"Semua bisa disembunyikan dari manusia tapi tidak dengan Tuhan."
Happy Reading
Matahari hendak terbenam tapi keributan di bangunan putih itu masih terdengar. Biasanya suasana asrama hening lantaran mayoritas penghuninya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler."Payah lu, Ra, masa gini aja kalah," ledek Rayyan. Pria itu berlari ketika Nara mengejarnya.
"Heh! Gue udah lama nggak main ya!"
Raden memakai earphonenya lalu kembali membaca dengan tenang. "Gue juga tuh! Tapi lo mah payah! Ahahaha!"
"Tai lu! Lo mah nggak bisa jauh dari game!"
"Lari-larinya jangan di sini dong!" usir Cia yang terganggu saat melukis. Nara dan Rayyan mendengarnya sebagai teguran yang boleh diacuhkan, mereka pikir Dia tak bersungguh-sungguh mengatakan itu karena mukanya tidak terlihat risih maupun kesal justru imut.
"Stop Nar, Ray!" Cia memegang kepalanya yang pusing. "Nara, Rayyan please stop!! You didn't hear me?!"
Ini sudah kelima kalinya Cia memarahi mereka tetapi sekata pun tak didengar mereka. Cukup sudah, kesabarannya sudah habis, air bekas mencuci kuas ia buang ke Nara dan Rayyan.
Rayyan melihat lengannya yang basah. "What?! Lo kok gitu sih?"
"Ain't my fault," ketus Cia yang pergi ke kamarnya.
Nara memanggil Cia berkali-kali tapi tidak digubris. "Cia ngambek gara-gara lo!"
Rayyan tak terima. "Loh kok gue? Salah lo juga lah!"
Raden mematikan musiknya ketika tahu Rayyan dan Nara kembali bertengkar. "Salah kalian!" Mereka terdiam menunduk ketika Raden mulai marah.
"Kalian tahu kan melukis itu butuh ketenangan? Cia udah terganggu dari awal, dia juga udah peringatkan kalian berkali-kali tapi sama sekali nggak kalian dengerin, gimana nggak kesal kalau kalian ada diposisi dia?"
"Maaf."
Raden yang menduga akan keluar permintaan maaf berkata dengan ketus. "Minta maaf sama Cia sana!"
Nada bicaranya memang rendah tapi percayalah itu menusuk. Mereka Rayyan segera berlari ke kamar Cia dan menjelaskan semuanya sementara Nara terlebih dahulu membersihkan peralatan lukis yang ditinggalkan lalu meminta maaf pada Cia.
Naya melihat kejadian itu dari awal, dia juga yang menyuruh Cia menyiram Nara dan Rayyan lewat kontak mata. Ia melirik Raden yang sibuk dengan aktifitasnya sebelum masuk ke kamar.
"Cerita sekarang." Nara terperanjat mendengar suara kembarannya. Naya menaruh tasnya lalu duduk di sebelahnya. Tangannya menopang dagunya. Nara bertanya, "Cerita apa?"
"Baikan sama bocah itu," katanya dengan raut datar. Kakinya menyilang menghadap Nara, menunggu jawaban gadis itu. "Oh itu." Nara menggaruk rambutnya yang tak gatal, dia merasa terintimidasi.
"Ya gitu baikan, hehe." Timbul kerutan di dahi Naya. "Apa alasan dia begitu?"
"Demi PlayStation dan motor." Naya memutar bola matanya malas, ia beranjak menuju meja belajar sembari berkata. "Bodoh, alasannya konyol sekali."
"Masuk akal kok," bela Nara. Naya melirik Nara yang masih duduk di tepi kasur. "Menjauhi sahabat lalu memakinya dan tiba-tiba menjadi anak ambis hanya karena itu? Itu konyol, Ara."
"Menurut gue enggak. Rayyan itu pecinta game, wajar kalau dia lakuin itu demi game." Nara terus membela Rayyan.
Naya menoleh. "Seseorang pasti punya hal istimewa yang menjadi titik kelemahannya. Apa game lebih istimewa dibanding menjaga perasaan sahabat yang selalu ada kalau dia butuh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Perfect
Teen FictionOrang bilang, sekolah adalah rumah kedua. Inilah yang dirasakan sekumpulan remaja yang mempunyai sama-sama mempunyai trauma dan luka, mereka tiba-tiba di pertemukan di sebuah kelas unggulan yang mempunyai banyak peraturan dan tuntutan. Apa yang mer...