9. JUNA

215 33 61
                                    


"Nahh udah sampe. Selamat sampai tujuan, ga telat masih ada waktu lima belas menit lagi. Coba dicek dulu, takutnya ada yang ketinggalan. Semuanya ada? Hape, notebook, pulpen, pensil, catatan? Heh di cek itu tasnya! Malah ngeliatin gue." Riki mengomel dengan tangan yang mencoba melepaskan pengait di helm.

"IHHH! kan Lo lagi bantu lepasin ni helem. Ya gue liatin Lo lah." Dylan kesal. Kepalanya terasa berat entah karena helm atau karena dia demam. Ditambah orang didepannya terus saja mengomel bagaikan wanita.

"Nah udah, coba cek dulu." Dylan menurut, dia tak ingin mendengar kembali cerocosan Riki. Bibirnya mengerucut sambil bergumam mencari barang yang tadi disebutkan Riki, lalu mengangguk ketika barang yang dicari telah dia temukan.

Riki mengeluarkan sesuatu dari kantung jaketnya. Sebuah plester penurun demam, yang dia ambil dari toko.

"IHHH APA NIH?! AAAA gamau pake ini, lepas aja." tangan Dylan hendak melepas plester penurun demam yang telah Riki tempelkan. Namun, ditahan oleh Riki.

"Pake ya. nenek khawatir sama Lo, gue juga." Dylan pasrah. Tatapan dan suara lirih Riki membuatnya luluh.

"Tapi malu ... Lepas boleh?" gelengan dari Riki diterima oleh Dylan.

"Kalo ada yang ledek. Bilang aja kalo Lo adiknya Aa Riki. Mereka pasti ga bakal ganggu Lo lagi." Riki dan yang lain memang populer serta disegani. Siapa yang tidak tahu tentang mereka? Jawabannya tidak ada.

Hal itu karena mereka memiliki perawakan sempurna yang mampu menarik perhatian. Ada beberapa alasan lain yang membuat mereka disegani, seperti Sabian yang memang merupakan ketua BEM di universitas itu, Yusril karena orang tuanya yang kaya, Ryo yang memang buaya kampus, dan jangan tertipu dengan wajah polos dan lucu Syakir, aslinya dia orang yang sangat manipulatif dan licik. Riki pula menjadi orang yang kasar serta emosional, dia tak segan melayangkan pukulannya jika merasa dirinya terusik.

"Lo orang Sunda?" tanya Dylan, karena tadi Riki menyebut "Aa" yang artinya kakak dalam bahasa Sunda.

"Bukan, tapi bunda sambung aa orang Sunda. Panggil gue aa, karena gue lebih tua dari Lo. Begitu juga Sabian sama Yusril."

"Panggil aa juga?" ujar Dylan yang membuat Riki menepuk jidatnya. Dia ketularan lemotnya Yusril atau polosnya Syakir, pikir Riki.

"Ya jangan. Aa itu khusus buat Riki aja. Buat Sabian panggil Abang Bian, terus panggil Yusril pake sebutan Mas. Kalo Rio Lo panggil biawak aja. Sakir ga usah dianggap aja." Riki merasa kini dia tengah mengajari anak kecil yang baru belajar bicara.

"DIDIQUHH!!!" Dylan menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari orang yang baru saja meneruskan nama kecilnya. Dari nada bicara dan suaranya dia tau siapa orang itu. Namun, seharusnya orang itu tak ada disini.

"Aa, denger orang manggil nama Didi ga sih?" tanya Dylan pada Riki saat dia sama sekali tak menemukan orang yang memanggilnya. Apa demam membuatnya berhalusinasi pikirnya.

Telunjuk Riki mengarah ke belakang. Dylan mengernyit bingung, tapi tetap melihat kearah yang tunjuk Riki.

"DIDIII!!!" teriaknya lagi didepan wajah Dylan.

"KAK UNAAA??!!" kini Dylan ikut teriak.

Riki yang tak tahu menahu tentang orang yang Dylan sebut "Una" itu hanya melayangkan tatapan bertanya pada Dylan, yang kini tengah berpelukan dengan si Una Una itu.

Riki melongo saat sadar dengan yang baru saja matanya lihat. Berpelukan?! Bahkan tadi saat di motor Dylan berpegangan pada jok paling belakang, bukan pada pinggangnya.

"Tunggu tunggu ini ada apa?" Riki meneguk ludahnya kasar saat dua pasang mata menatapnya tajam, mata mereka seperti berkata "mengganggu saja".

"Kak Una kenalin ini A Riki, pegawai baru di toko nenek. Dan A Riki kenalin ini Kak Juna sahabat Didi, sekaligus kating sebelum Didi pindah kesini." Riki melayangkan tatapan permusuhan saat tahu jika Una hanya nama panggilannya. Entah mengapa dia merasa juga Una Una ini sangat berbahaya untuknya.

"Didi? Kenapa ga bilang kalo nenek buka lowongan pekerjaan, kak Una kan bisa daftar."

"Maaf kak, ini juga ga direncanakan soalnya-

"Sudahh sudahh. Sana masuk kelas, bentar lagi kelas mulai, Didi!" ucap Riki yang mendapat dengusan dari Dylan.

"Covernya aja lakik. Taunya bawel kek nenek." Dylan pergi meninggalkan Riki sambil menarik tangan Juna.

"Lahh bocah? Ga pamit dulu gitu? Makasihnya mana?"

"MAKASIH, MAK!!" teriak Dylan. Riki terlonjak, perasaan dia tadi berbicara dengan suara kecil. Kenapa masih dapat didengar oleh Dylan yang jaraknya lumayan jauh dengan posisinya sekarang.

"Semprul. Ngapa dia jadi ngeselin kek si Haryo sih?" Riki kembali duduk di motornya, menyalakan kembali vespa kesayangannya untuk menuju tempatnya bekerja.

.
.
.
.
.
.

JUNA ANGGARA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JUNA ANGGARA

"DIDIQUHH~~"

Halloo ehehe, aku tambahin jungmin ya. Biar lima biar biarr apaa gtuu yaaa 🥰

02. DYLAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang