Sesuai yang direncanakan. Rumah sederhana nenek Dewi kini diisi delapan orang remaja pria. Inginnya mereka menghangatkan diri didepan api unggun sambil menatap Kilauan gemintang dilangit. Namun urung saat sang pemilik rumah melarang karena takut melukai Tanaman-tanaman indah dihalaman rumahnya.
Kasur lantai lengkap dengan bantal dan selimut telah tergelar apik ditengah rumah. Para remaja akan tidur bersama, sedangkan nenek Dewi akan tidur di kamarnya sendiri. Waktu telah menunjukan tepat tengah malam, terhitung mereka telah menamatkan dua judul film Disney. Sangat tak elit sekali memang, ingin sekali sebenarnya Ryo protes dan mengajukan untuk menonton film action atau horor. Miko dengan sabar memberi petuah pada yang paling muda, untuk menghindari film yang berisi adegan kekerasan serta suara tembakan. Bagaimanapun juga Miko harus mencegah ingatan Dylan kembali, walaupun nantinya hanya akan membuat Dylan mengingat sekilas.
"Cill tolong dong matiin tipinya." pinta Juna pada Syakir. Dengusan terdengar dari Syakir, walaupun begitu Syakir tetap menurut. Dia mematikan televisi, lalu membaringkan diri di antara Sabian dan Ryo.
Dylan melihat kesamping, posisi tidurnya paling ujung dekat dengan Juna. Seperti biasanya, Juna tak akan bisa diam saat tidur. Pandangannya terkunci pada Riki yang tidur dipaling ujung juga. Sedari tadi saat film pertengahan pertama Riki telah memejamkan matanya. Gengsi sebenarnya, tapi jujur saja Dylan nyaman saat tidur bersama Riki.
Dylan bangkit dengan membawa bantalnya menuju posisi Riki. Masa bodo dengan gengsi, dari pada badannya sakit karena ditendang Juna lebih membangunkan Riki, lalu tidur dalam pelukan Riki.
"Aa~..." Dylan mencolek-colek pundak Riki. Tubuhnya telah dia rebahkan disamping Riki. Kantuk tak kunjung mendatangi Dylan, matanya enggan menutup sebelum mendapat pelukan.
"Aa ... Didi minta peluk."
"Emmm~" gumaman berasal dari yang paling tua. Riki menyampingkan posisi tidurnya, dengan mata tertutup Riki merengkuh tubuh bongsor Dylan kedalam pelukannya.
"Selamat bobok bayinya aa." ucapan selamat tidur dari Riki bagaikan sebuah Matra tidur untuk Dylan. Tak perlu menunggu lama, rasa kantuk menjemput kesadarannya untuk menuju alam mimpi.
-=DYLAN=-
"Mereka sepertinya baru saja merayakan pesta ulangtahun, nyonya. Acaranya baru selesai. Tuan muda juga ikut dalam acara ini." ucap seorang pria lewat telepon.
"Apa hal yang menarik dari acara itu?"
"Tidak ada. Tapi saya mendengar tuan muda berkata pada temannya untuk tidak menonton tayangan yang mengandung adegan kekerasan dan suara tembakan."
"Apa yang menarik dari itu?" tanya seorang wanita anggun.
"Hal itu untuk mencegah ingatan Dilan kembali." lanjut orang disebrang sana yang sedari tadi mengawasi rumah nenek Dewi.
"Bagus. Lanjutkan tugasmu yang terakhir. Lalu pergi secepatnya dari sana." panggilan diakhiri. Wanita yang telah berumur namun tetap terlihat cantik dan anggun, duduk di kursi kebesarannya dengan balutan dres merah maroon yang menambah kesan elegan.
"Kamu memihak pada mereka Miko?Kita lihat sejauh mana kamu bisa melindungi adik kecilmu. Dia manis, sayang sekali dia gila. Lebih gila lagi penyebab dia gila adalah aku, ibumu sendiri."
Indri tersenyum menatap sebuah pigura yang terletak di meja kerjanya. Jemari lentiknya menyentuh permukaan kaca pigura, membelai wajah sang putra yang terhalang kaca bening.
"Kamu salah memilih lawan, nak." senyum yang terlihat anggun namun menyimpan segala kebencian juga penuh tipu muslihat.
-=DYLAN=-
prankkk
Suara pecahan kaca jendela mengusik seseorang yang tengah terlelap dibalik balutan selimut. Nenek Dewi segera menyalakan lampu tidur didekatnya. Tak lama suara langkah kaki yang bersahutan mulai terdengar mendekat. Pintu dibuka dengan tergesa-gesa, serta lampu yang mendadak menyala.
"Nenek ada apa?" tanya Miko dengan panik kala mendengar suara pecahan. Insting polisinya sangat kuat, walaupun suara pecahan kaca itu terdengar samar telinganya tetap bisa menangkap dengan jelas. Hanya Miko yang mendengar, sisanya terbangun karena kerusuhan Miko yang terburu-buru pergi menghampiri nenek Dewi. Kecuali Dylan, yang memang sangat sulit dibangunkan.
"Jendelanya pecah?" Ryo berjalan mendekat kearah jendela. Kakinya melangkah dengan hati-hati untuk menghindari pecahan kaca yang tersebar. Tak ada siapa pun diluar sana, hingga matanya menangkap sebuah batu yang dibaluti dengan kertas. Sepertinya itu benda yang digunakan untuk memecahkan jendela.
"Ada tulisannya." ucap Ryo saat membuka kertas yang membalut batu tersebut. Ryo menatap satu persatu teman-temannya, seakan meminta izin untuk membacakan tulisan yang tertera disana.
"Saatnya untuk mengungkap kebenaran." ucap Ryo dengan bingung.
Nenek Dewi bangkit dengan terburu-buru, hingga kakinya tak sengaja menginjak pecahan kaca. Rasa perih dikakinya tak seberapa dengan rasa takut yang hinggap dalam dirinya. Netranya mencari keberadaan sang cucu. Para remaja pria disana meringis melihat jejak noda darah yang dibuat nenek Dewi.
Miko mendekat kearah Ryo untuk melihat kertas yang berisi ancaman. Sementara yang lain pergi menyusul nenek Dewi.
"Ibu Lo mulai berulah, bang." ucap Juna yang masih setia berdiri diambang pintu. Sebelum akhirnya pergi dari sana meninggalkan Miko dan Ryo.
Ditengah rumah, nenek Dewi kini tengah duduk bersimpuh sembari menatap sang cucu yang masih tertidur pulas. Usapan serta kecupan ringan senantiasa beliau berikan pada sang cucu. Sekuat tenaga beliau menahan suara isakan tangis serta luncuran airmatanya agar tak mengganggu tidur lelap sang cucu.
"Maafin nenek, ya."
"Nek, Juna bantu obatin dulu lukanya ya. Yang lain bisa bantu beresin dulu pecahan kacanya? Biar nanti Didi ga kaget." pinta Juna, yang diangguki teman-temannya.
"Juna ... Didi ... " Juna mengangguk mendengar ucapan lirih nenek Dewi. Tangan yang paling muda memapah yang paling tua untuk membuat sedikit jarak dari sosok yang tengah tertidur pulas.
Juna berhasil membawa nenek Dewi untuk duduk disofa yang tak jauh dari posisi awal. Tangannya dengan telaten mengobati luka yang ada ditelapak kaki nenek Dewi. Rasa perih yang disebabkan alkohol sama sekali tak membuat ringisan keluar dari mulut nenek Dewi.
"Nek, sekarang bukan cuma Juna yang nenek punya. Ada bang Miko, bang Bian, Riki serta yang lainnya. Kita semua bisa bantu nenek, walau nanti pahitnya Didi akan ingat. Kami akan bantu Didi sembuh, kami tetap akan jaga Didi."
"Gimana kalo mereka malah ninggalin Didi, Juna?" ucap nenek Dewi yang mengeluarkan kekhawatirannya. Bagaimanapun mana ada orang yang mau repot-repot menjaga orang yang memiliki kelainan mental. Apalagi jika itu telah berhubungan dengan keselamatan nyawa mereka.
"Mereka bisa aja ninggalin Didi. Tapi Juna ga akan ninggalin Didi. Nenek percaya sama Juna kan?" Juna meraih kedua tangan nenek Dewi, dia genggam dengan erat untuk mendapat kepercayaan dari nenek Dewi.
"Terimakasih, Juna." ucap nenek nenek Dewi.
Untuk menghindari kejadian serupa. Mereka memutuskan untuk tidur bersama di ruang tengah. Kejadian tadi cukup membuat mereka waspada, ada rasa takut yang hinggap dalam diri. Untuk malam ini biarkan mereka beristirahat, mengumpulkan segala tenaga untuk menghadapi hari esok. Entah akan ada berapa kejutan yang akan dihadapi, yang mereka tau ini baru permulaan sebelum menuju inti.
KAMU SEDANG MEMBACA
02. DYLAN [END]
Short Story[Nct Wish lokal] Dylan Dwi Abraham, pria yang menyukai ketenangan harus berhadapan dengan lima orang asing. "LO SEMUA BISA JAUHIN GUE GA?" "We love you, dilann~~" "OGAH GUEE, SYUHHH PERGI SANAA!!!" Fanfic ini nyambung sama "Aa with Adek" kalo ada y...