....
Ruang aula -Naila membaca namanya sebelum melangkah masuk. Hari ini, dia menjadi sosok gadis mandiri. Pagi tadi, dia tidak menemukan presepsi Arvi yang nangkring di depan rumahnya, juga laki-laki itu tak memberitahukannya lewat pesan seperti biasanya, terakhir dilihatnya pun semalam, saat Naila memberi tahu bahwa dia akan membaca proposal itu selama lima jam.
Naila sudah menghubungi Arvi, menelponnya di seluruh sosmed sampai mengirimkannya pesan lewat gmail, tetapi belum direspon sampai sekarang.
“Ini Mas Boy beneran ngehilang? Padahal, gue cuman bercanda aja nyuruh pergi. Hm, atau mungkin dia marah karena duitnya gue habisin kemarin, ya?” Naila menatap layar ponselnya yang tak mendapat balasan apapun dari Arvi.
“Tukang ghosting, padahal gue udah sayang sampai jantungnya Arvian. Parah emang,” gumam Naila kemudian menyimpan ponselnya, lalu segera mempercepat langkahnya lagi.
“Ah, nggak jadi deh pamer gantungan kunci kece gue ini sama dia,” katanya lagi dengan helaan nafas dan wajah lesu. Dia kembali melanjutkan langkahnya memasuki ruangan yang cukup luas ini.
Mata Naila sedikit takjub dengan ruangan yang cukup luas ini, di dalam sini bukan hanya kelas sebelas saja yang ada, namun ada kelas dua belas dan sepuluh juga yang ikut bergabung. Naila pikir, mereka masih diliburkan.
Naila mengambil tempat yang telah disediakan sesuai dengan nomornya. Kemudian segera berjalan ke arah kursi kosong, khusus tempatnya. Ruangan yang semula sepi ini, tiba-tiba menjadi ramai seiring dengan bertambahnya orang yang masuk.
Netra hitam itu menyipit kala tak jauh dari kursi depan bagian ujung menatap sosok Arvi, cowok itu sedang duduk dan … membaca buku. Naila termenung sesaat, dia pikir Arvi belum atau tidak masuk sekolah. Rupanya, sudah lebih dulu hadir dibandingkan dia. Lalu, kenapa tidak menjemput dirinya, seperti biasa? Apa … dia marah?
Naila memperhatikannya dari jauh, Arvi sedang sibuk dengan bukunya. Modelnya, sama seperti Naila belum mengenalnya lebih dalam. “Beneran Arvi deh, ‘kan nggak ada lagi yang lebih ganteng di sini, tapi kok kayak aneh?”
“Haiss, masa dia marah karena gue ngelewatin batas lima jam? Pokoknya gue butuh klarifikasi,” gumam Naila. “Bentar ajalah gue samperin anaknya.”
“Perhatian, harap agar tidak menimbulkan keributan. Sebentar lagi, acara akan dimulai. Dengan hormat kepada bapak dan ibu guru dipersilahkan bergeser ke tempat yang telah ditentukan.”
Itu suara dari mantan osis GHS tahun lalu, namanya Iwan Gunawan. Laki-laki yang dikenal sama tegasnya dengan Naka.
“Bjir, gue deg-deg, ‘kan sampai mau kentut nih.” Naila berbalik ke samping kanan, mendapati Kaisan yang sedang menyengir.
“Ho’oh sama. Gue udah mau mimisan nih tapi lewat telinga, takut nggak lolos,” balas Winda. Naila berbalik ke samping kirinya, mendapati gadis itu memasukkan jari kelingkingnya di hidung.
“Lo berdua ngapain di sini?” tanya Naila terkejut.
“Numpang, dengerin pengumuman Arnaila Zentara!” balas Winda. “Yakali jadi pengemis, malu sama umurlah.”
“Balik ke tempat lo!” suruhnya.
“AH, kita dapatnya kursi nomor ini. Begitu!” kata Kaisan santai. “Mayanlah, kapan lagi kita bersatu, entar kita bakalan tepuk tangan di sini, dengerin yang gak lolos.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MIXTURE! (About Secrets)
Fiksi Remaja"Jadi, lo pikir bisa lepas dari gue?" "Lo pikir gue nggak bisa?" tanya Naila balik dengan nada sedikit sombong. "Gue bisa, bakalan bisa. Dan, gue bakalan buat lo nggak bakalan betah udah nerima tawaran ini. Siap-siap aja bentar malam sholat taubat...