37. KEKECEWAAN

116 21 13
                                    


Lagi dan lagi Dylan disuguhkan dengan kamar berwarna kuning. Bedanya tak ada pernak pernik ataupun perabotan sebanyak kamar dirumah dulu. Hanya ada meja belajar, lemari pakaian, ranjang lengkap dengan kasur dilapisi sprei warna hijau neon dan nakas disampingnya. Sesuatu menarik perhatiannya, jam weker Pikachu yang sudah tak terpakai berdiri dengan apik di nakas.

"Berdebu sekali. Kasian, lucu tapi kotor. Kamu perlu mandi, biar Didi bantu bersihkan ya." Dylan mengambil kain lalu dia basahkan sedikit. Tangannya ngusap setiap sisi jam weker dengan kain basah. Selesai, terlihat bersih.

"Baterainya habis. Coba Didi ganti dulu. Nah kan nyalaa." ujar Dylan kelewat senang saat jam weker itu kembali berfungsi. Dylan merebahkan tubuhnya, menatap lamat-lamat jam weker berbentuk Pikachu yang ada ditangannya. Sebuah pertanyaan muncul, bukan sekali tapi dua kali dia melihat tempat yang terdapat barang bertema Pikachu. Jika dipikir-pikir tidak mungkin Riki menyukai Pikachu, yang Dylan tau Riki bukan orang yang menyukai warna terang dan ngejreng seperti kuning ataupun hijau neon.

"A Riki terlalu kolot untuk warna ngejreng. Lebih ke classic sih. Kecuali kalo ada orang lain, adik misalnya-" Dylan terperanjat kala sadar dengan ucapannya yang terakhir.

"Adik, benar. Mainan itu ... Jangan-jangan orang yang diceritain nenek waktu itu a Riki ... adiknya udah meninggal, terus Sakir bilang gue mirip orang yang mereka kenal."

Dylan bangkit dari posisi terbaringnya. Netranya menyelusuri setiap sudut ruangan, tak ada satu fotopun yang tertempel di dinding atau disimpan di meja, seakan-akan memang sengaja dihilangkan. Tak menyerah Dylan mencari disetiap lemari dan laci. Semoga perkiraannya salah, tak mungkin mereka Setega itu. Dylan yakin mereka orang-orang baik.

Tangannya bergetar meraih selembar foto usang. Dalam foto itu terdapat dirinya dengan Riki. Bukan, itu bukan dirinya. "Ini adik a Riki? Semirip itu?" Alisnya menukik tajam. Dibaliknya foto tersebut terdapat sebuah tulisan 'Dion Pikachu vs Riki Kuromi'

"Dion ... " lirih Dylan. Tangannya terkepal dengan mata terpejam menahan luapan amarah. Nafasnya dia hembuskan secara kasar. Tas diatas tempat tidur dia ambil secara kasar, dengan dada yang naik turun Dylan keluar dari kamar tersebut untuk mencari keberadaan nenek Dewi. Apa yang akan Dylan lakukan? Tentu saja meninggalkan tempat ini. Untuk apa tinggal jika dirinya dianggap orang lain.

"Nenek, kita pulang aja. Kemana pun asal jangan disini." ucap tiba-tiba Dylan saat yang lain tengah berkumpul.

"Didi." Riki terkejut saat tangannya ditepis oleh Dylan. Niat awal ingin menarik Dylan untuk duduk disampingnya gagal. Sebelum akhirnya pandangan Riki terpaku pada selembar foto ditangan Dylan.

"Tunggu. Biar aa jelasin. Ini gak seperti yang kamu kira." Riki menggeleng ribut. Beberapa kali mendapat penolakan dan tepisan, namun Riki tetap mencoba.

"Nek, Didi mohon." Dylan berharap neneknya bisa membantu.

"Lo! Jangan sentuh gue!" sentak Dylan lalu melangkah mundur, memberi jarak antara dirinya dan Riki.

"Didi ... tolong dengerin aa ... " Riki menatap Dylan dengan sendu. Dadanya terasa sesak kala Dylan semakin menjauh jika dia mendekat. Netra jernih Dylan kini memerah melayangkan tatapan tajam.

"Dion ... Gue ga salah liat? Dion! Ini ga mungkin tapi gue seneng, pasti Sakir seneng liat Lo. Apalagi a Riki."

"Dion ... Lo bener Dion kan? Abang seneng banget liat Lo."

