"Parkir motornya jangan terlalu tengah ya, mang. Merusak pemandangan soalnya." suara Ryo menyambut Riki yang baru saja tiba seusai mengantarkan Dylan. Dengusan dapat Ryo dengar dari Riki.
"Yang ada ni toko makin estetik kalo pespa gue parkir didepan sini." ujar Riki tak terima. Walaupun motornya bukan motor sport atau Vario seperti yang dipakai oleh Ryo dan Syakir, Vespa-nya ini tak terlalu buruk.
"Masuk buru, nenek bos mau ngomong sama kita." Ryo berjalan terlebih dahulu.
"Nek, udah kumpul semua." Ryo duduk disamping Sabian. Kini nenek telah menyiapkan kursi untuk mereka duduk, jadi mereka tak perlu duduk lesehan di lantai.
Nenek Dewi, pemilik sekaligus nenek dari Dylan menatap satu persatu pegawai barunya. Tangannya mengambil sesuatu dari saku apron yang beliau pakai. Nenek menaruh sebuah foto diatas meja.
"Rik, ini ... " Sabian menatap kearah Riki yang masih terkejut melihat foto yang baru saja dikeluarkan nenek.
"Nek?" tatapan penuh tanya nenek dapatkan dari kelima remaja disana. Beruntunglah toko tengah sepi, juga Dylan yang tengah ada di kampus. Jadi mereka dapat berbincang dengan leluasa.
"Saya kira ini foto milik Didi. Tapi saya ingat, Didi selalu memperkenalkan semua temannya pada saya." rasa canggung mulai mendominasi keadaan mereka.
"Didi, adalah cucu saya. Dia sama sekali tak ada hubungan apapun dengan Dion." perkataan nenek yang terlalu santai, membuat kelimanya terkejut.
Nafas Riki memburu, matanya berpencar melihat sekeliling dengan acak. Binar panik dan takut dapat terlihat jelas. Beberapa kali matanya berkedip untuk menghalau luncuran air mata.
"Tenangkan dirimu, Riki." ujar nenek yang langsung mendapat gelengan cepat dari Riki.
"Nenek ... Tau ... dari mana ... Lalu didi ..." Riki bertanya dengan nafas yang tersengal-sengal. Matanya belum berani menatap lawan bicara saat ini.
"Sikap kalian terlalu mencolok, wajar jika saya curiga. Menurut kalian bagaimana bisa saya menerima pegawai baru dengan sangat mudah? Saya lebih dulu merasakan kehidupan sebelum kalian, mudah bagi saya untuk mengetahui sesuatu. Saya hanya ingin berpesan, jika kalian hanya ingin menjadikan cucu saya sebagai pelampiasan atas rindu kalian pada Dion. Lebih baik kalian pergi, dan jangan ganggu cucu saya lagi." ucapan nenek bagaikan busur yang menancap tepat pada objek bidikan.
"Ngga nek ... NGGAA!!" emosi Riki meluap, matanya memerah menahan tangis juga amarah secara bersamaan. Sabian berusaha menenangkan Riki dibantu oleh Ryo. Tangan Riki yang terkepal berusaha Ryo lemaskan. Bahaya jika Riki meledakkan amarahnya disaat seperti ini.
"Riki tenang. Tarik nafas pelan-pelan." Sabian masih berusaha meredakan emosi Riki. Berbagai cara dia lakukan, kalimat penenang dia ucapkan, tangannya juga tak henti mengusap pundak Riki.
"Nenek Dewi. Apa maksud nenek bicara seperti itu." Syakir menatap tajam sosok yang paling tua disana. Tak peduli dengan rasa hormat dan sopan santun, Syakir akan melawan jika seseorang membuat dirinya dan orang-orang penting di hidupnya terganggu.
Nenek Dewi tetap terlihat tenang. Tatapan tajam yang Syakir lemparkan, juga nada tinggi yang tadi Riki keluarkan sama sekali tak memancing emosinya.
"Sudah saya bilang. Didi cucu saya. Saya hanya minta kalian anggap dia sebagai Dilan, bukan sebagai Dion." ucap nenek Dewi sambil menekan kata Dion.
"Sama halnya seperti Dion yang penting untuk kalian. Dilan juga penting untuk saya. Hanya dilan alasan saya bertahan, jadi tolong anggap dia sebagai Dilan ... Jika kalian tidak bisa, jauhi dia."
BRAKK
Gebrakan dimeja membuat nenek Dewi menatap tajam si pelaku yang tak lain adalah Riki.
"Bagaimana mungkin saya biarkan, cucu saya berdekatan dengan orang yang tak bisa mengatur emosinya. Cucu saya terlalu lugu untuk berada didekat kalian."
Riki tersadar dengan yang baru saja dia lakukan. Hatinya membenarkan ucapan nenek Dewi. Jika dia ada diposisi nenek Dewi, pasti dia juga kan berbuat hal yang sama. Mana mungkin ada orang tua yang membiarkan anaknya dekat dengan orang yang emosional sepetinya.
Emosi Riki meluruh, pundaknya perlahan turun. Tangan yang sebelumnya mengepal kini berusaha menghapus lelehan airmata yang keluar. Nenek Dewi menatap setiap remaja didepannya. Kelimanya terlihat kacau, dan putus asa.
"Kalian sakit." ucap nenek Dewi, yang lagi-lagi membuat kelimanya terkejut.
"Jangan libatkan cucu saya." nenek Dewi hendak meninggalkan mereka, sebelum perkataan keluar dari mulut Yusril yang sedari tadi diam.
"Kita memang sakit nek, kita perlu obat. Karena itu kita perlu dilan." Yusril memejamkan matanya, mengatur segala emosi yang ada dalam dirinya. Juga mempersiapkan diri untuk menerima kemungkinan kalimat tajam yang akan nenek Dewi ucapkan.
"Saya tau kamu orang kaya Yusril. Saya yakin uang ayahmu tak akan untuk membayar psikiater."
"Bukan dokter yang kami butuhkan nek. Kami kosong, tanpa arah tujuan. Setiap tawa yang kami lewati terasa hambar." Sabian menatap nenek Dewi yang tak bereaksi apapun. Tetap tenang dan santai, seakan tak peduli dengan keadaan mereka yang tengah menahan sesak serat tangis.
"Hidup dalam bayang-bayang penyesalan serta rasa bersalah itu sulit, nek. Cuman dengan melindungi dilan, rasa bersalah itu seakan terbayar." Ryo mengungkapkan kegelisahannya.
"Iyo, benar nek. Tuhan seperti memberi kami kesempatan untuk memperbaiki setiap kesalahan yang kami perbuat pada Dion." Syakir menambahi ucapan Ryo.
"Kami menganggap Didi sebagai Dylan. Kami hanya ingin melindungi Didi, bukan menjadikan didi sebagai pelampiasan, nek. Dion ... adek Iki, Didi cucu nenek. Mereka sekilas mirip, tapi berbeda. Maaf, Iki emosi waktu nenek minta jauhin Didi. Karena emang seberpengaruh itu cucu nenek buat kami ..." ucap Riki yang diangguki yang lain.
"Buktikan. Lindungi cucu saya, jika terjadi sesuatu kalian yang harus bertanggung jawab." kelimanya mengangguk tegas dengan raut wajah serius.
"Sudah, maaf karena nenek membuat kalian tegang." kelimanya melongo melihat perubahan sikap nenek Dewi yang terbilang cepat.
"Nenek?? Serius tadi jantung Sakir hampir pindah ke dengkul." prustasi Syakir.
"Nek, untung khodam si Riki ga keluar tadi." akhirnya Sabian dapat bernafas lega.
"Nek! Iki udah nangiss lho ini. Sampe pukul meja hiks ... " nenek Dewi tertawa dengan setiap respon remaja dihadapannya.
"Nenek ga bercanda soal anggap Didi sebagai Dilan. Tapi kalo soal jauhin, jangan dianggap serius. Nenek tau trauma ditinggalkan seseorang itu sulit hilang. Tapi nenek yakin seratus persen ... Didi itu ga belok. Paling yaa dia anggap kalian sebatas kayak Abang atau adeknya."
"Tenang aja nek. Ada Haryo! Pesona Iyo siap mengikat bebek lucu nenek. Dijamin Didi bucin nanti sama Iyo" Ryo dengan percaya dirinya berkata seperti itu.
"Hidih hidih, jangan lupa. Pesona anak tunggal kaya Raya sulit tertolak." Yusril tak mau kalah.
"Pesona pesona. Yang ada kalian bucin sama cucu nenek." ucap nenek malas.
"BETUL BETUL BETUL." kompak lima remaja disana.
"Eh nenek dapet foto Riki dari mana?" Yusril penasaran, darimana nenek Dewi mendapatkan foto Riki dan Dion tadi.
"Nenek Nemu didekat halte. Sepertinya, terjatuh saat kita mengobrol waktu itu." Riki mengangguk, pantas saja fotonya dengan sang adik berkurang satu. Awalnya dia kira foto itu mungkin rusak saat dia mencuci pakaiannya.
Ketegangan yang mereka rasakan kini berganti dengan kehangatan. Entah berapa banyak hambatan yang akan mereka hadapi. Seberapa kuat mereka bertahan, akankah kelimanya akan tetap bersama atau bersaing karena keegoisan? Lihat saja nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
02. DYLAN [END]
Short Story[Nct Wish lokal] Dylan Dwi Abraham, pria yang menyukai ketenangan harus berhadapan dengan lima orang asing. "LO SEMUA BISA JAUHIN GUE GA?" "We love you, dilann~~" "OGAH GUEE, SYUHHH PERGI SANAA!!!" Fanfic ini nyambung sama "Aa with Adek" kalo ada y...