Arvi menghela nafas, ternyata Naila demam. Efek ketakutan berlebih membuatnya sakit, dan untungnya ada Lola yang menangani, sekarang gadis itu tengah terlelap.
Ia menarik langkahnya untuk pergi dari sana, setelah memastikan Naila sudah aman terkendali. Sekarang, tujuannya hanyalah satu yaitu mencari tau semua yang disembunyikan.
“Kuncinya ada sama Rayzah,” gumam Arvi. Netranya bersibobrok dengan tiga pria dan satu wanita saat baru saja keluar dari rumah gadis itu. Fano, Denis, Reano, dan Rena begitu terburu-buru namun sempat melihatnya, mungkin mereka semua tengah khawatir dengan keadaan Naila.
Satu tatapan membuat Arvi memberikan aura tajam pada pandangannya saat melihat salah satu di antara lelaki itu, seperti ada kebencian yang terpancar jelas.
“Rean, anaknya Fano lagi sakit, lo malah matung di situ,” tegur Denis membuat Reano tersentak, ia kemudian segera mengalihkan tatapan, segera masuk dan menghiraukan Arvi yang masih melihat ke arahnya.
Arvi hanya mengulas senyum msiterius, ia dengan cepat memasuki mobil. Melajukannya dengan kecepatan tinggi, entah kenapa emosinya tiba-tiba meninggi, sesaat setelah melihat pria itu.
Ah, ia harus secepatnya menemui Reyzan untuk membicarakan hal penting.
Arvi memarkirkan mobilnya, ikutan singgah kala matanya tak sengaja menemukan persepsi seseorang yang dikenal, karena pikirannya juga sedang kacau, alangkah baiknya ia ikutan bergabung.
Dengan tangan memegang dua botol minuman, ia mendekat sambil meletakkan dua botol yang dibawanya tadi. “Mau gue temenin?”
“Boleh, duduk aja.” Kaisan menyemburkan asap rokoknya ke sembarangan arah, seperti sedang stress dengan pikiran yang begitu berat.
“Gue kira lo nggak ngerokok.” Arvi tertawa memilih membuka minuman yang dibawa untuk diteguk.
Lelaki di sampingnya mematikan rokok, “Kenapa lo bisa bilang gitu? Karena gue anak kelas unggulan?”
“Yah, salah satu alasannya itu. Dan lagi, di dalam lingkup sekolah lo gak pernah nyentuh yang namanya rokok,” balas Arvi menoleh sekilas pada Kaisan.
“Gak semua yang lo lihat dari cover doang itu baik Arvian,” tutur Kaisan. Pelawak kelas kakap itu seolah-olah berganti kepribadian, menjadi dewasa, dan tak dikenali Arvi.
“Lo bener, tapi apa yang mendasari diri lo ngomong gitu?” tanya Arvi. “Eh, karena lo ngalamin omongan itu?”
“Good, tuh lo udah tau,” katanya sambil mengambil sebotol minuman yang tersisa. “Kalau untuk gue, makasih minumannya.”
“Iya diminum aja,” balas Arvi memperhatikan ke depan, semburan angin sepoi-sepoi membuat ia merasa sejuk. Hampir mengantuk namun ditahan karena pikiran yang berkeliaran.
“Btw, dulu waktu kelas satu SMP kenapa pindah?” tanya Kaisan tiba-tiba. “Gue ingetin, kita pernah sekelas waktu itu, bareng Naila malah.”
Arvi menoleh pada lelaki itu, “Jadi lo udah kenal Naila sejak dulu?”
“Iya, udah lama. Pas di GHS, ketemu sama lo lagi ngebuat gue kaget. Kirain, bukan lo.” Kaisan terkekeh. “Dasarnya lo emang pintar dari orok, ya?”
“Ah, nggak. Lebih pintar Reyzan.” Arvi terkekeh, tak suka dipuji takut meninggi nanti.
“Pertanyaan gue belum dijawab sebelumnya, kenapa pindah?” ulang Kaisan meneguk kembali minumannya sampai habis.
“Ikut orang tua yang pindah tempat kerja, gue baru sadar ternyata lo emang kenal Naila dari sananya,” ucap Arvi. Matanya memandang ke sekitar, merasakan kesejukkan yang tak henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIXTURE! (About Secrets)
Fiksi Remaja"Jadi, lo pikir bisa lepas dari gue?" "Lo pikir gue nggak bisa?" tanya Naila balik dengan nada sedikit sombong. "Gue bisa, bakalan bisa. Dan, gue bakalan buat lo nggak bakalan betah udah nerima tawaran ini. Siap-siap aja bentar malam sholat taubat...