Bab XIII

66 6 0
                                    

Di dalam istana Sunda, suasana pagi dipenuhi dengan kesibukan dan diskusi penting. Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada sedang berbicara secara pribadi dengan Ratu Sunda dan Prabu Niskala Wastu. Mereka membahas berbagai hal, termasuk cara memperkuat hubungan antara Majapahit dan Sunda serta rencana untuk menjaga perdamaian di wilayah tersebut.

Sementara itu, Dyah Pitaloka yang didominasi oleh jiwa Priscilla menikmati keindahan taman istana Sunda. Ia duduk di bawah pohon besar, mengagumi bunga-bunga yang bermekaran dan merasakan angin sejuk yang menghembus. Taman itu adalah tempat yang indah dan damai, memberinya waktu untuk merenung dan bersantai.

Tak lama kemudian, Adipati Raden Wiratama, seorang bangsawan muda yang gagah dan berpengaruh di Kerajaan Sunda, mendekatinya. Ia telah mendengar kabar tentang kembalinya Dyah Pitaloka dan ingin menyambutnya dengan hangat. Dengan langkah mantap, ia mendekati Dyah Pitaloka yang sedang duduk santai.

"Selamat pagi, Putri Dyah Pitaloka," sapanya dengan hormat. "Senang sekali melihat Anda menikmati taman ini."

Dyah Pitaloka menoleh dan tersenyum manis, mata centilnya bersinar. "Selamat pagi, Adipati Raden Wiratama. Taman ini sungguh indah, hampir seindah pemiliknya."

Adipati Raden Wiratama tersenyum, terkejut oleh candaan centil Dyah Pitaloka. "Terima kasih, Putri. Taman ini memang salah satu kebanggaan istana."

Priscilla yang ada dalam tubuh Dyah Pitaloka merasa bermain-main dengan kata-kata. "Oh, Adipati, Anda tahu cara membuat seseorang merasa istimewa. Katakan, apakah Anda sering menghabiskan waktu di sini?"

Adipati Raden Wiratama tertawa ringan. "Sesekali, Putri. Taman ini tempat yang baik untuk merenung dan mencari inspirasi. Tapi, sepertinya hari ini lebih istimewa dengan kehadiran Anda di sini."

Dyah Pitaloka memainkan rambutnya dengan lembut, senyum menggoda masih terukir di wajahnya. "Anda benar-benar tahu cara merayu, Adipati. Tapi saya rasa Anda punya cerita menarik tentang taman ini. Mau berbagi?"

Adipati Raden Wiratama merasa terhibur oleh kehangatan dan keceriaan Dyah Pitaloka. "Tentu, Putri. Taman ini dibangun oleh leluhur kami, sebagai simbol kedamaian dan keindahan. Setiap sudutnya punya cerita, dan saya akan senang berbagi cerita itu dengan Anda."

Mereka berbincang dengan santai, candaan Priscilla yang centil membawa suasana ringan dan menyenangkan. Adipati Raden Wiratama terpesona oleh sikap Dyah Pitaloka yang berbeda dari biasanya, merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa dalam diri putri itu. Mereka menikmati pagi di taman, dengan percakapan yang mengalir dan tawa yang menggema, menciptakan kenangan baru di tengah kedamaian istana Sunda.

---

Setelah percakapan ringan dan penuh candaan dengan Dyah Pitaloka, Adipati Raden Wiratama merasa ada yang aneh. Selama perbincangan, Dyah Pitaloka tampak begitu ceria dan menggoda, namun yang lebih aneh adalah dia tampaknya tidak mengetahui banyak tentang taman dan sejarah istana Sunda, sesuatu yang seharusnya sangat akrab baginya.

Ketika percakapan mereka berakhir, Adipati Raden Wiratama mengucapkan salam perpisahan dan berjalan menjauh dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Sikap Dyah Pitaloka yang berbeda ini membuatnya merasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi.

Ia memutuskan untuk berbicara dengan Ratu Sunda dan Prabu Niskala Wastu mengenai hal ini. Ketika ia tiba di ruang pertemuan, ia menunggu sampai diskusi antara Raja Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, Ratu Sunda, dan Prabu Niskala Wastu selesai.

Setelah diskusi mereka usai, Adipati Raden Wiratama menghampiri Ratu Sunda dengan hormat. "Ibu Suri, maafkan saya mengganggu, namun ada sesuatu yang ingin saya sampaikan."

Ratu Sunda menatap Adipati Raden Wiratama dengan perhatian. "Ada apa, Raden Wiratama? Silakan bicara."

"Baru saja saya berbincang dengan Dyah Pitaloka di taman. Sikapnya begitu ceria dan menggoda, tetapi yang membuat saya khawatir adalah tampaknya dia tidak mengetahui banyak tentang taman dan sejarah istana Sunda. Ini sangat aneh, karena Putri Dyah Pitaloka seharusnya sangat mengenal tempat ini."

Ratu Sunda terlihat terkejut mendengar hal itu. "Apa yang kamu maksud, Raden Wiratama? Putri kami memang mengalami masa yang sulit, tetapi dia seharusnya tidak lupa dengan hal-hal dasar seperti itu."

Raja Hayam Wuruk yang mendengar percakapan ini, ikut merasa cemas. "Ini mengkhawatirkan. Mungkin ada sesuatu yang lebih dalam terjadi pada Dyah Pitaloka."

Patih Gajah Mada menambahkan, "Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin saja ada perubahan dalam dirinya yang kita tidak sadari."

Prabu Niskala Wastu mengangguk setuju. "Kita harus berbicara dengan Dyah Pitaloka secara langsung dan dengan hati-hati mencari tahu apa yang terjadi."

Ratu Sunda menghela napas dalam-dalam. "Baiklah, mari kita temui Dyah Pitaloka dan coba memahami situasinya dengan lebih baik."

Dengan tekad untuk menemukan kebenaran, mereka semua beranjak menuju taman di mana Dyah Pitaloka masih menikmati keindahan pagi. Ketika mereka tiba, Dyah Pitaloka menatap mereka dengan senyum manis, tidak menyadari kebingungan dan kecemasan yang memenuhi hati mereka.

"Dyah," kata Ratu Sunda dengan lembut, "bolehkah kami berbicara denganmu sebentar?"

Dyah Pitaloka mengangguk, masih dengan senyuman. "Tentu, Ibu. Ada apa?"

Raja Hayam Wuruk mengambil inisiatif. "Dyah, ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan. Kami ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja denganmu."

Priscilla, dalam tubuh Dyah Pitaloka, merasa sedikit gugup tetapi berusaha tetap tenang. "Tentu, tanya saja. Saya akan berusaha menjawab sebaik mungkin."

Dengan hati-hati, mereka mulai bertanya, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam diri Dyah Pitaloka dan mengapa ia tampak berbeda.

Dyah Pitaloka merasa jantungnya berdebar kencang saat menghadapi pertanyaan dari Ratu Sunda, Raja Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, dan Prabu Niskala Wastu. Ketakutan melanda dirinya—bagaimana jika mereka menyadari bahwa ia sebenarnya adalah Priscilla yang terjebak dalam tubuh Dyah Pitaloka?

Dengan berusaha menenangkan diri, Priscilla mencoba memberikan penjelasan yang masuk akal. "Ibu, Raja Hayam Wuruk, Prabu Niskala Wastu, Patih Gajah Mada," katanya dengan suara lembut namun terdengar gemetar, "saya hanya bercanda dengan Adipati Raden Wiratama. Saya ingin mencoba lebih akrab dengannya, itulah mengapa saya berbicara dengan cara yang mungkin tampak tidak biasa."

Ratu Sunda menatapnya dengan cermat, matanya mengamati setiap gerakan dan ekspresi Dyah Pitaloka. "Apakah kamu yakin tidak ada yang kamu sembunyikan, Dyah?"

Priscilla tersenyum, berusaha terlihat setenang mungkin. "Tidak ada yang saya sembunyikan, Ibu. Saya hanya merasa bahwa dengan bersikap lebih santai, saya bisa menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang-orang di sekitar saya."

Raja Hayam Wuruk, meskipun masih terlihat cemas, mengangguk pelan. "Mungkin Dyah hanya mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan baru setelah apa yang terjadi di Bubat."

Patih Gajah Mada menatap Priscilla dengan tatapan tajam. "Dyah, penting bagi kita semua untuk jujur satu sama lain. Jika ada sesuatu yang kamu rasakan atau inginkan, kamu harus memberi tahu kami."

Priscilla mengangguk dengan serius. "Saya mengerti, Patih Gajah Mada. Saya hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri kembali. Saya tidak ingin ada yang merasa canggung atau khawatir karena perubahan sikap saya."

Prabu Niskala Wastu, yang juga cemas dengan kondisi putrinya, menghela napas dalam-dalam. "Baiklah, Dyah. Kami hanya ingin memastikan bahwa kamu benar-benar baik-baik saja. Jika ada yang perlu kamu ceritakan, kami di sini untuk mendengarkan."

Priscilla merasa lega karena sepertinya penjelasannya diterima, meskipun ia tahu bahwa ia harus lebih berhati-hati ke depannya. "Terima kasih, semuanya. Saya akan berusaha lebih baik."

Ratu Sunda tersenyum lembut, mencoba memberikan dukungan. "Kami semua mencintaimu, Dyah. Jangan ragu untuk berbicara jika ada yang mengganggumu."

Setelah percakapan itu, mereka membiarkan Dyah Pitaloka kembali menikmati taman, meskipun pengawasan mereka tetap ada. Priscilla merasa sedikit lebih tenang, tetapi ia tahu bahwa ia harus selalu waspada dan menjaga rahasianya dengan baik agar tidak ketahuan.

Sementara itu, Raja Hayam Wuruk dan yang lainnya kembali ke urusan mereka, meskipun dengan rasa waspada dan penuh perhatian terhadap perubahan sikap Dyah Pitaloka. Mereka berharap bahwa waktu akan membantu mengembalikan putri mereka sepenuhnya dan membawa kedamaian bagi kedua kerajaan.

Sebenarnya Raja Hayam Wuruk merasa cemburu ketika mendengar Dyah Pitaloka mengatakan bahwa dia ingin akrab dengan Adipati Raden Wiratama, apalagi kemari Dyah Pitaloka sempat memuji pria itu.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang