Bab X

89 5 0
                                    

Perjalanan menuju Kerajaan Sunda dimulai dengan suasana yang penuh harapan dan semangat baru. Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama, menggunakan kereta kuda yang dihiasi indah, dengan banyak prajurit dan pelayan mengawal mereka.

Di dalam kereta Raja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka duduk saling berhadapan, Raja Hayam Wuruk mengerutkan keningnya saat melihat wajah Dyah Pitaloka yang pucat.

"Dyah, kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat." Tanya Raja Hayam Wuruk dengan khawatir.

"Tidak apa-apa, hanya sedikit pusing." Jawab Dyah Pitaloka dengan suara seraknya.

"Astaga perutku seperti diaduk-aduk, kenapa first impresion ku naik kereta kuda seperti ini?" Batin Dyah Pitaloka meringis. Ia merasakan mual yang sangat luar biasa, melipat bibirnya kedalam untuk menahan agar tidak muntah.

"Dyah, kau yakin kau baik-baik saja?" Tanya Raja Hayam Wuruk memastikan.

Tiba-tiba, kereta berguncang sedikit karena jalan yang tidak rata, membuat Dyah Pitaloka hampir mengeluarkan isi perutnya kalau ia tidak menutup mulutnya menggunakan tangan.

Seorang prajurit yang mengawal kereta mereka tiba-tiba berseru, "Apakah Yang Mulia dan Putri baik-baik saja di dalam sana?"

"Hentikan keretanya!" Teriak Dyah Pitaloka sudah tak tahan menahan mual.

Setelah kereta berhenti, Dyah Pitaloka turun dari kereta lalu berlari menjauh dari sana.

"Dyah, kau mau kemana?" Tanya Raja Hayam Wuruk ikut turun dari kereta. Dyah Pitaloka tidak menggubris pertanyaan Raja Hayam Wuruk.

"Huek!" Akhirnya Dyah Pitaloka bisa mengeluarkan isi perut yang membuatnya mual sepanjang perjalanan.

Mendengar Dyah Pitaloka, Raja Hayam Wuruk segera menghampirinya, "jangan mendekat!" Perintah Dyah Pitaloka, ia tidak mau Raja Hayam Wuruk melihat hal menjijikkan ini.

Setelah dirasa mualnya menghilang, Dyah Pitaloka pun menghampiri mereka. Seorang pelayan memberikan segelas air putih.

"Terimakasih." Ucap Dyah Pitaloka lalu meminumnya.

Raja Hayam Wuruk mendekati Dyah Pitaloka, "Dyah, kau hamil?" Tanya Raja Hayam Wuruk dengan berbisik.

Dyah Pitaloka terperangah ketika mendengar pertanyaan Raja Hayam Wuruk, "sembarang! Aku masih perawan ya!" Dyah Pitaloka memberikan gelas itu pada pelayan, lalu kembali memasuki kereta kuda.

Para prajurit dan pelayan meringis mendengar ucapan Dyah Pitaloka, mereka langsung mengetahui apa yang ditanyakan oleh Raja Hayam Wuruk.

"Kalian tahu apa yang terjadi dengan Dyah Pitaloka?" Tanya Raja Hayam Wuruk.

"Baginda, Putri Dyah Pitaloka mabuk perjalanan bukan hamil." Jawab Patih Gajah Mada perlahan.

"Begitu ya? Aku kira Dyah Pitaloka hamil, padahal kan aku belum melakukannya." Raja Hayam Wuruk menganggukkan kepalanya.

Dyah Pitaloka mendengar ucapan Raja Hayam Wuruk, belum melakukannya, berarti? "Apa maksudmu, Baginda?!"

Semua orang disana terperanjat melihat kepala Dyah Pitaloka keluar dari jendela kereta dengan wajah yang terlihat merah.

"Bukan apa-apa, Putri, lebih baik kita lanjutkan perjalanan sebelum malam tiba." Ujar Patih Gajah Mada kelabakan.

Raja Hayam Wuruk memasuki kereta lalu duduk dihadapan Dyah Pitaloka, Dyah Pitaloka langsung memalingkan wajahnya agar tidak bertatapan dengan Raja Hayam Wuruk.

"Maafkan aku, Dyah." Ucap Raja Hayam Wuruk dengan menggaruk lehernya yang tak gatal.

"Hm."

"Kau marah?"

"Tidak."

"Wajah mu memerah, kau pasti marah padaku!" Rengek Raja Hayam Wuruk.

"Diamlah, aku malu." Ringis Dyah Pitaloka menundukkan kepalanya.

"Kenapa malu, mabuk perjalanan itu hal yang wajar?" Raja Hayam Wuruk memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Dyah Pitaloka.

"Baginda, ku mohon ..." Gerutu Dyah Pitaloka.

"Baiklah aku akan diam."

Raja Hayam Wuruk benar-benar melakukannya, di dalam kereta tak ada sedikitpun obrolan diantara mereka membuat suasana menjadi canggung.

---

Setelah perjalanan panjang yang dan melelahkan, Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk akhirnya tiba di Kerajaan Sunda. Kedatangan mereka disambut dengan hormat dan penuh harapan oleh para pejabat dan prajurit kerajaan. Suasana di istana Sunda yang semula penuh duka kini sedikit demi sedikit berubah menjadi penuh harap.

Dyah Pitaloka merasa jantungnya berdebar ketika ia turun dari kereta kuda, melihat sekeliling dan menyadari bahwa ia kembali ke tanah kelahirannya. Meskipun dengan perasaan campur aduk, ia siap untuk bertemu dengan keluarganya yang tersisa.

Ibunya, Ratu Sunda, dan adiknya, Prabu Niskala Wastu, berdiri di ujung pelataran istana, mata mereka penuh dengan air mata kebahagiaan dan kerinduan. Dyah Pitaloka berlari kecil menghampiri mereka, air matanya tak terbendung.

"Ibu!" serunya dengan suara penuh emosi, langsung memeluk ibunya dengan erat. Ibu Suri membalas pelukan putrinya, menangis bahagia.

"Dyah, syukur pada para dewa kau selamat," kata Ibu Suri dengan suara bergetar. "Kami begitu khawatir."

Prabu Niskala Wastu, yang kini menjadi pemimpin muda Kerajaan Sunda, juga menghampiri dan memeluk kakaknya. "Kakak, aku sangat merindukanmu. Kehadiranmu memberikan harapan baru bagi kita semua."

Dyah Pitaloka tersenyum meskipun air matanya masih mengalir. "Aku juga sangat merindukan kalian. Kehilangan ayah sangat berat, tapi kita harus terus maju dan membangun perdamaian."

Raja Hayam Wuruk yang berdiri tak jauh dari mereka, menyaksikan dengan hati yang lega. Ia merasa senang melihat keluarga yang bersatu kembali meskipun dalam situasi yang sulit. Dyah Pitaloka melirik Raja Hayam Wuruk dengan ragu, kemudian memperkenalkan Raja Hayam Wuruk kepada ibunya dan adiknya.

"Ibu, Adik, inilah Raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Kami datang dengan niat baik untuk membangun kembali hubungan antara dua kerajaan kita."

Ibu Suri dan Prabu Niskala Wastu menyambut Raja Hayam Wuruk dengan sikap hormat. "Selamat datang di Kerajaan Sunda, Baginda. Kami berterima kasih atas upaya Anda untuk membawa perdamaian," kata Ibu Suri.

Raja Hayam Wuruk membungkuk hormat. "Terima kasih, Yang Mulia. Aku berharap kunjungan ini menjadi awal dari hubungan yang lebih baik dan damai antara kita."

Pertemuan tersebut menandai awal baru bagi kedua kerajaan. Meskipun masih banyak yang harus dilakukan untuk menyembuhkan luka masa lalu, pertemuan Dyah Pitaloka dengan keluarganya dan upaya bersama untuk perdamaian membawa harapan baru. Mereka bertekad untuk bekerja sama demi masa depan yang lebih baik, mengukir sejarah baru yang penuh dengan persahabatan dan kerjasama.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang