Esok harinya, Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada memutuskan bahwa sudah saatnya mereka kembali ke Majapahit untuk merundingkan situasi yang semakin memanas dengan para penasihat kerajaan mereka. Meskipun mereka datang dengan niat baik untuk perdamaian, insiden-insiden kecil dan desas-desus yang menyebar mulai mengikis kepercayaan di antara kedua belah pihak.
Di tengah persiapan keberangkatan mereka, Dyah Pitaloka datang mendekati Raja Hayam Wuruk dengan niat ingin ikut serta. "Baginda, aku ingin ikut denganmu kembali ke Majapahit. Aku merasa lebih baik jika aku berada di dekatmu dan mendukung upaya perdamaian ini," kata Dyah Pitaloka dengan penuh tekad.
Raja Hayam Wuruk memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran. "Dyah, aku mengerti keinginanmu, tetapi saat ini keadaan terlalu berbahaya dan tidak menentu. Aku tidak ingin kau berada dalam bahaya. Lebih baik kau tetap di sini, di Sunda, di bawah perlindungan keluargamu."
Priscilla merasa kecewa, tetapi ia tahu bahwa Raja Hayam Wuruk memiliki alasan yang kuat. "Tapi aku bisa membantu, aku bisa menjadi jembatan antara kedua kerajaan."
Patih Gajah Mada, yang berdiri di samping Raja Hayam Wuruk, menambahkan, "Benar, Dyah. Keadaan saat ini terlalu berisiko. Kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan masalah ini dan segera kembali untuk membawa kabar baik. Percayalah pada kami."
Dyah Pitaloka menundukkan kepalanya, mencoba menahan rasa frustrasinya. "Baiklah, kalau begitu. Aku akan tetap di sini dan berdoa agar semuanya berjalan lancar."
Raja Hayam Wuruk menggenggam tangan Dyah Pitaloka dengan lembut. "Terima kasih, Dyah. Keselamatanmu adalah yang terpenting bagiku. Kita akan segera kembali dan menyelesaikan semua ini."
Setelah berpamitan dengan Ratu Sunda dan Prabu Niskala Wastu, Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada memimpin rombongan mereka kembali ke Majapahit. Di sepanjang perjalanan, pikiran mereka penuh dengan rencana dan strategi untuk mengatasi situasi yang semakin rumit ini.
Sementara itu, Dyah Pitaloka merasa cemas di istana Sunda. Ia berusaha tetap tenang dan percaya pada kemampuan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasakan ketidakpastian dan kekhawatiran tentang masa depan perdamaian antara kedua kerajaan.
Dengan rasa tidak tenang, Priscilla memutuskan untuk mencari roh Dyah Pitaloka lagi, berharap mendapatkan panduan dan dukungan. Di dalam kamarnya, ia duduk dengan tenang dan memanggil roh Dyah Pitaloka.
"Tuan Putri, aku butuh bantuanmu lagi. Tolong datanglah," bisiknya.
Roh Dyah Pitaloka muncul di hadapannya, wajahnya yang lembut dan tenang memberikan sedikit ketenangan pada Priscilla. "Apa yang mengganggumu, Priscilla?"
"Aku merasa khawatir. Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk merundingkan situasi ini. Aku ingin membantu, tetapi mereka melarangku untuk ikut. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku bisa membantu dari sini?" tanya Priscilla dengan suara penuh kegelisahan.
Dyah Pitaloka tersenyum penuh kebijaksanaan. "Priscilla, kadang-kadang hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu dengan sabar dan memberikan dukungan dari jauh. Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada adalah orang-orang yang bijaksana dan berpengalaman. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Yang perlu kau lakukan adalah tetap kuat dan siap untuk mendukung mereka ketika saatnya tiba."
Priscilla mengangguk, meskipun masih merasa cemas. "Aku akan mencoba. Terima kasih, Dyah."
Dengan kata-kata roh Dyah Pitaloka yang menguatkan, Priscilla berusaha tetap tenang dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. Sementara itu, Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada bergegas kembali ke Majapahit, bertekad untuk menemukan solusi terbaik bagi perdamaian yang rapuh antara kedua kerajaan.
---
Malam itu, ketika suasana di istana Sunda tenang dan sepi, Patih Anepaken mendekati Prabu Niskala Wastu di ruang pribadinya. Ia merasa inilah saat yang tepat untuk menghasut Prabu Niskala agar membalaskan dendam atas kematian Raja Linggabuana dengan menyerang Majapahit.
"Prabu Niskala," kata Patih Anepaken dengan suara lembut namun tegas, "aku tahu bahwa luka di hati kita belum sembuh. Penghinaan dan kekejaman yang dilakukan Majapahit terhadap kita di Bubat tidak bisa begitu saja dimaafkan."
Prabu Niskala Wastu mengangguk perlahan, matanya penuh kesedihan dan kemarahan yang terpendam. "Aku tahu, Patih Anepaken. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Mereka datang dengan niat untuk berdamai."
Patih Anepaken menatap Prabu Niskala dengan serius. "Niat damai mereka tidak tulus, Prabu. Ini adalah kesempatan kita untuk membalas dendam dan mengembalikan kehormatan Kerajaan Sunda. Kita harus bertindak sekarang, sebelum mereka menyiapkan kekuatan mereka kembali di Majapahit."
Sementara itu, Adipati Raden Wiratama, yang sedang berjalan di dekat ruangan tempat percakapan itu berlangsung, secara tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Ia berhenti sejenak, menyadari betapa berbahayanya rencana yang sedang dibicarakan Patih Anepaken.
Dengan hati-hati, Adipati Raden Wiratama bergegas pergi untuk menemui Dyah Pitaloka. Ia tahu bahwa Dyah Pitaloka adalah satu-satunya yang mungkin bisa menghentikan rencana ini sebelum terlambat. Ia menemukan Dyah Pitaloka di tamannya, sedang merenung di bawah cahaya bulan.
"Dyah Pitaloka!" seru Adipati Raden Wiratama dengan suara terburu-buru. "Aku harus berbicara denganmu. Ini sangat penting."
Dyah Pitaloka menoleh, terkejut melihat Adipati Raden Wiratama datang dengan wajah penuh kekhawatiran. "Ada apa, Adipati? Apa yang terjadi?"
Adipati Raden Wiratama mengambil napas dalam-dalam sebelum menjelaskan. "Aku tidak sengaja mendengar percakapan antara Patih Anepaken dan Prabu Niskala. Patih Anepaken sedang menghasut Prabu Niskala untuk menyerang Majapahit. Dia ingin membalaskan dendam atas kematian Raja Linggabuana."
Dyah Pitaloka (Priscilla) terkejut mendengar berita ini. "Ini tidak bisa dibiarkan. Jika terjadi peperangan, semua upaya untuk perdamaian akan sia-sia. Aku harus menghentikan ini."
"Apa yang bisa kita lakukan?" tanya Adipati Raden Wiratama, suaranya penuh kekhawatiran. "Patih Anepaken sangat berpengaruh. Kita harus bertindak cepat."
Dyah Pitaloka berpikir sejenak sebelum berbicara. "Aku akan mencoba bicara dengan Prabu Niskala dan meyakinkannya untuk tidak mendengarkan Patih Anepaken. Kita harus mengingatkan Prabu Niskala tentang pentingnya perdamaian bagi rakyat kita."
Adipati Raden Wiratama mengangguk. "Baiklah. Aku akan mendukungmu. Mari kita temui Prabu Niskala sekarang sebelum terlambat."
Dengan tekad yang kuat, Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama bergegas menuju ruangan tempat Prabu Niskala Wastu berada. Mereka tahu bahwa waktu sangat berharga dan bahwa tindakan cepat dan tegas diperlukan untuk mencegah bencana besar yang bisa menghancurkan kedua kerajaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa Depan
Historical Fiction❕ Follow dulu sebelum baca ❕ Cerita perang Bubat adalah sebuah kisah tragis dalam sejarah Majapahit. Perang ini terjadi pada tahun 1357 antara pasukan Kerajaan Majapahit pimpinan Gajah Mada dan pasukan Kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Lingga B...