"Ini semua terjadi pada hari yang seharusnya menjadi hari spesial untukmu?" Tanya Callie saat sedang berbicara empat mata dengan Evan di suatu kafe.
Evan mengangguk. "Yaa, harusnya." Ia tertawa masam sambil mengaduk americano panas miliknya.
"Van, boleh aku tanya sedikit?"
"Hm?" Lelaki itu mengangkat sedikit kepalanya untuk melihat ke arah sang lawan bicara. "Sure, go ahead." Ia tersenyum tipis.
"Kan, kamu bilang satu-satunya yang berhasil melarikan diri dari penjahat itu adalah Erlan. Lalu ..., di mana dia sekarang?"
"Ohh ...." Evan menggabungkan kedua tangannya dan meletakkannya di atas meja.
"Awalnya, dia memang berada di suatu ruangan rahasia dengan kode misterius yang hanya diketahui oleh kami. Namun, karena dia melihat orang-orang kejam itu membawa kami pergi dari rumah, Erlan juga ikut mengejar secara diam-diam."
Callie menyimak semua penjelasan Evan dengan teliti. Mencerna setiap kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya sambil menatap indra pelihat pria itu dengan tatapan yang dalam.
Evan melanjutkan, "Kami tidak tahu pada awalnya, tapi dia berhasil mengikuti kami hingga ke lokasi mereka menyekap kami. Erlan selalu cerdik, dia tahu cara untuk tidak terdeteksi."
"Tapi kenapa dia tidak langsung meminta bantuan?" tanya Callie, mengerutkan kening.
Evan menghela napas panjang. "Itu rencananya. Tapi tempat itu terlalu jauh dari pemukiman, dan mereka menjaga kami dengan ketat. Erlan membutuhkan waktu untuk merencanakan langkah berikutnya tanpa ketahuan."
"Jadi, apa yang terjadi selanjutnya?" Callie mendesak.
"Erlan akhirnya berhasil menghubungi polisi tanpa menarik perhatian mereka. Ia memberikan koordinat tempat kami disekap. Sayangnya, sebelum bantuan datang, terjadi sesuatu yang tidak diharapkan," suara Evan melemah, terlihat berat untuk melanjutkan.
"Apa yang terjadi, Van?" Callie semakin cemas.
"Para penjahat itu sepertinya menyadari keberadaan Erlan. Mereka memindahkan kami ke tempat lain sebelum polisi sempat tiba. Itu membuat Erlan harus memulai lagi dari awal," jawab Evan, suaranya penuh dengan keputusasaan.
"Tapi, kamu tahu di mana lokasi itu, kan?" Tanya Callie dengan tatapan yang sama.
Evan mengangguk. "Tentu. Aku mengenali hampir seluruh lokasi di kota." Ia menyenderkan bahunya ke kursi. "Pertama, mereka membawa kami ke suatu SMA yang sudah lama tak digunakan."
Callie terkejut sampai tersedak minumannya saat mendengar ucapan Evan.
"Eh, Cal?" Evan terdengar sedikit panik sambil membuka botol air mineral didekatnya dan memberikan kepada Callie.
Setelah meminum air mineral botolan itu, tenggorokannya terasa sedikit lebih lega.
Evan berjalan mendekat ke Callie dan menepuk-nepuk pelan pundak gadis itu.
"Are you okay?" Bisiknya. Masih terdengar sedikit khawatir.
Callie tersenyum tipis dan mengangguk. "Nggak apa-apa."
Evan tersenyum lega sebelum kembali ke kursinya.
"Oh, ya. Masalah SMA tadi ...," Callue melirik Evan dan berkata, "itu SMA yang jaraknya kurang lebih lima ratus meter dari rumah, kan? Nggak terlalu jauh, maksudnya."
Evan mengangguk. "Iya. Kamu tahu?"
"Aku pernah ke sana bersama James untuk mencari informasi tentang kalian," Jawab Callie.
"Ohh ...." Evan mengangguk pelan.
"Jadi, ke mana kalian dibawa setelah mereka sadar Erlan mengawasi?"
"Sebuah Vila yang awalnya akan kami tempati untuk liburan tahun baru," ujar Evan, "aku sudah mengenali tempat itu karena kami pernah berkunjung ke sana tahun lalu. Tetapi, kami berada di sana dalam keadaan sebaliknya. Bukan dengan senyuman."
"Oke, lalu?"
"Kejadian sama terulang."
"Maksudnya?"
"Dua diantara kami terpisah. Kali ini, Sadam dan Rian. Tetapi, mereka berlari cukup jauh dari kelompok orang jahat itu. Para penjahat itu kehilangan jejak mereka berdua, sehingga tersisa aku, Jayden, Jeffrey, dan Riko."
Dari tadi, Callie mencocok-cocokkan kronologi yang diceritakan oleh Evan dengan foto-foto dokumentasi yang ia simpan di galeri ponselnya.
"Kemudian, ke mana lagi kalian dibawa? Apa motif perpindahan ke dua ini?"
"Aku rasa, ini adalah alasan paling utamanya. Kami dibawa ke sebuah bangunan misterius yang aku yakini adalah sebuah rumah sakit. Namun, aku belum pernah melihat tempat itu. Benar-benar asing, mungkin sudah berada di luar kota."
"Bagaimana kamu bisa ada di pabrik tua kemarin?"
"Begini, kamu tahu, kan, aku seorang detektif yang cukup diandalkan pada masa itu?"
Callie mangangguk. "Ya. Lantas, apa hubungannya?"
"Mereka meragukan aku untuk langsung dijadikan alat ujicoba sebuah penemuan gila Dr. Leonard. Itu alasan mereka membawaku ke markas utama, pabrik kimia yang sudah lama ditinggalkan. Di sana, aku dipisahkan dari yang lain dan dijaga ketat. Dr. Leonard ingin memastikan bahwa aku tidak bisa mengacaukan rencananya."
"Jadi, kamu diisolasi di pabrik kimia itu," Callie menyimpulkan.
"Benar," Evan mengangguk. "Di pabrik itu, aku bertahan selama beberapa hari. Mereka berusaha membuatku bicara, ingin tahu apa yang aku ketahui tentang rencana mereka. Tapi, aku tidak memberikan mereka apa pun."
"Lalu, bagaimana kamu bisa melarikan diri?" Callie bertanya dengan antusias.
Evan tersenyum tipis. "Itu berkat bantuan dari dalam. Salah satu petugas penjaga di sana ternyata adalah mantan rekan detektifku. Dia berhasil menyelinapkan alat komunikasi padaku dan memberitahu titik lemah keamanan pabrik itu. Dengan bantuan dia, aku berhasil melarikan diri dan menghubungi polisi."
"Biarku tebak, orang itu adalah seorang detektif berinisial T?"
Evan terkekeh tanpa suara mendengar ucapan Callie. "Bilang saja kamu tahu. Ya, itu Detektif Terry." Evan tersenyum.
Callie menggaruk lehernya yang tak gatal dengan senyuman malu. "Jadi ..., Detektif Terry itu baik atau jahat?" Tanyanya kemudian.
"Well, we never know." Evan mengangkat bahunya.
"Dan, kamu tidak tahu ke mana mereka membawa Jayden, Jeffrey, dan Riko setelahnya?"
"Tidak," Evan menggeleng, "tapi aku punya beberapa petunjuk yang mungkin bisa membantu."
"Maksudmu petunjuk dari Detektif Terry?" Callie bertanya dengan penuh harap.
"Ya," Evan mengangguk. "Detektif Terry meninggalkan beberapa petunjuk di alat komunikasi yang ia berikan padaku. Ia menyebutkan beberapa lokasi yang mungkin digunakan sebagai tempat persembunyian mereka berikutnya."
"Bagaimana petunjuk itu bisa membantu kita?" Callie bertanya.
Evan membuka ponselnya dan menunjukkan beberapa pesan yang diterimanya dari Detektif Terry. "Ini adalah pesan terakhir yang aku terima dari Terry sebelum aku berhasil melarikan diri. Dia menyebutkan tiga lokasi yang mungkin: sebuah gudang di pinggiran kota, pabrik tekstil tua, dan sebuah bangunan kosong di area industri."
Callie mengamati pesan-pesan tersebut dengan seksama. "Kita harus memeriksa semua tempat ini secepat mungkin. Kita tidak bisa membiarkan mereka terus dalam bahaya."
Evan mengangguk setuju. "Aku sudah memberitahu polisi tentang lokasi-lokasi ini, tapi kita juga harus bergerak sendiri. Mereka membutuhkan waktu untuk merencanakan operasi, dan kita tidak bisa menunggu terlalu lama."
"Baiklah," Callie menatap Evan dengan penuh determinasi. "Kita tidak mungkin menelusuri tiga tempat sekaligus berdua. Jadi, kurasa kita perlu bantuan dari yang lain."
Evan mengangguk setuju. "Tentu. Akan aku sampaikan misi selanjutnya ini kepada Jean agar bisa dibahas bersama nanti."
~To Be Continued~
![](https://img.wattpad.com/cover/370011959-288-k269457.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDIRECTED: "Where Are Them?" | A Thriller-Fantasy [END]
Misterio / SuspensoSatu kalimat, dua patah kata, dan 1.001 makna yang masih belum dapat dipastikan, "Cari Mereka." Semua ini dimulai saat Callie Aurelie, seorang mahasiswi sekaligus penulis, tanpa disadari terjebak ke dalam masalah rumit dengan begitu banyak petunjuk...