27. Membuka Hati ?

11 1 0
                                    

"Kesedihan itu seperti lautan; kesedihan datang pada gelombang pasang surut. Terkadang airnya tenang, dan terkadang sangat deras. Yang bisa kita lakukan hanyalah belajar berenang."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.

A

ku gak tahu apa yang kupikirkan sekarang, Caca ada di hadapan kami bersama ibu dan suami barunya. Kak El menghubungi mereka. Berselang kurang dari dua jam setelah bang El menghubungi mereka sudah datang.

''Kakak!'' pekik Caca, berlari menghampiri kami.

Caca memeluk kaki bang El. Aku bisa melihat bang El rada canggung. Dia gak tahu harus merespon seperti apa. Senyum tipis dengan mata datar terbit dari bibirnya. Aku memperhatikan. Kemudian Caca beralih menatapku. Mungkin lebih tepatnya mendongak. Kaki kecilnya melangkah mendekatiku.

''Wah tinggi banget kak Andla.'' Dia menunjukku, suaranya cadel dan terdengar lucu tapi, gak membuatku gemas sama sekali. Justru, aku langsung mengalihkan pandangan. Bibirku mengatup rapat. Gak merespon.

Tiba-tiba saja Caca memeluk kakiku, aku sedikit tersentak.

''Elvano, Andra, terima kasih iya karena kalian mau bertemu sama Caca.''

Gak ada jawaban dari kami. Suasana ini benar-benar canggung sekali.

''Nak Andra, Nak Elvano, terima kasih ya karena mau menghubungi kami. Ibu kalian pasti seneng sekali bertemu dengan kalian,'' sapa ayahnya Caca. Aku gak tahu namanya siapa.

Kami hanya mengangguk sebagai respon.
''Kak Andra! Ya ampun, kok diem di sini sih,'' celetuk seseorang dari belakang. Aku tahu siapa pemililk suara itu. Aku lantas menoleh.

''Lisa,'' seruku.

''Halo tante, om, hai adek kecil,'' sapa Lisa dengan ramah. Caca terlihat sedikit terkejut dan agak takut. Ia lantas memeluk kakiku kembali. Melihat Lisa dengan malu-malu.

''Kenalin aku Lisa, tinggal di sini juga,'' sambungnya.

''Kak El, kak An, bawa om sama tante masuk dong.''

Setelah itu aku mengajak ibu dan keluarganya ke kamar rusun tempat kami tinggal. Lebih tepatnya Lisa yang antusias mengajak mereka. Kami sampai dan terkejut bukan main ketika mendapati sebuah meja tertata rapi di ruang tengah. Meja itu digelar selembar kain di atasnya dan diisi hidangan, berupa nasi dan lauk pauknya. Serta beberapa jenis kue basah di dalam satu piring. Tikar digelar ala lesehan. Siapa yang menyiapkan ini?

''TARAAAM!'' Lisa merentangkan kedua tangan di hadapan kami.

''Ini semua bukan aku loh yang buat hehe.''
Aku menatapnya dengan cengo, bahkan mungkin kami semua. Aku pikir dia akan dengan bangganya mengatakan kalau ini semua dia yang menyiapkan.

''Tapi aku yang nata loh. Ini buatan kakak kembar di sebelah, sama buatan istrinya mas Lian juga. Ayo om, tante, silakan duduk.''
Kenapa seolah-seolah jadi Lisa yang pemilik rumah. Sudahlah. Setidaknya kehadiran Lisa di sini bisa menjadi pemanis suasana. Ma, maksudku, dia bisa membuat suasana tidak terasa canggung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Orang Miskin Baru (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang