20. RINDU UNTUK DIDI

144 26 12
                                    

Hari-hari yang begitu berat akhirnya dapat Dylan lewati. Menjalani hari dengan keadaan sakit sangat tak mengenakan, terkadang merasa dingin tapi juga gerah secara bersamaan. Belum lagi ketika rasa lapar datang, sejujurnya cacing dalam perut ingin sekali diisi tapi lidah mengecap semua makanan dengan rasa pahit. Hal yang paling Dylan tak sukai adalah ketika dia harus minum obat dan terbaring sepanjang hari di tempat tidur, sangat membosankan.

Yang lalu biarlah berlalu, kini Dylan telah sehat. Dylan membuka toko lebih cepat dari sebelumnya, sangat semangat sekali memang. Senyuman tak luntur dari wajah rupawannya, sesekali Dylan mengajak ngobrol setiap bunga yang dia angkat seperti berkata ...

"Selamat pagi tuan mawar ..."

"Aku punya firasat akan ada wanita cantik yang akan membeli mu."

"Woahh warna kuning mu terlihat menarik perhatian, warna birumu juga sangat elegan. Hei merah jangan cemburu, warna mu terlihat kuat dan mempesona."

"Tenang saja kalian semua pasti di beli oleh orang-orang cantik dan tampan. Rugi sekali jika bunga-bunga didi beli orang jelek."

Begitulah kira-kira obrolan Didi dengan para bunga. Terlalu asik dengan dunia bunganya Dylan sampai tak menyadari jika kini Sabian dan Juan ada di samping kiri kananya. Mereka sedari tadi mendengarkan ocehan Dylan dengan bunga.

"Bunga-bunga ini sepertinya senang mendapat perhatian darimu, Didi." Dylan terlonjak saat indra pendengarnya menangkap suara yang tak asing. Dylan menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, matanya mendelik kala mendapati dua orang aneh yang sama-sama menatapnya.

"Tuan bunga lihatlah wajah jeleknya. Memang anda Sudi disentuh oleh orang jelek?" Juna berbicara dengan bunga, meniru Dylan.

"Didi, kenapa dengan wajah mu? Siapa tadi yang bilang rugi sekali jika bunga Didi BLA BLA BLA orang jelek. Berkaca lah sekarang wajahmu jelekk!" Dylan mendengus mendengar ucapan Juna. Tatapan tajam yang Dylan lemparkan untuk Juna sama sekali tak membuat Juna takut. Juna semakin memancing kekesalan Dylan dengan setiap kata yang dia keluarkan. Sabian sedari tadi hanya tertawa pelan, tak ada niat untuknya untuk ikut dalam pertengkaran Dylan dan Juna. Dia cukup menonton serta menahan rasa gemas karena perubahan raut wajah Dylan yang menggoda untuk dia cubit.

"Kak Una ngapain kesini? Yang lain mana?" ketus Dylan yang masih kesal dengan Juna.

"Ekhem Juna gantiin Ryo sampe siang. Riki, Ryo sama Sakir lagi ada kelas pagi. Yusril tadi langsung ngambil pesenan nenek." jelas Sabian yang mendapat anggukan dari Dylan. Ketiganya masuk kedalam toko, Sabian mulai menyapu bagian dalam, Juna membersihkan kaca jendela yang terlihat berdebu, sementara Dylan melihat daftar bunga yang akan Juna antarkan.

Selesai dengan kegiatan membersihkan Sabian membantu Dylan yang tengah menyiapkan bunga untuk Juna antarkan, mengangkat satu persatu bunga yang telah dirangkai, menyimpannya dengan rapi setelah memastikan setiap bunga tak ada yang terjepit sabian menutup pintu belakang mobil. Juna berterimakasih, dia langsung menjalankan mobilnya menuju pelanggan pertama.

"Didi ... kenapa kamu suka di posisi kasir?" tanya Sabian penasaran. Dylan selalu menjadi bagian yang menjaga kasir, Dylan hanya akan melakukan bagian lain jika nenek Dewi yang bagian menjaga kasir.

"Karna aku cucu bos mu! Lagian aku juga suka matematika." jawab Dylan yang fokus pada mesin uang didepannya.

"Kalo begitu, Didi tau soal median?" tanya Sabian sambil satu tangannya menarik kursi agar dia bisa duduk berhadapan dengan Dylan.

"Median itu nilai tengah dari salah satu ukuran pemusatan data. Kenapa, bang biar ada tugas soal median?" Dylan sama sekali tak menyadari jika kini Sabian tengah menatapnya dengan tangan yang menangkup pipinya sendiri.

"Ngga ada, tapi kamu itu kayak median dihidupku, soalnya Didi ada di tengah-tengah hatiku." perkataan Sabian mampu membuat Dylan mematung. Tangan Dylan yang tengah menyiapkan uang untuk kembalian menggantung karena terkejut.

Dylan kembali seperti biasa saat merasa sebuah tangan menepuknya dari samping. Matanya membulat kala mendapati Ryo tersenyum manis disampingnya. Sejak kapan Ryo datang, bahkan suara lonceng pintupun tak terdengar. Tapi bukan itu yang menjadi permasalahannya. Masalahnya ada pada satu tangan Ryo yang mengusap lembut pipi Dylan.

"Didi tau? Purwaceng itu tanaman yang dimanfaatkan sebagai penambah stamina dengan cara menjadikannya bubuk." Dylan mengangguk, membenarkan ucapan Ryo. Walaupun Dylan hanya penjual bunga, Dylan juga tau beberapa jenis tumbuhan obat herbal.

"Menariknya cara Iyo buat menambah stamina itu berbeda dari yang lain, yaitu dengan melihat senyuman Didi setiap hari hehe ❤️." lanjut Ryo. Rasa panas menjalar dipipi Dylan, yang dapat telapak tangan Ryo rasakan hangatnya.

Dylan menggelengkan kepalanya cepat. Menepis tangan Ryo yang ada di pipi juga pundaknya. Sabian dan Ryo tertawa terbahak-bahak karena tingkah Dylan.

"KALIAN!!! BALIK KERJAA, ATAU GAJI KALIAN DI POTONG!!" teriak Dylan lalu meninggalkan kedua orang yang masih tertawa.

"Gila Lo, yo HAHAHA berani banget nyentuh pipi dia." Sabian tertawa dengan tangan yang memukul-mukul meja kasir.

"Abang juga kok tiba-tiba gombalin Didi, hayoo hahaha."

"Karna kangen lah, kemaren dia ga disini." ucap Sabian.

"Sama sih Iyo juga, makanya tadi berani." Ryo terkekeh diakhir ucapannya.

"Bagus ya! Gue dari tadi depan pintu nontonin kalian ngegombal. Pengen banget gue juga gombalin Didi. Sadar diri gue mah, ga pinter gombalan." Yusril menghampiri Sabian dan Ryo dengan sebuah kardus besar ditangannya.

"Lo ngapain disini? Bukannya kelas?" ketus Yusril pada Ryo yang masih menampilkan cengirannya, membuat rasa kesal Yusril semakin menjadi.

"Kelasnya batal, jadi Iyo kesini. Menuai rindu dengan sigemes Didi." Yusril mendelik, jika tau begitu seharusnya Ryo yang mengambil pesanan bunga. Sedangkan Sabian kembali tertawa saat disuguhkan raut kesal Yusril.

02. DYLAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang