...🦋...
“Ada apa malam-malam manggil aku ke sini?” tanya Arsila mendatangi Reano tepat di gedung Academi. Dia sempat menitipkan Arvian pada pelayan di rumahnya, setelah ini dia harus ke rumah sakit.
“Kamu datang juga.” Reano menyambutnya dengan tawa, tak percaya perempuan itu seberani ini datang ke sini, tanpa takut ketahuan.
“Jadi, kamu larang aku, iya?” sentak Arsila membuat Reano terkekeh lalu menggeleng, melihat respon pria itu membuat Arsila kesal sendiri.
“Aku udah sayang banget sama kamu, mana tega sih ngelarang.” Arsila tersenyum menanggapinya. Benar kata Reano, pria itu tak setega itu padanya. Rasa sayangnya lebih besar, jadi mana mungkin melarangnya.
“Terus, apa mau kamu nelpon aku? Padahal aku sibuk sekarang,” kata Arsila terlihat terburu-buru. Wajahnya juga seperti tak senang seperti biasanya.
“Kangen aja sih, gak boleh emangnya?”
“Gak penting ternyata.” Wanita itu memutar bola matanya. “Aku ada urusan penting, kayak biasa tanpa harus aku jelasin, aku pamit.”
“Aku anter,” kata Reano menawarkan. Arsila menggeleng tanda menolak.
“Nggak, aku bisa sendiri. Mending kamu pulang aja,” suruhnya. “Pulang Mas, istri kamu pasti udah nunggu.”
Wanita itu mengambi kunci mobilnya, meninggalkan Reano yang terdiam di tempat.
“Tunggu!” Arsila berhenti di tempat, menatap Reano dengan bingung.
“Kenapa?”
“Kamu tau hubungan Naila dan Arvi?” tanya Reano. Arsila mengangguk mantap, dia jelas tau bagaimana yang dimaksud Reano. Pria itu terdengar lesu sambil menarik nafas.
“Memangnya kenapa? Hubungan mereka juga sudah terjalin sejak kecil Mas Rean, jadi apa salahnya?” Arsila mengingatkan, bahkan dia adalah orang pertama melihat keponakannya itu bermain dengan Arvi, terus merecoki anak laki-lakinya tanpa henti.
Reano mengiyakan, memang betul itu. “Aku cuman takut, mereka tau sebenarnya.”
Arsila bahkan tidak memikirkan itu, dia sama sekali tidak takut ketika suatu saat nanti semuanya akan terbongkar, dia tau semua ini pasti akan diketahui sedalam apapun itu ketika disembunyikan, nyatanya bangkai akan tetap tercium, bagaimana pun caranya.
“Kita yang harus mengalah Mas, aku udah siap mengalah demi Arvi. Dia wajib bahagia,” jawabnya dengan rasa bersalah ketika menyebut nama putranya. “Kamu atau aku, akan mengalah demi anak-anak, kita gak boleh egois.”
“Kamu selalu bijak Arsila.”
“Aku pamit dulu,” katanya tidak membalas ucapan Reano. Wanita itu segera berjalan dengan cepat, pergi meninggalkan ruang ketua koordinator. Ada yang lebih penting dari ini yang perlu diurusnya.
…🦋...
“Bunda Nai nginep di sini, ya.” Naila membawa bantal berbentuk strawberrynya, memberi tahu Rena yang sedang berkutat di dapur. “Boleh, ya bunda. Bosen di rumah.”
“Boleh dong sayang, kamu udah makan?” Naila mengangguk sebagai jawabannya. Rena menatap anak itu dengan wajah kebingungan tak paham. “Ada masalah lagi ya Nai?”
Naila terkesiap ketika wanita itu menebak, tepat sasaran. “E-enggak kok Bun, emang kayak kelihatan ada masalah gitu?”
“Iya, nggak kayak biasanya. Besok-besok, kamu nginap di sini, ya. Takut kalau ada orang jahat lagi, mana tau dia niat masuk ke rumah kamu.” Rena terdengar khawatir sekali, wanita itu menyimpan sayur yang baru dibuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIXTURE! (About Secrets)
Fiksi Remaja"Jadi, lo pikir bisa lepas dari gue?" "Lo pikir gue nggak bisa?" tanya Naila balik dengan nada sedikit sombong. "Gue bisa, bakalan bisa. Dan, gue bakalan buat lo nggak bakalan betah udah nerima tawaran ini. Siap-siap aja bentar malam sholat taubat...