"Iyon ... "

"Dion! Lu bangkit dari kubur ya? Dion, lu pasti kangen gue kan? Makanya lu bangkit dari kubur. YEAYYY!!"

"Jujur Lo mirip banget sama seseorang yang udah ninggalin kami. Ka-kami, ... Kami, kami sangat kehilangan dia. Jadi waktu liat Lo yang mirip banget sama dia, gue ngerasa seneng. Maafin kita ya, Dilan."

"Adek ... "

Dylan baru paham, seharusnya dia sadar dari dulu. Sejak awal dia bertemu dengan mereka nama 'Dion' merupakan hal yang mereka ucapkan. Memang Riki tak pernah menyebut nama itu, apa itu termasuk rencananya? Payah sekali pikirnya. Mana mungkin orang tanpa alasan gencar mendekatinya secara terang-terangan, jika bukan karena alasan tertentu.

"Seharusnya gue sadar dari awal ..." lirih Dylan. Netranya menatap satu persatu tersangka yang mengira dirinya orang lain.

"Iyon- tidak Didi. Kami ... " nafas Ryo tercekat kala Dylan menatapnya kecewa sama persis seperti dalam mimpi. Salahnya sendiri karena tiba-tiba secara reflek menyebut nama kecil sang sahabat.

"Dilan. Bukan Dion." tegas Dylan.

"Nenek ga mau pergi dari sini gapapa. Didi bisa sendiri."

Tubuh Riki meluruh tepat saat Dylan telah melangkah pergi. Tangis serta teriakan histeris dari Riki mulai memenuhi ruangan. Bibirnya terus memanggil nama Dylan, berharap agar sang pemilik nama mau berbaik hati untuk kembali dan memeluknya. Jangankan untuk kembali, menoleh pun tak Dylan lakukan. Telinganya seakan tuli mengabaikan suara yang semakin serak memanggilnya.

"DIDI! DIDI DENGERIN PENJELASAN AA DULU DIDI!! uhuk uhuk hiks ... DIDIII! hiks ... jangan pergi Didi hiks." Juna menatap iba Riki yang menangis dengan tersedu-sedu. Bahkan hingga tersedak, Riki sangat kehilangan.

"Biar gue, kalian coba tenangin Riki sama sakir." Juna coba menahan Sabian yang hendak mengejar Dylan.

"Gue ikut." ujar Ryo yang dibalas gelengan dari Juna.

"Tenangin diri Lo. Coba berdamai sama diri sendiri, Lo ga salah sama sekali. Rasa bersalah Lo bisa jadi penyebab dilan ninggalin kalian." Ryo diam membeku. Perkataan Juna tepat sasaran.

Dylan benar-benar pergi dari tempat itu. Sepanjang kakinya melangkah banyak orang-orang yang melirik kearahnya. Dapat Dylan simpulkan jika mereka juga menganggap dirinya adalah orang lain. Aneh memang, kenapa bisa sangat mirip.  Kakinya telah melangkah jauh meninggalkan rumah bercat gelap itu. Mungkin dia bisa kembali ke rumahnya yang semula, iya.

Mobil hitam mengkilat tiba-tiba berhenti didepannya. Kacanya menampilkan seorang wanita dengan kacamata hitam tengah tersenyum. Senyum yang menawan namun menakutkan dalam satu waktu.

"Senang bertemu dengan mu. Bagaimana? Siap menyusul Ibu dan Ayah mu, dilan?" ujarnya dengan tenang. Tangan wanita itu memegang sebuah pistol lalu diarahkan tepat dihadapan Dylan.

Seketika Dylan mulai merasa sakit dikepalanya. Sangat sakit seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Teriakan kesakitan dari Dylan mengundang perhatian semua warga penghuni komplek. Hingga mau tak mau Indri segera melajukan mobilnya menjauh dari tempat itu.

"DIDI!" langkah Juna semakin cepat kala pandangannya menangkap Dylan yang tergeletak lemas. Banyak warga setempat juga yang berdatangan, dan bertanya mengenai keadaan Dylan.

"Didi! pak, Bu tolong bantu adik saya." Juna bersyukur ditempat asing ini masih ada orang yang senantiasa cekat membantu, walaupun dia termasuk orang baru.

"Didi bertahanlah. Masih banyak kenyataan yang perlu kamu hadapi."

02. DYLAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang