Bab XVII

46 4 0
                                    

Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama berdiri di dekat pintu ruangan Prabu Niskala, menunggu dengan cemas. Mereka tahu bahwa waktu sangat penting dan setiap detik yang berlalu dapat membawa bencana lebih dekat. Suara percakapan yang semakin keras di dalam ruangan menambah ketegangan di udara.

Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan Patih Anepaken keluar dengan ekspresi wajah yang serius. Ia terkejut melihat Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama berdiri di sana, tetapi dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya di balik sikap tegasnya.

"Patih Anepaken," sapa Dyah Pitaloka dengan tenang meskipun hatinya berdebar-debar. "Aku ingin berbicara dengan Prabu Niskala. Ada hal penting yang harus kubicarakan."

Patih Anepaken mengerutkan alis, jelas tidak menyukai intervensi ini. "Dyah Pitaloka, Prabu Niskala sedang dalam keadaan yang tidak tenang. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara dengannya."

Dyah Pitaloka tidak mundur. "Ini sangat penting, Patih. Aku mohon izin untuk berbicara dengannya."

Melihat keteguhan Dyah Pitaloka, Patih Anepaken tahu bahwa ia tidak bisa menolak permintaannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia mengangguk perlahan. "Baiklah, tetapi tolong jangan terlalu lama. Prabu Niskala perlu waktu untuk berpikir."

Setelah Patih Anepaken berlalu, Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama segera memasuki ruangan. Mereka menemukan Prabu Niskala Wastu duduk dengan wajah penuh kebingungan dan kemarahan.

"Prabu Niskala," Dyah Pitaloka mulai dengan suara lembut, "aku mendengar bahwa Patih Anepaken ingin membalas dendam atas kematian ayah dengan menyerang Majapahit. Aku mengerti rasa sakit dan kemarahanmu, tetapi aku mohon, pertimbangkan kembali."

Prabu Niskala Wastu menatap Dyah Pitaloka dengan mata yang penuh emosi. "Dyah, kita kehilangan ayah di Bubat. Bagaimana kita bisa melupakan itu? Bagaimana kita bisa memaafkan Majapahit?"

Dyah Pitaloka mendekat dan meletakkan tangannya di tangan Prabu Niskala. "Aku tahu, Prabu. Rasa sakit kehilangan orang yang kita cintai sangat mendalam. Tapi peperangan hanya akan menambah penderitaan bagi rakyat kita. Kita harus mencari jalan lain, jalan yang lebih damai."

Adipati Raden Wiratama menambahkan, "Prabu, kita harus berhati-hati. Jika kita memulai perang sekarang, kita mungkin tidak hanya akan kehilangan lebih banyak nyawa, tetapi juga menghancurkan segala harapan untuk masa depan yang lebih baik. Kita harus memberi kesempatan bagi perdamaian."

Prabu Niskala terdiam, bergulat dengan emosinya. Ia tahu bahwa kata-kata Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama masuk akal, tetapi kemarahan dan dendam di hatinya sulit diabaikan.

"Aku mengerti apa yang kalian katakan," kata Prabu Niskala akhirnya, suaranya berat dengan rasa sakit. "Tetapi aku juga tidak bisa begitu saja melupakan apa yang telah terjadi."

Dyah Pitaloka mengangguk pelan. "Kita tidak meminta untuk melupakan, Prabu. Kita meminta untuk mempertimbangkan cara lain, cara yang bisa membawa perdamaian dan kehormatan bagi kedua kerajaan. Biarkan kita mencari solusi bersama, tanpa pertumpahan darah."

Prabu Niskala menatap Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama dengan mata yang penuh kebijaksanaan yang mulai muncul kembali. "Baiklah, aku akan mempertimbangkannya. Aku akan berbicara lagi dengan Raja Hayam Wuruk dan mencari jalan terbaik bagi kita semua."

Dyah Pitaloka tersenyum dengan lega. "Terima kasih, Prabu. Kami akan mendukungmu dalam setiap langkah yang kau ambil."

Dengan itu, Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama meninggalkan ruangan, hati mereka sedikit lebih ringan. Mereka tahu bahwa perjuangan untuk perdamaian masih panjang, tetapi setidaknya mereka telah membuat langkah penting untuk menghindari bencana yang lebih besar. Sementara itu, Patih Anepaken yang masih menyimpan dendamnya harus menghadapi kenyataan bahwa rencananya tidak berjalan semulus yang ia harapkan.

---

Sementara itu, rombongan Raja Hayam Wuruk yang sedang dalam perjalanan kembali ke Majapahit tiba-tiba mendapatkan serangan mendadak. Suasana yang awalnya tenang dan penuh dengan percakapan ringan di antara para prajurit dan pelayan, berubah menjadi kekacauan seketika.

Prajurit Majapahit segera bereaksi, membentuk formasi perlindungan di sekitar Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Mereka menghunus senjata mereka, siap menghadapi serangan yang datang dari segala arah.

"Siap-siaga! Lindungi Raja!" teriak Patih Gajah Mada dengan suara lantang, memberikan perintah kepada prajuritnya.

Serangan itu tampak terorganisir dengan baik, seolah-olah sudah direncanakan dengan cermat. Para penyerang muncul dari balik semak-semak dan pepohonan, membawa senjata tajam dan busur. Mereka menyerang dengan kecepatan dan ketepatan yang mengejutkan, mencoba memecah pertahanan rombongan Majapahit.

Raja Hayam Wuruk tetap tenang meskipun situasinya sangat berbahaya. Ia tahu bahwa panik hanya akan memperburuk keadaan. "Patih Gajah Mada, siapa yang bisa melakukan serangan ini? Apakah mungkin dari kerajaan lain yang mencoba memanfaatkan ketegangan kita dengan Sunda?" tanya Raja Hayam Wuruk sambil melihat sekeliling.

Patih Gajah Mada menggelengkan kepalanya, matanya tajam mengawasi setiap gerakan musuh. "Sulit untuk dikatakan, Paduka. Namun, kita harus bertahan dan mencari tahu setelah ini. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Paduka."

Pertempuran berlangsung sengit, dengan prajurit Majapahit bertarung habis-habisan melindungi raja mereka. Serangan mendadak ini jelas dirancang untuk melemahkan dan mengintimidasi mereka, tetapi prajurit Majapahit terlatih dan tidak mudah dikalahkan.

Setelah beberapa waktu, mereka berhasil memukul mundur para penyerang. Para penyerang, yang tampaknya menyadari bahwa mereka tidak akan bisa menang dengan mudah, mulai mundur ke dalam hutan, meninggalkan medan pertempuran.

Patih Gajah Mada memerintahkan beberapa prajurit untuk mengejar penyerang, sementara sisanya tetap berjaga di sekitar Raja Hayam Wuruk. Setelah memastikan bahwa Raja Hayam Wuruk aman, Patih Gajah Mada memeriksa situasi di sekitar mereka.

"Kita harus segera melanjutkan perjalanan ke Majapahit, Paduka," kata Patih Gajah Mada. "Tempat ini tidak aman. Kita perlu tiba di Majapahit secepat mungkin untuk menghindari serangan lebih lanjut."

Raja Hayam Wuruk mengangguk. "Setuju, Patih. Pastikan semua orang siap. Kita tidak boleh lengah."

Rombongan kembali bersiap-siap, dengan kewaspadaan yang meningkat. Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, mata dan telinga mereka waspada terhadap setiap tanda bahaya.

Sementara itu, di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa serangan ini bukanlah kebetulan. Ada kekuatan yang mencoba menggagalkan upaya perdamaian antara Majapahit dan Sunda. Mereka harus tetap waspada dan bersiap menghadapi segala kemungkinan saat mereka melanjutkan perjalanan menuju Majapahit.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang