Patih Anepaken, seorang penasihat senior di Kerajaan Sunda, mendengar kabar tentang upaya perdamaian antara Kerajaan Majapahit dan Sunda. Ia merasa marah dan tidak setuju dengan gagasan ini. Baginya, apa yang terjadi di Bubat adalah sebuah penghinaan dan bencana besar bagi Kerajaan Sunda, yang menewaskan banyak prajurit dan merenggut nyawa Raja Sunda dan sebagian besar anggota kerajaannya.
Dengan hati yang penuh kemarahan dan rasa tidak puas, Patih Anepaken memutuskan untuk menemui Ratu Sunda dan Prabu Niskala Wastu. Ia merasa perlu menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap perdamaian ini, karena ia percaya bahwa luka yang ditimbulkan oleh Majapahit terlalu dalam untuk disembuhkan dengan mudah.
Setelah mendapatkan izin untuk berbicara, ia memasuki ruangan tempat Ratu Sunda dan Prabu Niskala Wastu berada. Dengan hormat, ia membungkuk dan kemudian mengangkat kepalanya untuk menyampaikan pikirannya.
"Ibu Suri, Prabu Niskala Wastu, saya memohon maaf jika saya mengganggu, tetapi ada hal yang sangat penting yang ingin saya sampaikan," kata Patih Anepaken dengan suara tegas.
Ratu Sunda menatapnya dengan serius. "Apa yang ingin kau sampaikan, Patih Anepaken?"
"Saya mendengar tentang upaya perdamaian dengan Majapahit. Meskipun niatnya baik, saya merasa kita tidak boleh melupakan apa yang telah terjadi di Bubat. Kerajaan Sunda menderita kerugian besar, dan banyak nyawa hilang karena tindakan Majapahit. Bagaimana kita bisa mempercayai mereka dan melupakan pengkhianatan itu begitu saja?"
Prabu Niskala Wastu mengangguk pelan, memahami kekhawatiran Patih Anepaken. "Kami juga merasakan sakit dan kehilangan yang sama, Patih Anepaken. Namun, kita juga harus memikirkan masa depan Kerajaan Sunda. Perdamaian mungkin adalah jalan terbaik untuk mencegah lebih banyak pertumpahan darah."
Patih Anepaken menggelengkan kepalanya, masih penuh emosi. "Tapi bagaimana kita bisa yakin bahwa Majapahit tidak akan mengkhianati kita lagi? Bagaimana kita bisa melupakan semua pengorbanan yang telah dibuat oleh rakyat kita?"
Ratu Sunda berbicara dengan suara lembut namun penuh kebijaksanaan. "Patih Anepaken, kami memahami rasa sakitmu. Namun, perdamaian ini bukan tentang melupakan masa lalu, melainkan tentang membangun masa depan yang lebih baik. Kita harus berhati-hati, tetapi kita juga harus memberi kesempatan untuk rekonsiliasi. Keputusan ini diambil demi kebaikan semua rakyat kita."
Patih Anepaken terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ratu Sunda. Ia tahu bahwa rencana perdamaian ini memiliki tujuan yang mulia, tetapi rasa sakit dan dendam di hatinya masih sulit untuk diabaikan.
"Baiklah, Ibu Suri, Prabu Niskala Wastu. Saya akan menghormati keputusan kalian, tetapi saya berharap kita tetap waspada. Saya akan terus memperjuangkan kehormatan dan keamanan Kerajaan Sunda," kata Patih Anepaken akhirnya.
Ratu Sunda mengangguk dengan penuh penghargaan. "Terima kasih, Patih Anepaken. Dukunganmu sangat berarti bagi kami. Mari kita bekerja sama untuk memastikan perdamaian ini membawa kebaikan bagi kedua kerajaan."
Dengan berat hati, Patih Anepaken menerima keputusan tersebut. Meskipun ia masih meragukan niat Majapahit, ia memutuskan untuk mendukung langkah ini demi masa depan Kerajaan Sunda. Patih Anepaken tahu bahwa perjalanan menuju perdamaian akan penuh tantangan, tetapi ia siap untuk menjaga kehormatan dan keamanan kerajaannya dengan segenap kemampuan.
Patih Anepaken meninggalkan pertemuan dengan Ratu Sunda dan Prabu Niskala Wastu dengan hati yang masih penuh dendam dan ketidakpuasan. Meskipun ia telah menyatakan dukungannya terhadap keputusan untuk mencoba mencapai perdamaian, ia dalam hatinya tidak bisa menerima apa yang terjadi di Bubat. Ia merasa bahwa harga diri dan kehormatan Kerajaan Sunda telah ternodai, dan ia tidak bisa membiarkan hal itu berlalu begitu saja.
Di dalam hatinya, Patih Anepaken memutuskan bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan upaya perdamaian ini. Ia tahu bahwa tindakannya harus dilakukan dengan hati-hati dan cerdik, agar tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak lain.
Malam itu, setelah memastikan bahwa tidak ada yang akan mengganggunya, Patih Anepaken memanggil beberapa orang kepercayaannya, para prajurit dan penasihat yang setia kepadanya. Mereka berkumpul di sebuah ruangan rahasia di dalam istana, jauh dari telinga dan mata yang penasaran.
"Kalian semua adalah orang-orang yang paling aku percaya," kata Patih Anepaken dengan suara rendah namun tegas. "Kita tidak bisa membiarkan perdamaian ini terjadi. Majapahit telah menghina dan mengkhianati kita, dan aku tidak akan membiarkan mereka melupakan itu begitu saja. Kita harus melakukan sesuatu untuk menghentikan ini."
Para pengikutnya mendengarkan dengan penuh perhatian, beberapa dari mereka tampak ragu, tetapi mereka semua menghormati dan mempercayai Patih Anepaken.
"Saya mengerti, Patih," kata salah satu dari mereka. "Tapi apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita bisa menghentikan perdamaian ini tanpa menimbulkan kecurigaan?"
Patih Anepaken tersenyum licik, menunjukkan bahwa ia sudah memikirkan rencana ini dengan matang. "Kita harus menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan antara kedua kerajaan. Kita bisa menyebarkan desas-desus dan informasi palsu yang akan menimbulkan kecurigaan dan kebencian. Kita juga bisa mengatur insiden yang tampak seperti serangan dari pihak Majapahit atau dari pihak kita sendiri."
Para pengikutnya saling berpandangan, mulai memahami maksud Patih Anepaken. "Kita harus berhati-hati dan cerdik. Tidak boleh ada yang mengetahui keterlibatan kita dalam hal ini," lanjut Patih Anepaken. "Jika kita berhasil, maka upaya perdamaian ini akan hancur dan kita bisa mempertahankan kehormatan Kerajaan Sunda."
Mereka semua mengangguk, menyetujui rencana Patih Anepaken. Malam itu, mereka mulai merancang langkah-langkah untuk menjalankan rencana mereka. Patih Anepaken memerintahkan beberapa dari mereka untuk menyebarkan desas-desus yang bisa memicu ketidakpercayaan di antara kedua kerajaan. Beberapa lainnya diperintahkan untuk mengatur serangan kecil yang tampak seperti provokasi dari pihak Majapahit.
Hari-hari berikutnya, suasana di sekitar Kerajaan Sunda dan Majapahit mulai memanas. Desas-desus dan rumor mulai menyebar, menimbulkan ketidakpercayaan dan kekhawatiran di kedua belah pihak. Beberapa insiden kecil terjadi, menambah bahan bakar pada api ketegangan yang mulai menyala.
Raja Hayam Wuruk dan para penasihatnya merasa resah dengan situasi ini, begitu juga dengan Ratu Sunda dan Prabu Niskala Wastu. Mereka mulai meragukan niat baik satu sama lain, meskipun mereka tidak bisa menentukan siapa yang berada di balik semua ini.
Sementara itu, Patih Anepaken menyaksikan semuanya dengan puas. Ia tahu bahwa rencananya berjalan dengan baik dan bahwa upaya perdamaian ini semakin terancam. Meskipun tindakannya penuh dengan intrik dan tipu daya, ia yakin bahwa ia melakukan hal yang benar demi kehormatan dan kebanggaan Kerajaan Sunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa Depan
Fiksi Sejarah❕ Follow dulu sebelum baca ❕ Cerita perang Bubat adalah sebuah kisah tragis dalam sejarah Majapahit. Perang ini terjadi pada tahun 1357 antara pasukan Kerajaan Majapahit pimpinan Gajah Mada dan pasukan Kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Lingga B...