Arvi mematikan mesin mobil, lelaki itu segera melangkah menuju gerbang tua sesuai lokasi yang telah didapatkan dari Denio. Perkiraan, sekitar tiga kilometer dari lokasi utama.
Lelaki itu melangkahkan kaki masuk, matanya menegadah ke atas, melihat seseorang yang sedang melompat dari gedung tersebut. Sunggingan sinis tercipta di bibirnya.
Tanpa pikir panjang, Arvi segera masuk. Matanya mengedar ke sekitar, ini terlalu kotor untuk tempat gadis itu disembunyikan.
Tungkainya berhenti tepat di depan pintu yang sudah terbuka, sedikit rusak. Kakinya langsung loyoh, begitu lemah sampai ia tak bisa berkata-kata. Matanya jelas melihat siapa yang sedang terbaring tanpa sehelai benang itu.
“NAILA!” teriaknya bergegas ke sana, membuka jaketnya untuk menutupi tubuh polos penuh lebam itu. Hidungnya mengerut mencium berbagai macam bau alkohol dan rokok.
Matanya tertuju pada tangan kiri Naila yang dipenuhi bekas luka akibat api, Arvi menebak kalau orang itu menggunakan rokok untuk membakar kulit mulus gadis itu.
Kaki mulusnya penuh lebam sampai ke betis, matanya membiru, rambutnya kusuk dan acak-acakkan, tak ada lagi rambut lurus dan bersih. Wajahnya penuh memar dengan darah yang mengering membentuk bekas jari.
“Sekejam ini mereka sama lo?” tanya Arvi, di sekitaran itu ada bekas pakaian yang terbuang yang diyakini adalah milik Naila, dan satu hoodie yang sudah tak berbentuk.
Arvi benar-benar loyoh, keadaanya begitu lemah. Ia tak sanggup melihat ini semua. Setelah Kaisan, sekarang malah Naila? Tidak, Arvi perlu merealisasikan ucapannya.
“Siapapun, tolong Naila!” teriaknya. Tulang lelaki itu tak sanggup membawa tubuh kecil ini. Ia menangis, tangannya memeriksa nadi dan nafas Naila. “Bertahan, bertahan untuk dendam yang belum terbalaskan.”
“N-Nai, maaf gue terlambat!” tangis Arvi memeluk tubuh rengkih itu begitu erat. Air matanya meluruh, rasa bersalah memenuhi dirinya. Penyesalan terus berputar di kepalanya. “Naila, b-bangun.”
Demi apapun, jiwa Arvi benar-benar hancur. Semuanya rusak, dibunuh perlahan, ditusuk begitu keras dari berbagai arah, ia retak bagaikan kaca yang dibenturkan ke batu.
Tangannya bergetar, mengusap lembut rambut yang tak elok itu lagi. Dia yang tak pernah meyentuh Naila, dia yang menjaganya, namun dia sendiri yang harus menyaksikan semua kehancuran yang terjadi pada gadis itu.
Apa yang mereka lakukan benar-benar menyakitkan, mereka semua penjahat tak punya hati, tak berperasaan, tak punya etika, dan tak punya moral. Seiring tangisan yang muncul, tangan Arvi tergenggam kuat, menahan api pembalasan di dalam dirinya.
“T-tolong Nailanya,” lirihnya penuh isakkan. Walaupun ia tahu kalau mustahil ada seseorang di sini.
“ARVI!” teriak Venom dan Arvino bersamaan, dua pria itu langsung mengarah ke tempatnya bersimpuh. Arvi menegadah dengan keadaan sesegukkan, lelaki itu menggeleng karena takut ini hanyalah halusinasi semata.
Arvi menetapkan pandangannya menatap Venom dan Arvino bergantian. Ia menatap pemilik Erliangga tersebut.
“Ayah, jangan dulu! Jangan lukain saya, bantu Naila dulu.” Bukannya meminta tolong, justru kalimat yang dilontarkan jauh berbeda, lelaki itu bahkan meminta hal itu tidak terjadi di sini sebelum gadisnya mendapatkan pertolongan.
Arvino yang mendengarnya hendak menangis, pria itu memang mengakui kesalahannya selama ini. Ia terlalu berlebihan. Dia mendekati putranya, memeluk erat tubuh itu penuh penyesalan.
Tadinya, ia hendak berbincang di rumah duka namun, melihat Albar sendirian membuat pria itu gelisah sendiri, dan segera bertanya pada keponakannya. Saat tahu Arvi pergi sendirian, ia tanpa peduli lagi segera mengarah ke lokasi, untungnya ia bertemu dengan Venom yang memiliki tujuan yang sama.
Arvino tidak sejahat itu untuk anaknya, ada rasa penyesalan ketika mengetahui fakta sebenarnya yang didapatkan dari Arsila, wanita itu mendapat kiriman rekaman suara dari seseorang, dan langsung saja diteruskan pada suaminya.
“Ayah minta maaf Nak,” kata Arvino penuh penyesalan. “Kita bawa Naila sekarang!”
Sadar tak sadar, Arvi merasa tenang mendengar pengakuan pria itu. “Kenapa? Kenapa ayah minta maaf?”
“Bukan waktunya menjelaskan, kita bawa Naila ke rumah sakit dulu. Dia membutuhkan pertolongan.” Arvi menarik nafas, kemudian mengangguk dengan sedikit senyuman yang tak pernah lagi Arvino lihat selama beberapa tahun terakhir.
“Biar saya saja,” kata Venom, mengambil tubuh rengkih itu untuk dibawanya.
“Bawa ke rumah sakit Erliangga!” perintah Arvino.
“Baik, Pak!”
KAMU SEDANG MEMBACA
MIXTURE! (About Secrets)
Roman pour Adolescents"Jadi, lo pikir bisa lepas dari gue?" "Lo pikir gue nggak bisa?" tanya Naila balik dengan nada sedikit sombong. "Gue bisa, bakalan bisa. Dan, gue bakalan buat lo nggak bakalan betah udah nerima tawaran ini. Siap-siap aja bentar malam sholat taubat...