Bab V

163 13 0
                                    

Ibu Suri dan Prabu Niskala Wastu duduk di aula utama istana, menunggu kabar dari rombongan yang berangkat ke Majapahit. Seorang utusan datang dengan wajah penuh duka.

"Yang Mulia, Prabu Wastu, Ibu Suri. Saya membawa kabar dari Bubat." Ucap Utusan dengan tergesa.

"Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Raja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka?" Tanya Ibu Suri dengan cemas.

"Hamba dengan berat hati harus mengabarkan bahwa Raja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka telah gugur di Bubat." Jawab Utusan dengan bergetar.

"Apa yang kau katakan? Mereka telah tiada?" Ibu Suri terkejut dan berlinang air mata, apa yang baru saja ia dengar?

"Bagaimana ini bisa terjadi? Ceritakan semuanya dengan jelas." Tanya Prabu Niskala Wastu dengan bergetar, apa yang dikatakan Utusan istana sangat sulit untuk dipercaya.

"Perang pecah di Bubat, Yang Mulia. Pasukan Majapahit, dipimpin oleh Gajah Mada, menyerang rombongan kita. Raja Linggabuana dan banyak prajurit kita tewas dalam pertempuran itu. Putri Dyah Pitaloka ... beliau memilih untuk melakukan bela pati." Ungkap Utusan dengan napas yang memburu.

Ibu Suri menangis histeris, sedangkan Prabu Niskala Wastu berusaha menenangkan dirinya meskipun hatinya sangat berduka.

"Oh, anakku Dyah Pitaloka ... bagaimana mungkin ini terjadi? Mengapa mereka harus berakhir dengan cara yang begitu tragis?"

"Ini adalah musibah besar bagi kita semua. Kita kehilangan pemimpin yang bijaksana dan seorang putri yang sangat dicintai. Namun, kita harus kuat. Kita harus menjaga kerajaan ini dan melindungi rakyat kita." Ujar Prabu Niskala Wastu berusaha untuk tegar.

"Kita harus memberikan penghormatan terakhir yang layak bagi mereka. Mereka mati dengan kehormatan dan kita harus mengenang mereka dengan cara yang pantas." Lanjut Ibu Suri dengan air mata yang masih membasahi pipinya.

"Benar, Ibu Suri. Kita akan mengadakan upacara besar untuk menghormati mereka. Dan kita tidak akan melupakan pengorbanan mereka. Kita akan menjaga nama baik keluarga dan kerajaan ini." Prabu Niskala Wastu memeluk Ibunya dengan erat.

Dengan penuh duka, Ibu Suri dan Prabu Niskala Wastu Kancana memulai persiapan untuk upacara penghormatan terakhir bagi Raja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka, sambil berjanji untuk melanjutkan perjuangan mereka dengan bijaksana dan adil. Masyarakat kerajaan Sunda di buat gempar atas kabar tewasnya Raja dan Putri mereka.

Dengan hati yang penuh kesedihan, Ibu Suri dan Prabu Niskala Wastu Kancana menerima kenyataan pahit tentang kepergian Raja Linggabuana dan Putri Dyah Pitaloka. Namun, dalam duka mereka, mereka menemukan kekuatan untuk melanjutkan tugas mereka dan menjaga Kerajaan Sunda dengan kehormatan dan kebijaksanaan.

---

Raja Hayam Wuruk turun dari kudanya, menatap sekeliling medan perang yang penuh dengan kekacauan dan kehancuran. Jeritan kesakitan dan tangisan kehilangan terdengar di mana-mana. Ia melangkah hati-hati melalui medan perang, hatinya penuh dengan penyesalan dan kesedihan.

"Semua ini ... begitu mengerikan." Gumam Raja Hayam Wuruk dengan penuh rasa bersalah.

Dia berjalan melewati prajurit yang terluka dan gugur, mencari sosok yang sangat dia harapkan untuk ditemui.

"Dyah Pitaloka ... di mana kau?"

Akhirnya, di tengah kekacauan, ia melihat sesosok tubuh terbaring. Dyah Pitaloka, dengan gaun yang kotor dan tubuh yang lemah, tergeletak di tanah.

Raja Hayam Wuruk berlari mendekati Dyah Pitaloka, "Dyah Pitaloka! Bangunlah, kumohon. Jangan tinggalkan aku."

Dia berlutut di sampingnya, menggenggam tangan Dyah Pitaloka yang dingin. Mata Dyah Pitaloka terbuka perlahan, menatapnya dengan pandangan yang lemah.

"Baginda ... mengapa ... semua ini terjadi?"

"Aku menyesal, Dyah. Aku tidak pernah menginginkan ini. Aku hanya ingin kita bersatu, membawa perdamaian antara kerajaan kita." Ujar Raja Hayam Wuruk dengan suara parau.

"Hati kami ... sudah hancur, Baginda. Keluarga dan rakyatku ... menderita." Ucap Putri Dyah Pitaloka lemah.

"Aku tahu. Ini salahku. Aku seharusnya melindungimu dan keluargamu. Maafkan aku, Dyah." Sesal Raja Hayam Wuruk.

Dyah Pitaloka tersenyum lemah, "tidak ada yang bisa kau lakukan sekarang, Baginda. Kehormatan ... sudah terjaga."

Dengan napas terakhirnya, Dyah Pitaloka menutup mata, meninggalkan dunia ini. Raja Hayam Wuruk memeluk tubuhnya yang tak bernyawa, air mata mengalir deras di pipinya.

"Maafkan aku, Dyah. Aku berjanji, pengorbananmu tidak akan sia-sia. Aku akan menjaga kehormatanmu dan belajar dari kesalahan ini." Racau Raja Hayam Wuruk dengan tangisan yang sendu.

Raja Hayam Wuruk berdiri perlahan, menatap medan perang dengan hati yang penuh penyesalan dan tekad. Dia tahu bahwa dia harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan berusaha untuk memperbaiki kesalahannya di masa depan.

Dengan hati yang penuh kesedihan dan penyesalan, Raja Hayam Wuruk menyaksikan kehancuran di medan perang Bubat. Pengorbanan Dyah Pitaloka menjadi pengingat abadi akan harga yang harus dibayar untuk ambisi dan kesalahpahaman, serta tekadnya untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang