Bab XII

69 6 0
                                    

Setelah menikmati makan malam yang hangat dan penuh kebersamaan dengan Ibu Suri dan Prabu Niskala Wastu, Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk kembali ke kamar yang telah disiapkan untuk mereka. Suasana malam itu tenang, dengan sinar bulan yang lembut menyinari istana Sunda.

Ketika mereka tiba di kamar, Priscilla yang berada dalam tubuh Dyah Pitaloka merasa gugup. Meskipun ia menghargai kebaikan Raja Hayam Wuruk dan memahami peran yang harus ia jalani, sebagai Priscilla, ia merasa tidak nyaman dengan ide tidur satu ranjang dengan raja.

Dyah Pitaloka menghela napas dalam-dalam dan berkata, "Baginda, saya menghormati Anda dan semua yang telah Anda lakukan untuk membawa perdamaian. Namun, saya tidak bisa tidur satu ranjang dengan Anda. Saya harap Anda mengerti."

Raja Hayam Wuruk, dengan sikap penuh pengertian, mengangguk. "Dyah, aku memahami perasaanmu. Tidak perlu khawatir. Kita bisa membuat pengaturan yang lebih nyaman untuk kita berdua."

Raja Hayam Wuruk kemudian memanggil seorang pelayan dan meminta agar kamar diatur ulang, menyediakan dua tempat tidur terpisah. Pelayan segera mengatur tempat tidur tambahan di kamar yang luas tersebut.

Setelah pengaturan selesai, Dyah Pitaloka merasa lebih tenang. "Terima kasih, Raja Hayam Wuruk. Ini membuat saya merasa lebih nyaman."

Raja Hayam Wuruk tersenyum. "Tidak masalah, Dyah. Yang penting adalah kita berdua bisa beristirahat dengan baik. Besok kita masih memiliki banyak hal yang harus dibicarakan dan diselesaikan."

Dengan perasaan lega, Dyah Pitaloka dan Raja Hayam Wuruk masing-masing berbaring di tempat tidur mereka. Meskipun tidur di kamar yang sama, mereka menjaga batas yang membuat keduanya merasa nyaman dan dihormati.

Dyah Pitaloka menatap langit-langit kamar, merenungkan perjalanan dan tantangan yang telah mereka hadapi. Ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi malam ini, ia bisa beristirahat dengan tenang, dengan keyakinan bahwa masa depan yang lebih baik sedang mereka usahakan bersama.

--

Raja Hayam Wuruk merasa sulit untuk tidur malam itu. Tempat tidur yang bukan miliknya dan ketidakhadiran bantal guling yang biasa ia peluk membuatnya gelisah. Ia berbaring di sana, mendengarkan suara malam yang tenang di istana Sunda, namun pikirannya tetap gelisah.

Di sebelahnya, Dyah Pitaloka sudah tertidur dengan lelap. Wajahnya terlihat tenang, seakan beban yang ia pikul selama ini sedikit terangkat. Raja Hayam Wuruk menatapnya dengan lembut, merenungkan semua yang telah mereka lalui bersama. Dalam benaknya, muncul pertanyaan: apakah ia harus tidur sambil memeluk Dyah Pitaloka untuk bisa merasa nyaman?

Namun, ia tahu bahwa Dyah Pitaloka  telah menegaskan batasan mereka. Meskipun ia sangat ingin merasa nyaman, ia juga tidak ingin melanggar batas yang telah ditetapkan oleh Dyah Pitaloka. Ia menghormati keinginan dan perasaan Dyah Pitaloka.

Setelah beberapa saat, Raja Hayam Wuruk memutuskan untuk mencoba menemukan solusi lain. Ia bangkit perlahan dari tempat tidurnya, berusaha agar tidak membangunkan Dyah Pitaloka. Ia berjalan ke sudut ruangan di mana beberapa bantal tambahan disimpan. Dengan hati-hati, ia mengumpulkan beberapa bantal dan menyusunnya di tempat tidurnya, mencoba menciptakan sensasi pelukan yang biasanya ia dapatkan dari bantal guling.

Kembali ke tempat tidurnya, Raja Hayam Wuruk berbaring dan memeluk bantal-bantal tersebut. Meskipun tidak sepenuhnya sama, rasa nyaman mulai merayapi tubuhnya. Ia menutup mata dan perlahan mulai merasa tenang.

Dengan mata yang hampir tertutup, ia sekali lagi melirik Dyah Pitaloka yang tertidur dengan damai. Ia tersenyum sedikit, merasa lega bahwa mereka dapat menjaga kehormatan dan rasa saling menghargai satu sama lain. Dengan pikiran itu, Raja Hayam Wuruk akhirnya berhasil tidur, siap menghadapi hari esok dengan semangat baru.

---

Pagi tiba dengan sinar matahari yang lembut memasuki kamar mereka. Dyah Pitaloka terbangun perlahan, merasa sedikit terganggu oleh cahaya yang menerobos tirai. Ia mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi. Namun, ada sesuatu yang lain yang membuatnya terusik—perasaan hangat dan berat di pinggangnya.

Dengan rasa bingung, ia membuka matanya sepenuhnya dan melihat ke bawah. Ia mendapati sebuah tangan yang memeluk pinggangnya. Jantungnya berdegup lebih cepat ketika menyadari bahwa tangan itu milik Raja Hayam Wuruk.

Raja Hayam Wuruk, yang ternyata pindah ke tempat tidur Dyah Pitaloka di tengah malam, masih tertidur dengan damai. Ekspresi wajahnya terlihat tenang dan nyaman, seakan ia telah menemukan kenyamanan yang dicarinya semalam. Mungkin karena dalam tidurnya, tanpa sadar, ia mencari kehangatan dan rasa nyaman yang biasa ia dapatkan dari bantal guling.

"Kalau dilihat lebih dekat, dia sangat tampan ternyata." Gumamnya Dyah Pitaloka, lalu terperanjat, apa yang baru saja terlintas di otaknya?

Dyah Pitaloka merasa canggung dan bingung. Ia berusaha melepaskan diri dengan hati-hati agar tidak membangunkan Raja Hayam Wuruk, tetapi pergerakannya membuat sang raja mulai terbangun.

Hayam Wuruk membuka mata dan mendapati dirinya memeluk Dyah Pitaloka. Ia segera menarik tangannya dengan rasa malu dan kebingungan. "Maafkan aku, Dyah. Aku tidak bermaksud—"

"Tidak apa-apa, Baginda. Mungkin kau hanya mencari kenyamanan dalam tidurmu." Dyah Pitaloka tersenyum tipis, meskipun merasa canggung.

Raja Hayam Wuruk mengangguk pelan, wajahnya masih memerah. "Terima kasih atas pengertianmu. Aku benar-benar tidak sadar melakukannya."

Dyah Pitaloka bangkit dari tempat tidur, mencoba mengalihkan perhatian mereka dari kejadian tersebut. "Mari kita bersiap-siap. Hari ini kita memiliki banyak hal yang harus dilakukan."

Raja Hayam Wuruk setuju dan mereka berdua mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi hari. Meskipun peristiwa tadi pagi membuat mereka sedikit canggung, mereka berdua tahu bahwa kerja sama dan komunikasi yang baik sangat penting untuk keberhasilan misi mereka. Dengan semangat baru, mereka siap menghadapi tantangan yang menanti.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang