13. POWER RANGERS

182 29 39
                                    

Sabian memarkirkan mobilnya dengan perlahan, sesuai dengan petuah nenek Dewi sebelum dia melajukan mobilnya dari puskesmas tadi. Nenek Dewi tiba lebih dulu dari mobil yang dibawa Sabian, beliau memilih untuk diantar menggunakan motor Juna. Dia masih sayang nyawa, kasian nanti jika nyawanya ikut melaju cepat lepas dari raganya.

"Mau Abang gendong lagi?" tanpa diminta Sabian membantu Dylan melepaskan sabuk pengaman mobil. Sementara yang dibantu hanya diam, terkejut dengan perlakuan Sabian.

"Didi ... Didi jalan aja, Abang." jawab Dylan saat jarak antara dirinya dan Sabian mulai menjauh.

"Abang papah aja, ya? Ngilu kalo tiba-tiba oleng." wajahnya teduh. Dylan merasa tenang saat netranya bersitatap dengan netra Sabian.

"Makasih, Abang." senyum lebar terukir pada rupa rupawan Sabian. Segera Sabian keluar lebih dahulu, tak lupa meminta Dylan untuk menunggu dirinya yang membukakan pintu. Dapat Sabian lihat Juna, sosok lelaki asing yang belum sempat berkenalan dengan dirinya memberi kode untuk segera masuk kedalam rumah. Tanpa basa basi, Sabian segera membukakan pintu mobil untuk Dylan, memapahnya hingga yang dipapah bertemu dengan ranjang dan kasur empuknya.

"Sabian, terimakasih ya. Istirahatlah dulu." ujar nenek yang baru saja memasuki kamar Dylan sembari membawa minum untuk keduanya.

"Abang mau langsung pulang? Ihh nginep aja, nanti nenek ngomelin Didi kalo Abang pulang." nenek Dewi tergelak dengan ucapan Dylan. Wah gagal sudah rencana dirinya untuk memarahi cucu nakalnya ini.

"Didi! Kamu ini soudzon banget sama nenek. Kamu lagi sakit mana mungkin nenek omelin." kesal nenek pada cucunya yang malah terus mencari perlindungan dari orang lain.

"Ga boleh gitu sama nenek. Abang pulang dulu, ada yang perlu Abang urus. Tinggal sama nenek ya." Sabian mengusak surai halus Dylan. Tak lupa telapak tangannya juga mengecek suhu di leher Dylan.

Dylan dapat melihat sang nenek tersenyum puas. Panik tentu saja, dia harus memutar otaknya untuk mencari cara agar terhindar dari Omelan nenek. Dilan bukan termasuk anak yang penurut bukan juga pembantah, dia lebih suka kebebasan. Semua yang neneknya bilang akan dia patuhi selama itu satu pikiran dengan otaknya, jika berbeda dia akan memilih menuruti keinginannya sendiri.

Sebuah ide melintas diotak nakalnya, menimbulkan senyuman lebar di wajah pucatnya. Dylan menatap Sabian melas, bagaikan seekor kucing jalanan yang meminta untuk dipungut. Nenek Dewi yang melihat itu hanya bisa berkacak pinggang. Kira-kira apa yang akan cucunya lakukan kali ini untuk lepas dari amukannya?

"Abang, Didi pinjam hape boleh?" Sabian merenggut bingung. Tangannya tetap memberikan benda yang dipinta Dylan.

Dylan menerimanya dengan senang hati. Beruntungnya Sabian tak mengunci layar utama. Jari jemari Dylan mulai bergerak mencari kontak nama orang yang hendak dia hubungi, tak sulit karena sosok yang dia cari berada pada riwayat panggilan paling atas.

"Bang Bian, gimana Didi?" tanya sosok disebrang sana. Ahh nenek Dewi tau rencana cucunya sekarang. Dia akan meminta salah satu dari kelima remaja tadi untuk menginap.

"Aa~~" Riki yang berada disebrang sana terkejut dengan suara rengekan Dylan. Orang yang Dylan hubungi adalah Riki. Entah apa, tapi nama yang terlintas di pikirannya hanya Riki untuk saat ini. Tak mungkin dia menghubungi Syakir, apalagi Ryo yang ada dia emosi mendengar setiap gombalan buaya toge itu.

"Eih? Didi?! Bang Bian mana? Kamu gapapa?"

"Ada, Didi pinjem hapenya buat telpon aa. Aa kosong ga? Kalo kosong nginep rumah Didi yaa, plisss. Nanti nenek omelin Didi terus kalo Didi sendiri. Kalo tiba-tiba nenek ngamuk gimana? Didi lagi sakit aa, ya ya ya." gelak tawa terdengar dari sebrang sana. Bukan hanya Riki, rengekan Dylan barusan juga mengundang tawa Sabian, nenek Dewi juga Juna yang sedari tadi menonton di gawang pintu.

"Aa kosong kok. Abis toko tutup, aa kesana. Mau titip sesuatu?"

"Es- ...

"Dilan Dwi?!" ucap nenek dengan penuh penekanan yang membuat Dylan menelan ludahnya kasar.

"Ga usah, aa cepet kesini. Didi takut nenek keburu jadi maung!" tutup Dylan dengan cengirannya. Nenek Dewi menatap malas cucu satu-satunya itu.

"Udah, nyari perlindungannya hem?" tanya Sabian pada Dylan yang dibalas kekehan oleh Dylan.

"Abang pamit, ya. Cepet sembuh."

Nenek Dewi mengantarkan Sabian hingga sampai pintu depan rumahnya. Tak lupa beliau berterimakasih dan meminta maaf karena Dylan merepotkan Sabian. Sabian tak masalah soal itu, dia juga tau Dylan seperti itu padanya untuk menghindari Omelan dari nenek Dewi.

"Nenek tenang saja. Didi salah menelpon orang, Riki sama bawelnya seperti wanita. Bian juga akan meminta Yusril ikut. Nenek cukup jelaskan kronologi kejadiannya biar nanti mereka yang mengomeli Didi." nenek Dewi sangat senang mendengar perkataan Sabian. Baguslah, setidaknya Riki dan Yusril nanti akan ada dipihaknya.

Juna masih sibuk dengan pikirannya. Dalam otaknya kini bersarang banyak pertanyaan, mulai dari siapa Sabian sebenarnya? Siapa Yusril? Ada berapa banyak orang seperti mereka?

"Nek, sebenarnya mereka siapa?" tanya Juan, netranya menatap kepergian mobil Sabian dari halaman rumah nenek Dewi.

"Eum ... Mereka itu power rangernya Didi." ucap nenek Dewi sambil mengira-ngira panggilan apa yang cocok untuk kelima remaja nanti.

"Power ranger?!!! Sebanyak ituu??"

"Iya, nenek bingung harus bersyukur atau sedih. Tapi sepertinya nenek harus bersyukur. Karena, dengan munculnya power ranger Didi, penuaan nenek bisa berjalan lambat. Hahaha." nenek Dewi tertawa puas diakhir ucapannya. Sepertinya ada sisi baiknya juga remaja tadi tak menjauhi Dylan. Bebannya terasa meringan, setidaknya dia tak perlu stress menanggung tingkah aktif Dylan sendirian.

02. DYLAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang