Bab VII

142 11 0
                                    

Priscilla membuka matanya dan mendapati dirinya di tempat yang asing tak mengenali sekelilingnya. Ia mencoba duduk namun segera merasakan sakit yang luar biasa di dadanya. Saat melihat ke bawah ia terkejut mendapati sebuah keris tertancap dalam dadanya. Dengan tubuh lemas dan pandangan kabur ia mengamati sekelilingnya yang penuh dengan mayat-mayat berlumuran darah.

Ketakutan dan kebingungan menyelumuti pikirannya titik di manakah dia sebenarnya? Segala sesuatu tampak seperti mimpi buruk yang tidak nyata. Ia mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya dan perlahan-lahan menyadari bahwa ia terjebak dalam tubuh Dyah Pitaloka seorang putri dari kerajaan Sunda yang terkenal dalam sejarah.

Pemandangan sekelilingnya menegaskan kecurigaannya. Ia berada di medan perang Bubat sebuah pertempuran yang tragis yang pernah ia baca dalam buku-buku sejarah darah teriakan dan suara pertempuran yang mengemukakan telinga mengisi udara. Priscilla kini terjebak di masa lalu di tengah salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Nusantara.

Raja Hayam Wuruk yang saat itu sedang histeris dengan keadaan yang tidak diharapkan begitu terkejut ketika melihat Putri Dyah Pitaloka kembali sadar.

“Putri Dyah, kau kembali,” suaranya parau dan penuh emosi. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah pucat sang putri. Priscilla, yang kini berada dalam tubuh Dyah Pitaloka, merasakan campuran emosi yang kuat dari sang raja. Kebingungan dan ketakutan menyelimuti dirinya, namun ia mencoba untuk tetap tenang di tengah situasi yang kacau balau ini.

“Bagaimana mungkin ini terjadi?” bisik Hayam Wuruk, matanya mencari jawaban di wajah Priscilla yang kini menjadi Dyah Pitaloka. Tangis dan jeritan perang masih terdengar di sekeliling mereka, namun sejenak, dunia seolah hanya milik mereka berdua. Priscilla berusaha memahami keadaan yang ia hadapi, mencoba mencari kata-kata untuk menenangkan raja yang sedang dilanda duka mendalam.

Putri Dyah Pitaloka meringis kesakitan ketika Raja Hayam Wuruk dengan tangan gemetar mencoba melepaskan keris dari tubuhnya. Priscilla yang terperangkap dalam tubuh sang putri merasakan nyeri yang tak tertahankan menjalar dari luka di dadanya. Ia menahan erangan, bibirnya bergetar menahan sakit yang luar biasa.

Raja Hayam Wuruk menangis, air matanya jatuh membasahi wajah pucat sang putri. “Maafkan aku, Dyah. Maafkan semua ini terjadi,” ucapnya dengan suara tersedu-sedu. Tangannya terus berusaha mengeluarkan belati, meski setiap gerakannya menambah penderitaan Priscilla.

Suasana di sekitar mereka penuh dengan suara pertempuran dan jeritan, namun di antara mereka berdua, waktu seolah berhenti. Raja Hayam Wuruk, penuh penyesalan dan rasa bersalah, terus berjuang untuk menyelamatkan putri yang ia cintai. Priscilla, di dalam tubuh Dyah Pitaloka, berjuang antara rasa sakit dan kebingungan, mencoba memahami nasib tragis yang kini menjadi bagian dari hidupnya.

Raja Hayam Wuruk, dengan hati yang penuh kesedihan dan penyesalan, mengangkat tubuh lemah Dyah Pitaloka. Dengan penuh kehati-hatian, ia membawa sang putri menuju kereta kuda yang telah disiapkan. Meski darah masih mengalir dari luka di dada sang putri, tekad sang raja untuk menyelamatkannya tidak goyah. Ia memerintahkan prajuritnya untuk segera kembali ke Kerajaan Majapahit.

Perjalanan menuju Majapahit dipenuhi dengan ketegangan dan kecemasan. Di dalam kereta, Hayam Wuruk terus menggenggam tangan Dyah Pitaloka, berharap kehangatan sentuhannya bisa memberikan sedikit kekuatan kepada sang putri. Priscilla, yang terperangkap dalam tubuh Dyah Pitaloka, merasakan setiap derak roda kereta seperti jarum yang menusuk luka di dadanya. Namun, kesadaran bahwa ia harus bertahan membuatnya tetap tegar.

Sesampainya di istana Majapahit, tabib istana segera dipanggil untuk merawat Dyah Pitaloka. Raja Hayam Wuruk tak pernah meninggalkan sisi sang putri, terus berdoa dan berharap agar nyawanya bisa diselamatkan. Seluruh istana dipenuhi dengan suasana duka dan kekhawatiran, menyadari betapa besar dampak dari peristiwa tragis yang baru saja terjadi.

Priscilla, dalam kesadarannya yang mulai memudar, berusaha menerima kenyataan bahwa ia kini menjadi bagian dari sejarah yang kelam. Dalam kebingungannya, ia merasakan kepedihan dan cinta yang begitu mendalam dari Raja Hayam Wuruk. Meski terperangkap dalam tubuh yang bukan miliknya, ia mulai memahami peran yang harus ia jalani di tengah pusaran takdir yang kejam ini.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang