11. PANIK

191 29 36
                                    

"Rio, berapa pesanan yang telah diantar." nenek bertanya pada Ryo yang kini tengah membolak-balikan kertas daftar pesanan yang perlu diantar.

"Eum... Sekitar tiga belas, nek. Tersisa tiga, ketiganya  dikirim ketempat yang sama." ujar Ryo yang tengah fokus mengingat-ingat jalan yang cepat untuk sampai ketempat tujuannya.

"Pakai mobil saja."

"Toko ini punya mobil pengantar??" Ryo heran. Jika dilihat memang toko ini terlihat kecil jika dari luar, namun aslinya luas. Ditambah dibelakang dan rooftop toko terdapat beberapa bunga yang ditanam.

"Toko bunga nenek Dewi ini populer asal kalian tau." kekeh nenek yang mengundang tawa dari semua orang disana.

"Wahh, nek. Pegawai floris disini tampan ya, aku semakin betah berlama-lama disini." ucap salah satu pelanggan, yang menunggu pesanannya di siapkan oleh Syakir.

"Jika betah berlama-lama disini, belilah lagi bunganya, nyonya." Yusril yang tengah menambah stok bunga pun bergurau sedikit dengan pelanggan tersebut.

"Nenek, Iyo pamit ya."

"Tunggu, Rio. Riki ikutlah dengan Rio, lalu mampir untuk mengambil stok bunga nanti. Ini alamatnya, katakan saja pesanan nenek Dewi." Riki menerima secarik kertas dari tangan majikannya. Lalu pamit bersama Ryo untuk melaksanakan tugasnya.

"Selamat pagi, Dwi Floris disini. Ada yang bisa kami bantu?" Sabian kini tengah bertugas mencatat pesanan.

"Seratus tangkai bunga mawar merah, untuk hari ini? Maaf sebelumnya, tuan. Untuk seratus tangkai kami tidak menyediakan saat ini. Kami hanya memiliki tiga puluh tangkai. Jika Bunga ini untuk kekasih, saya menyarankan tigapuluh tangkai bunga mawar dengan tambahan bunga bebibreat disekelilingnya. Itu juga tidak kalah romantis." nenek tersenyum bangga. Dirinya tak salah menerima pegawai. Walaupun masih baru, tapi mereka pandai beradaptasi dan bekerja dengan baik.

"Pilihan yang bagus, tuan. Buket mawar merah dengan cello  krem. Boleh saya minta alamatnya, tuan. Oke baik terimakasih telah memesan di floris kami, pesanan anda akan segera kami buat. Selamat siang." Sabian menutup telponnya.

"Yusril, tolong bantu siapkan tigapuluh tangkai bunga mawar merah. Lal-

"Sabian ... biar nenek yang rangkai. Kau tetap saja pada tugasmu. Hari ini mendadak banyak yang memesan bunga untuk diantar." Sabian mengangguk, kembali mendata setiap pesanan. Sedikit kewalahan karena paket bunga tak sama dengan paket benda pada umumnya, lebih seperti pesanan makanan namun juga bukan. Dia harus mengelompokkan pesanan yang akan dikirim esok dan sekarang, tak lupa mencatat setiap alamat yang hendak dikirimkan bunga. Memastikan keadaan bunga bagus tak layu.

"Nenek rasa kita perlu membatasi setiap pesanan, nak. Sudahi saja, jika ada yang memesan kembali bilang kita sudah tidak menyanggupi. Nenek melihat kalian kewalahan." Sabian, Yusril juga Syakir mengangguk. Mereka tak dapat berbohong, menjadi pegawai toko bunga ternyata tidak mudah. Berkali-kali Yusril dan Riki harus mengecek stok bunga ke kebun atas dan bawah serta melayani pelanggan. Syakir sedari tadi berdiri siap siaga bila ada bunga yang perlu dia rangkai dibantu nenek sebenarnya. Namun, tetap saja dia kewalahan harus memastikan setiap bahan tersedia. Ryo bahkan jarang terlihat karena sibuk mengantarkan setiap pesanan bunga.

"Selesai." tangan nenek bergerak dengan lincah, tak memerlukan waktu lama akhirnya pesanan pun selesai.

"Pangeran datang membawa setumpuk bunga~~" Ryo dan Riki pun tiba. Senyuman yang lucu terlukis di wajah keduanya, membuat yang lain keheranan."

"Nenekk tau tidak, Kenapa sedari pagi banyak yang memesan pengiriman? Itu karena Ryo, nek. Setiap pelanggan wanita yang dia datangi selalu dia gombalii." Riki mengadu.

"Eihh?! Tapi tadi juga a Iki godain mbak-mbak yang jaga ni pesanan nenek. Jadi kita dapet potongan harga nek, hehehe." Ryo tak mau kalah.

Nenek melongo mendengar aduan duo R yang baru saja tiba. Ternyata marketing visual memang seberpengaruh itu. Apa mungkin karena pegawainya remaja tampan, jadi tokonya ini semakin ramai dikunjungi?

Kesadaran nenek Dewi kembali saat suara dering telpon terdengar.

Juna is calling ...

"Juna ad-

"Nenek Didi sakit, Una ga kuat Didi ngerengek terus. Tolonggg."

"Anak itu ... harus nenek tadi minta Riki antar kerumah saja."

"Nek ... Una lagi di puskesmas, tadi Didi jatuh dari motor."

"APA??!!!" itu suara teriakan Riki. Nenek memang menyalakan speaker dipanggilannya, jadi semua dapat mendengar apa yang Juna katakan.

"Suara nenek kok beda? Khodam?" Yusril menepuk jidatnya. Ternyata ada yang lebih parah dari dirinya.

"Didi tadi ngeyel, mau pulang naik motor. Taunya baru setengah jalan udah pusing dia."

"Kirim alamatnya, kita kesana sekarang." final Riki. Nenek sepertinya masih terkejut dengan kabar Dylan. Untungnya segera tersadar saat Riki menepuk pundak nenek Dewi.

"Eh... Ryo antar pesanan terakhir ini. Riki, Yusril bereskan bunga yang baru sampai. Sabian Sakir kalian bantu juga ya. Toko tutup jam lima, nenek pergi dulu."

"Tunggu, nek. Bian bawa mobil, biar Bian antar ya."
Sabian melepas apron yang dia pakai. Tangannya meraih kunci mobil miliknya, lalu menggiring nenek Dewi menuju tempat mobilnya terparkir.

"Berdoa semoga nenek Dewi ga kenapa-napa." ujar Syakir yang diangguki semuanya.

"Aamiinn."

Semula nenek merasa biasa saja, sebelum akhirnya merasa Sabian melajukan mobilnya dengan cepat. Nenek Dewi sampai menutup matanya, tak sanggup melihat setiap belokan dan tikungan yang Sabian lewati. Bahkan truk pun dia lewati tanpa rasa takut.

"Sabian, nenek ga mau lagi dianter kamu." nenek keluar dari mobil dengan keadaan sempoyongan.

"Maaf, nek. Soalnya ini Didi, panik jadinya." Sabian memapah nenek Dewi.

"Tau gitu, nenek mending dianter Rio aja."

02. DYLAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang