Bab XI

73 7 2
                                    

Setelah pertemuan yang penuh emosi dan bersejarah di Kerajaan Sunda, Ratu Sunda dengan lembut menyuruh Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk untuk beristirahat. Mereka diundang untuk tinggal sementara di istana, memberikan mereka waktu untuk pulih setelah perjalanan panjang dan penuh perjuangan yang mereka lalui.

"Putri Dyah Pitaloka, Raja Hayam Wuruk," kata Ratu Sunda dengan penuh kebaikan, "kalian telah melakukan perjalanan yang melelahkan. Silakan beristirahat dan pulihkan diri di istana kami. Kita bisa melanjutkan pembicaraan dan perencanaan kita besok pagi."

Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk menerima tawaran tersebut dengan penuh terima kasih. Mereka mengikuti Ratu Sunda dan Prabu Niskala Wastu menuju ruangan istana yang disediakan untuk mereka.

Di dalam ruangan yang nyaman dan indah, mereka diberikan segala yang mereka butuhkan untuk beristirahat dengan baik. Pelayan istana membawa air hangat dan makanan ringan untuk mereka, sementara prajurit menjaga keamanan di sekitar istana.

Raja Hayam Wuruk duduk di satu sudut ruangan, memikirkan perjalanan dan peristiwa yang baru saja mereka alami. Dia merasa lega bisa beristirahat sejenak, tetapi pikirannya tidak pernah jauh dari misi mereka untuk membangun perdamaian.

Dyah Pitaloka duduk di dekat jendela, memandang ke luar dan merenungkan segala yang telah terjadi. Dia merasa beruntung bisa kembali bersama keluarganya, meskipun sebenarnya dia bukan Dyah Pitaloka yang asli.

Mereka berdua saling bertukar pandang, suasana canggung masih tertaman diantara mereka. Dyah Pitaloka mengalihkan pandangannya kembali ke luar jendela.

Matanya berbinar ketika melihat pemuda tampan, "siapa dia?" Gumamnya.

Roh Putri Dyah Pitaloka pun menampakkan dirinya hanya untuk Priscilla. "Dia adalah Adipati Raden Wiratama, putra dari Patih Anepaken."

"Ganteng ya ..." Ia tersenyum centil.

"Nona, jangan lupakan bahwa aku adalah tunangan Raja Hayam Wuruk!" Tutur roh Dyah Pitaloka lalu kembali menghilang.

"Kau bicara dengan siapa?" Tanya Raja Hayam Wuruk tiba-tiba ada dibelakang Dyah Pitaloka.

"Ya Tuhan! Baginda, saya hanya memiliki satu jantung, bagaimana jika saya mati dua kali karena serangan jantung?" Dyah Pitaloka mengusap dadanya karena terkejut.

"Maka aku akan memberikan jantungku untuk mu, Dyah." Jawab Raja Hayam Wuruk denga santai. Dyah Pitaloka merinding ketika mendengar ucapan Raja Hayam Wuruk.

Dyah Pitaloka kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela untuk melihat Adipati Raden Wiratama, namun pria itu sudah tak terlihat.

"Kemana perginya si tampan itu?" Gumam Dyah Pitaloka sambil terus mencari dengan matanya.

"Siapa yang kau cari?" Tanya Raja Hayam Wuruk.

"Adipati kerajaan Sunda, ku dengar dia seorang pria yang tampan." Jawab Dyah Pitaloka tanpa melihat pada Raja Hayam Wuruk.

"Pria mana yang lebih tampan dariku?"

"Adipati Raden—" Dyah Pitaloka menoleh dan menghentikan jawabannya ketika wajahnya sangat dekat dengan Raja Hayam Wuruk.

Raja Hayam Wuruk menatapnya dengan tajam, "Putri Dyah Pitaloka?"

"Ya?" Jawab Dyah Pitaloka dengan gugup.

"Kau tidak lupa kan bahwa aku masih tunangan mu?" Rengek Raja Hayam Wuruk dengan bibir yang cemberut.

Dyah Pitaloka terkejut melihat seorang Raja Majapahit merengek padanya? "Tentu saja tidak, Baginda. Bagaimana mungkin aku melupakannya." Jawab Dyah Pitaloka tertawa renyah.

---

Sore itu, ketika Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk sedang beristirahat di kamar mereka, seorang pelayan istana datang mengetuk pintu. Dengan sopan, pelayan itu menyampaikan pesan dari Ratu Sunda, atau Ibu Suri, yang mengundang mereka untuk makan malam bersama.

"Putri Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk," kata pelayan itu dengan hormat, "Ibu Suri mengundang Anda berdua untuk makan malam bersama di ruang makan utama. Mohon datang ketika Anda sudah siap."

Dyah Pitaloka tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih. Kami akan segera bersiap."

Setelah pelayan pergi, Dyah Pitaloka berpaling ke Raja Hayam Wuruk. "Baginda, kita diundang untuk makan malam bersama Ibu Suri."

Raja Hayam Wuruk mengangguk setuju. "Baiklah, Dyah. Ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk berbicara lebih lanjut dengan Ratu Sunda dan membahas langkah-langkah kita ke depan."

Setelah berganti pakaian dan mempersiapkan diri, mereka berjalan bersama menuju ruang makan utama. Ruangan itu dihiasi dengan indah, menunjukkan kemegahan Kerajaan Sunda. Di tengah ruangan, sebuah meja besar telah disiapkan dengan berbagai hidangan lezat yang menggugah selera.

Ratu Sunda atau Ibu Suri, bersama dengan Prabu Niskala Wastu, telah menunggu di meja. Mereka menyambut Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk dengan senyum hangat.

"Selamat datang, anak-anakku," kata Ibu Suri dengan lembut. "Silakan duduk dan nikmati hidangan yang telah disiapkan. Kita bisa berbincang-bincang sambil menikmati makan malam."

Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk mengambil tempat duduk mereka. Makanan segera disajikan, dan aroma yang menggoda memenuhi ruangan. Sambil menikmati hidangan, mereka berbincang tentang berbagai hal, dari kenangan masa kecil hingga rencana masa depan untuk kedua kerajaan.

"Ibu," kata Dyah Pitaloka, "aku sangat berterima kasih atas sambutan hangat ini. Kami berharap kunjungan ini dapat mempererat hubungan antara Sunda dan Majapahit."

Ibu Suri mengangguk setuju. "Kami juga berharap demikian, Dyah. Kita harus bekerja sama untuk memastikan bahwa perdamaian dan kesejahteraan rakyat kita terjaga."

Raja Hayam Wuruk menambahkan, "Kami berkomitmen untuk membawa perdamaian dan kerjasama antara kedua kerajaan kita. Dengan dukungan dan kebijaksanaan Ibu Suri, saya yakin kita dapat mencapai tujuan tersebut."

Percakapan berlangsung hangat dan penuh dengan harapan. Meskipun masih ada banyak tantangan di depan, semangat kebersamaan dan keinginan untuk memperbaiki hubungan memberikan mereka kekuatan baru. Makan malam itu menjadi awal dari upaya bersama mereka untuk menciptakan masa depan yang damai dan sejahtera bagi Majapahit dan Sunda.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang