01. PERTEMUAN PERTAMA

631 35 24
                                    


"Hai tampan, oh tidak manis sekali senyumku inii ... Hahaha."

Memuji diri sendiri bukan hal yang burukkan? Semua orang perlu yang namanya kepercaya dirian. Tak ada gunanya kita membandingkan kekurangan kita dengan orang lain, cukup bangga dengan hal yang kita punya maka kau akan bahagia.

Seperti hal yang dilakukan oleh seorang pemuda yang satu ini. Dia akan bercermin, melakukan beberapa pose yang dianggapnya keren lalu memuji dirinya sendiri. Mungkin terlihat narsis, tapi dia melakukan hal itu hanya semata-mata untuk menghibur dirinya sendiri.

"Jam berapa ini, ya ampun aku harus segera pergi."

Pemuda itu pantas berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Menciptakan suara lantai dan telapak kaki yang ribut, hingga mencuri atensi seorang nenek yang tengah bergelut dengan alat masak didapur.

"Didi? Kau berlari ditangga lagi?"

Didi, nama kecil Dylan yang disematkan oleh sang nenek untuk cucu satu-satunya dan yang paling dia sayang.

"Nenek kenapa bisa dengar langkah, Didi?" ujar Dylan sambil memajukan bibirnya beberapa centi.

"Bahkan nenek bisa dengar detak jantungmu." nenek melangkah mendekat kearah cucunya. Memberikan kecupan kecil didadi Dylan.

"Makan nasi gorengnya, nenek harus segera membuka toko. Kamu jika sudah selesai dengan kegiatanmu, tolong bantu nenek di toko ya." Dylan mengangguk disela-sela kunyahannya.

Dylan hanya hidup berdua dengan sang nenek sejak lulus sekolah dasar. Kedua orangtuanya telah tiada tepat saat dia lulus sekolah dasar ketika hendak menjemputnya. Jika ditanya apakah Dylan sedih? Tentu dia sangat sedih, tapi bersyukurlah dia karena masih memiliki seorang nenek kala itu yang mau merawatnya dan melimpahkan kasih sayang padanya.

"Nenek, apa nenek yakin Didi melanjutkan kuliah disini?" Dylan bukan tergolong keluarga kaya, mereka hanya mengandalkan penghasilan dari toko bunga kecil.

"Didi, bukankah kampus itu memberikan keringanan?"

"Iya, hanya saja aku takut lingkungan disini berbeda dengan tempat ku dulu." Nenek mengusap pundak sang cucu.

"Nenek yakin cucu nenek ini bisa. Sana cepat urus keperluan kuliah mu, agar cepat selesai lalu segeralah ke toko bunga."

Sesuai dengan yang nenek ucapkan, selesai menghabiskan sarapannya Dylan langsung pamit. Dylan melangkah keluar menuju motor beat hijau miliknya. Tujuannya kali ini adalah Universitas Neo.

Tak perlu waktu lama, karena jarak tempuh yang diperlukan tak terlalu jauh. Dylan langsung menuju  tempat dimana dia akan melengkapi data pribadinya.

Dia kira untuk hal seperti ini tak akan memerlukan banyak waktu. Ternyata dia salah, sendiri di wilayah kampus yang luas seperti ini membuatnya  kebingungan. Ingin sekali dia bertanya tapi tak ada satupun orang yang lewat sedari tadi. Hingga seseorang dengan motor sport melewatinya, dan parkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa pikir panjang, Dylan segera menghampiri orang itu.

"Permisi, maaf bisa bantu saya?" Orang itu berbalik dan terkejut saat melihat Dylan.

"Dion ..." Dylan mengernyit bingung.

"Gue ga salah liat? Dion!" tiba-tiba orang itu memeluk Dylan dengan sangat erat. Dylan bahkan bisa mendengar isakan tangis dari orang yang memeluknya.

"Ini ga mungkin tapi gue seneng, pasti Sakir seneng liat Lo. Apalagi a Riki." Dylan yang mulai merasa terganggu pun melepas pelukan orang asing itu.

"Maaf tapi gue bukan Dion. Gue Dylan, dan maaf sebenernya gue mahasiswa pindahan gue mau tanya dimana tempat gue bisa ngumpulin ini." ujar Dylan sambil menunjukan map yang ada ditangannya.

"Ahh maaf, Lo mirip banget sama temen gue. Nama gue Haryo, Lo bisa panggil Ryo. Ruangannya ada disamping perpus, itu disana. Gue pamit ya, semoga kita bertemu lagi." orang asing yang memeluk Dylan adalah Ryo.

"Makasih, Ryo. Dan gue harap kita ga ketemu lagi. Dia aneh, semoga gue dijauhkan dari orang-orang aneh." Dylan menatap kepergian Ryo.

Dylan pun berjalan menuju arah yang tadi Ryo tunjuk. Disana terlihat seorang pria yang menelungkupkan wajahnya. Dia tidur saat bekerja, tebak Dylan.

"Ekhemm, maaf." orang itu mengernyit tak suka karena waktu istirahatnya terganggu. Dengan mata yang malas dia mengambil pulpen dan membuka buku tebal disampingnya.

"Ada yang bisa saya ban- ... Di-Dion?!"

Lagi dan lagi Dylan bertemu dengan orang yang memanggilnya Dion. Dylan melangkah mundur saat orang diseberangnya hendak meraih tangannya.

"Dion ... Lo bener Dion kan? Abang seneng banget liat Lo." Orang asing itu menatap Dion dengan sorot mata yang memancarkan kerinduan. Lain hal dengan Dylan yang menatapnya risih.

"Dilan. Bukan Dion. Saya mau ngasih ini, maaf terlambat saya sempat nyasar tadi." Dylan menyodorkan map pada orang diseberangnya.

"BANG BIAN, RYO CERITA DIA KETEMU DION!"  teriakan suara bariton dari arah pintu membuat Dylan dan Sabian -orang asing tadi- menoleh.

Pemilik suara bariton itu adalah Syakir. Mungkin dia adalah orang aneh ketiga yang Dylan temui hari ini. Dylan yang merasa tak nyaman dengan keadaan sekarang memutuskan untuk segera pergi.

"Saya permisi." Dylan berjalan secepat mungkin. Sungguh dia tanyaman sekarang. Sialnya langkahnya tertahan saat orang asing ketiga menarik tangannya.

"Iyon ... " lirih namun dapat Dylan dengar dengan jelas.

"Lepas!" Dylan menghempaskan genggaman tangan Syakir secara paksa.










DYLAN DWI ABRAHAM "Gue ga ngerti, tapi gue Dylan bukan Dion

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DYLAN DWI ABRAHAM
"Gue ga ngerti, tapi gue Dylan bukan Dion."

"Ternyata muka ganteng gue pasaran."

"LO SEMUA BISA JAUHIN GUE GA?"

02. DYLAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang