“Selamat datang babang!” Arvi menutup mata mendengar suara pekikkan Albar yang menggema, menyambut kedatangannya dari sekolah. Entah sejak kapan cowok itu sudah lebih dulu berada di sana.
“Berisik lo,” kata Arvi tidak minat, ia hendak beranjak menuju ke kamar namun terhenti kala Albar mengeluarkan sesuatu.
“Uh, umpan gue kemakan juga,” ledeknya sambil memainkan benda tersebut yang diyakini adalah milik saudaranya.
“Dapat dari mana lo?”
“Dapat di rumah bapak lo, ibunya Annasya yang ngasih,” kata Albar menyerahkan jam tersebut. “Nih, ambil. Gue tau itu berharga buat lo.”
Sangat! Arvi pikir, jam itu sudah diambil oleh Arvino dan disimpan, nyatanya diambil oleh manusia kutu kupret modelan Albar.
“Btw, kok lo nggak kaget sih sama fakta yang baru-baru ini kebongkar?” tanya Albar. “Lo udah tahu duluan, ya?”
“Menurut lo Bar?” tanya Arvi sambil ikut duduk di sofa dekat Albar.
“Anjer kau, bisa-bisanya nggak ngasih tahu saudaramu ini wahai sepupu,” kata Albar dramatis sekali.
“Lo aja dukung mereka buat gak ngungkap kasus ini,” kata Arvi. “Jadi, nggak usah.”
“Heh! Lo ini saudara gue atau jelmaan bangkai biawak? Kok tega sih sama gue Vi?” Albar seperti anak kecil, merengek dengan gaya yang membuat Arvi mual melihatnya.
“Bukan gitu, tugas osis lo banyak, makanya gue nggak mau ganggu,” alibi Arvi menampik dengan kesal tangan Albar yang hendak bergelayutan di lengannya.
“Ah alesan,” kesal Albar. “Btw, selama ini lo emang udah tau banyak hal ya Vi? Terus lo diam-diam aja gitu?”
“Nggak juga.”
“Atau jangan-jangan lo tau juga dong siapa penerornya,” kata Albar takjub. “Ah, pasti taukan.”
“Tentang itu, menurut lo gimana Bar?” tanya Arvi.
“Apanya yang menurut gue?”
“Kenapa mereka neror Naila?” tanya Arvi lagi, sedikit kesal karena saudaranya berotak lemot, untung bisa jadi waketos.
“Kan awalnya Rayzah, sekarang Naila. Mungkin, tuh peneror mau kalau generasi cewek dari Zentara punah,” kata Albar memberikan argumennya. “Gitu sih, kalau menurut gue.”
Arvi kembali berfikir dengan pandangan terfokus ke depan. “Ah, nggak usah mikir. Gue goblok masalah ginian, masih shock dan jantungan. Gue taunya masalah sandi doang.”
“Yang neror Naila itu hobi pakai sandi Bar, bukan lo pelakunya, ‘kan?” tanya Arvi membuat Albar hampir guling-guling sampai depan rumah.
“Gila lo!” gertak Albar. “Mana mungkin, gue tuh suka sandi karena Almarhumah Kak Qila yang ngajarin.”
“Yah, santai dong mukanya,” balas Arvi. “Gue cuman bercanda doang.”
“Bercanda lo hampir merusak generasi Erliangga, sehingga menimbulkan peperangan yang bisa memicu keretakkan persaudaraan kita Arvian,” ujar Albar sambil geleng-geleng. “Adek ternistakan Bro.”
“Iya tau gue, mana mungkin. Orang pelakunya itu makek jam gini,” kata Arvi sambil tersenyum membuat Albar ngeri melihat senyuman yang diperlihatkan.
“Bangke, berarti lo pelakunya bangsat!” tunjuk Albar pada Arvi yang posisinya masih sama.
…
“Nggak nyangka banget gue Nai, ternyata lo saudaraan sama tuh orang, emang rata-rata di keluarga lo otaknya pandai-pandai, lo doang yang mines dan dungu sejak lahir kali yah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
MIXTURE! (About Secrets)
Teen Fiction"Jadi, lo pikir bisa lepas dari gue?" "Lo pikir gue nggak bisa?" tanya Naila balik dengan nada sedikit sombong. "Gue bisa, bakalan bisa. Dan, gue bakalan buat lo nggak bakalan betah udah nerima tawaran ini. Siap-siap aja bentar malam sholat taubat...