebus kesalahan masa lalu dan menyelamatkan mereka."

James melihat Julian dengan tatapan tegas. "Baiklah, kita punya rencana. Shenia, kamu dan Callie akan tetap di sini untuk memonitor komunikasi dan memberikan kami informasi terbaru. Julian dan aku akan memimpin tim menuju lokasi pertama yang tertera di peta ini."

Shenia mengangguk. "Siap, James. Kami akan tetap terhubung."

Dengan persiapan yang matang, tim tersebut berangkat menuju lokasi pertama yang ditunjukkan oleh peta rahasia Dr. Vincent. Tempat itu adalah sebuah gedung tua di pinggiran kota yang tampak tak terawat. James dan Julian memimpin tim mereka dengan hati-hati, menyusup ke dalam gedung dengan perlahan.

Di dalam, mereka menemukan tanda-tanda aktivitas baru-baru ini. Bekas jejak kaki, alat-alat medis yang ditinggalkan sembarangan, dan suara langkah kaki di lantai atas.

Julian, James, dan timnya bergerak dengan hati-hati di dalam gedung tua yang gelap. Mereka mengikuti tanda-tanda aktivitas baru-baru ini, berusaha mencari keberadaan tujuh saudara yang diculik. Lantai kayu yang tua berderit di bawah langkah mereka, memberi perasaan hening yang menegangkan di udara.

Saat mereka mendekati tangga menuju lantai atas, suara gemuruh pelan terdengar dari ruang di depan mereka. James mengangguk pada Julian dan mereka menyusup lebih dekat, berusaha untuk tidak membuat suara apa pun yang bisa memperingatkan para penculik.

Di lantai atas, mereka menemukan sebuah ruang besar dengan lampu redup. Di tengah ruangan, ia melihat seorang laki-laki yang nampaknya seumuran dengan James.

Wajahnya juga tak asing baginya, tentu itu adalah sahabat lamanya.

Siapa lagi kalau bukan Evan Antonie.

"EVAN?!" James berlari mendekati lelaki itu. "Ini benar-benar kamu, kan?!"

Dengan nafas lemah, Evan mengangguk. "James ...."

"Kita harus bawa dia ke tempat yang lebih aman." Julian memberi usul sambil mencoba menopang anak itu.

"Siapkan mobil!" Perintah Shenia pada anggota kelompoknya, sambil membantu Julian dan James untuk membawa Evan pergi dari tempat itu.

~To Be Continued~

UNDIRECTED: "Where Are Them?" | A Thriller-Fantasy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang