Terangnya sinar matahari mulai berangsur redup, berganti dengan cahaya emas di langit. Orang-orang menyebutnya senja. Dylan menatap padatnya orang-orang yang berlalu lalang dibalik jendela kaca toko. Sebentar lagi tiba waktunya toko ditutup, Dylan segera memasukan beberapa bunga yang sengaja diletakan diluar untuk menarik perhatian pelanggan.
"Didi, nenek akan pergi ke toserba sebentar. Jika sudah selesai, segera lah pulang. Jangan lupa air bunganya kamu ganti, buang kelopak yang udah layu dan masukan ketempat biasa agar kelopak yang lain tidak layu." jelas nenek pada Dylan.
"Iya, nek. Dylan ijin ke taman sebentar ya nek. Ingin berjalan-jalan." nenek mengiyakan permintaan Dylan. Dia yakin cucunya tak akan berbuat hal yang aneh.
Sesuai dengan arahan nenek, Dylan mulai mengganti air-air pada setiap bunga, memisahkan kelopak yang sudah layu hingga menyimpannya kedalam lemari. Untuk kelopak yang layu, Dylan akan mengumpulkannya beberapa. Baru-baru ini dia membaca artikel mengenai bunga, salah satunya menemukan langkah membuat pengharum ruangan.
"Huftt, sepertinya nenek harus mencari pekerja tambahan." selesai dengan semua tugasnya Dylan melangkah ketempat motornya terparkir. Dylan menatap malas sosok yang kini berdiri di samping motornya. Orang itu tersenyum dan melambai, senyum yang menyebalkan menurut Dylan.
"Hai." ucap orang itu.
"Mau apa lagi? Kita ga kenal, dan Lo ga usah sok akrab sama gue."
"Gue mau minta maaf, dan bisa kita bicara sebentar? Gue mohon."
"Duduk di bangku itu, gue pegel." Senyum semakin mengembang diwajah orang asing itu, dia menarik tangan Dylan yang dengan cepat dilepas paksa oleh yang punya tangan.
"Kita belum kenal." Dylan berjalan terlebih dahulu.
"Huft, tahan Sakir, tahan. Dia Dylan, bukan Dion yang bisa Lo rangkul kapan aja." Syakir, orang asing yang Dylan temui.
Keduanya telah duduk dibangku yang Dylan maksud. Suasana canggung menggerogoti mereka, Dylan sempat bosan dan hendak pergi karena sedari tadi orang disampingnya ini tak mengeluarkan sepatah katapun.
"Sebenernya gue bingung mau mulai dari mana. Pertama gue sekaligus mewakili teman-teman mau minta maaf karena bikin Lo risih, dilan. Jujur Lo mirip banget sama seseorang yang udah ninggalin kami. Ka-kami, ... Hah." Syakir sesekali mendongakkan kepalanya ke atas, guna menahan lajunya air mata yang telah membendung.
"Kami, kami sangat kehilangan dia. Jadi waktu liat Lo yang mirip banget sama dia, gue ngerasa seneng. Maafin kita ya, Dilan." Syakir menatap Dylan dengan mata yang berkaca-kaca. Dylan sedikit tersentuh dengan perkataan Syakir.
"Gue seneng Lo manggil pake nama asli gue. Gue maafin kalian, asal kalian bersikap sewajarnya aja sama gue. Maaf juga gue sempet kasar sama Lo." Dylan membalas tatapan Syakir dengan senyuman. Syakir yang melihat itu semakin tak tahan menahan tangisnya.
"Bahkan senyum Lo mirip banget sama dia, ... Hiks ... Maaf gue belum terbiasa." Dylan mengangguk. Tangannya dia bawa untuk mengusap pundak Syakir, hanya sebatas mengusap Dylan masih tak nyaman jika harus memberi pelukan.
"Nama Lo siapa betewe?"
"Gue Syakir." jawab Syakir.
"Salam kenal, gue Dilan. Udah hampir malam, gue balik ya." Syakir mengangguk, dia menyerahkan kantung kresek yang dibawanya sejak tadi.
"Apa ini, Roti?" tanya dilan yang dibalas anggukan kepala oleh Syakir.
"Tanda permintaan maaf gue, sekaligus terima makasih gue." Dylan menerimanya lalu mengambil satu buah roti dengan isian coklat.
"Buat, Lo. Kata orang coklat bisa bikin mood baik. Makasih ya, gue pamit. Byee!" Syakir melambai pada Dylan yang semakin menjauh.
"Lo bukan Dion. Lo sulit banget buat disentuh, Dilan. Tapi Lo sama pedulinya kek Dion." Syakir menatap roti yang kini ada digenggaman tangannya.
-=DYLAN=-
"Didi pulang ..."Rumah masih dalam keadaan gelap dan sepi. Dylan pulang lebih dulu dari neneknya. Dylan melangkah menuju dapur untuk segera bergelut dengan alat masak, agar nanti neneknya pulang beliau bisa langsung makan lalu beristirahat. Sebelumnya dia telah menaruh plastik pemberian Syakir di meja makan, selanjutnya dia akan membuat makanan simple seperti tumis kangkung dan menggoreng tahu. Hemat, praktis juga sehat bukan.
Tak perlu menghabiskan waktu yang lama masakan Dylan pun jadi. Dia segera memindahkannya pada piring lalu disimpan di meja makan. Bunyi pintu dibuka pun terdengar, tanda sang nenek telah datang.
Dylan menghampiri nenek, mengambil alih tas belanja yang ada ditangan sang nenek. Tak berat memang, namun dia tetap membantu. Dylan mengeluarkan segala belanjaannya memisahkan satu-persatu sebelum nantinya dia simpan kedalam kulkas dan lemari.
"Nenek lama ya?" tanya nenek yang melihat makanan sudah tersaji dimeja makan.
"Iya, Didi sempat mau jemput tadi." Dylan mendudukkan dirinya disebrang nenek. Mulai mengambilkan nasi serta lauknya untuk nenek.
"Nenek tadi bertemu anak laki-laki. Sepertinya dia lebih tua dari mu." Dylan menoleh sebentar untuk melihat nenek, yang sepertinya belum selesai bercerita.
"Dia menangis dengan memegang sebuah mainan yang rusak. Dia bilang itu rakitan adiknya. Nenek pikir dia takut adeknya marah, taunya dia tak bisa merakitnya kembali."
"Kenapa ga minta adiknya buat rakit ulang? Malah nangis gitu, padahal udah tua." balas Dylan sebari memberikan piringnya pada nenek.
"Adiknya udah meninggal tau! Makanya dia sedih." Ucap nenek ketus.
"Yaudah biarin aja, nek. Tadi juga Didi dapet temen baru, dia ngasih Roti. Lumayan buat ngemil. Kelihatannya enak, banyak juga dia ngasihnya."
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Setelah selesai Didi meminta nenek agar langsung istirahat saja, biar dia yang merapikan bekas makan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
02. DYLAN [END]
Conto[Nct Wish lokal] Dylan Dwi Abraham, pria yang menyukai ketenangan harus berhadapan dengan lima orang asing. "LO SEMUA BISA JAUHIN GUE GA?" "We love you, dilann~~" "OGAH GUEE, SYUHHH PERGI SANAA!!!" Fanfic ini nyambung sama "Aa with Adek" kalo ada y...