Bab IX

122 10 2
                                    

Dyah Pitaloka terdiam di taman kerajaan Majapahit, hatinya dipenuhi dengan kesedihan mendalam saat mengingat Ayahnya yang telah tewas di medan Perang Bubat. Ia tahu bahwa Kerajaan Sunda saat ini pasti sedang dilanda duka yang luar biasa. Rasa kehilangan yang mendalam membuat hatinya berat.

Matanya menatap sekeliling taman, mencoba mencari kedamaian di tengah-tengah kesedihan yang melanda. Tiba-tiba, ia melihat Patih Gajah Mada berjalan menghampirinya. Langkah-langkahnya penuh kehati-hatian dan penyesalan. Sesampainya di hadapan Dyah Pitaloka, Patih Gajah Mada membungkuk dalam-dalam.

“Putri Dyah Pitaloka,” suara Patih Gajah Mada terdengar berat, penuh dengan rasa bersalah. “Aku datang untuk memohon maaf atas semua yang telah terjadi. Kesalahpahaman dan ambisiku telah menyebabkan tragedi yang besar dan menyakitkan. Aku sangat menyesal.”

Dyah Pitaloka memandang Patih Gajah Mada dengan mata yang penuh dengan rasa sakit dan kehilangan. Hening sejenak mengisi udara di antara mereka. Akhirnya, Dyah Pitaloka menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang terluka.

“Patih Gajah Mada,” katanya dengan suara lembut namun tegas, “kehilangan yang kurasakan begitu mendalam. Ayah telah pergi, dan rakyat Sunda berduka. Namun, aku juga tahu bahwa menanam benih kebencian tidak akan membawa kita ke mana-mana. Aku menerima permintaan maafmu, bukan karena aku melupakan apa yang terjadi, tetapi karena aku percaya kita harus mencari jalan menuju perdamaian dan rekonsiliasi.”

Patih Gajah Mada menundukkan kepala lebih dalam, merasa terharu oleh kebesaran hati Dyah Pitaloka. “Terima kasih, Putri. Aku berjanji untuk mendedikasikan sisa hidupku untuk memastikan bahwa kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Aku akan bekerja tanpa lelah untuk membangun kembali kepercayaan dan hubungan antara Majapahit dan Sunda.”

Dyah Pitaloka mengangguk, meski hatinya masih berat. Ia tahu bahwa jalan menuju pemulihan dan perdamaian akan panjang dan penuh tantangan, namun dengan kerja sama dan tekad yang kuat, mereka bisa mengubah masa depan menjadi lebih baik. Bersama-sama, mereka berjanji untuk bekerja demi kedamaian dan kesejahteraan dua kerajaan, membawa harapan baru di tengah duka yang mendalam. Patih Gajah Mada pun berpamitan untuk pergi.

"Bagaimana keadaan kerajaan Sunda saat ini, ya?" Gumam Dyah Pitaloka.

"Mau berkunjung?" Ucap Raja Hayam Wuruk dengan tiba-tiba menaruh dagunya di atas pundak Dyah Pitaloka.

"Anjirt!" Dyah Pitaloka yang terkejut langsung menutup mulutnya ketika sadar apa yang ia katakan.

"Apa? Aku tidak mengerti maksudmu ..." Raja Hayam Wuruk beralih duduk di sebelah Dyah Pitaloka.

"Bukan apa-apa. Baginda membuat saya terkejut," ujar Dyah Pitaloka sambil tersenyum hingga matanya juga ikut tersenyum [( ◜‿◝ )].

Raja Hayam Wuruk berdebar ketika melihat senyuman Dyah Pitaloka, "astaga, dia lebih manis dari perkiraan ku!" Gumam Raja Hayam Wuruk tanpa di dengar oleh Dyah Pitaloka.

"Apakah Baginda mengatakan sesuatu?" Tanya Dyah Pitaloka saat melihat gerakan bibir Raja Hayam Wuruk.

"Tidak, maaf sudah membuat mu terkejut, putri Dyah." Ucap Raja Hayam Wuruk tersenyum.

"Tidak masalah."

"Omong-omong, kau mau berkunjung ke kerajaan Sunda? Kita bisa ke sana besok, aku juga ingin meminta maaf secara pribadi kepada keluarga mu atas tragedi perang Bubat." Ujar Raja Hayam Wuruk sedikit meringis mengingat medan perang saat itu.

Dyah Pitaloka menyadari perubahan ekspresi Raja Hayam Wuruk, "apa boleh?" Tanya Dyah Pitaloka dengan ragu.

"Tentu saja, kenapa tidak boleh mengunjungi tempat kelahiran mu?" Jawab Raja Hayam Wuruk.

Seorang pelayan menghampiri mereka dan mengatakan bahwa Ratu Tribhuwana ingin bertemu dengan Dyah Pitaloka.

Sesampainya di ruangan yang megah, ia melihat Ratu Tribhuwana duduk dengan anggun di singgasananya. Aura kebijaksanaan dan kekuasaan terpancar dari sang ratu, namun di matanya terdapat kelembutan dan rasa penasaran saat melihat Dyah Pitaloka mendekat.

Dyah Pitaloka membungkuk hormat, kemudian Ratu Tribhuwana menyuruhnya duduk di kursi di depannya.

"Putri Dyah Pitaloka," kata Ratu Tribhuwana dengan suara yang lembut namun penuh wibawa.

"Bagaimana keadaan mu?" Lanjut Ratu Tribhuwana.

"Saya rasa sudah lebih baik, terimakasih atas perhatian anda." Jawab Dyah Pitaloka dengan gugup.

"Syukurlah, aku sangat bersedih mendengar tragedi yang menimpa keluargamu dan kerajaanku. Aku turut berduka atas kehilangan yang kau alami."

Dyah Pitaloka, dengan mata yang berkaca-kaca, menjawab, "Terima kasih, Yang Mulia. Kehilangan yang kami alami sangat besar, dan hati kami sangat berduka. Namun, aku hadir di sini dengan harapan untuk memperbaiki hubungan antara Sunda dan Majapahit, agar kita bisa hidup dalam damai."

Ratu Tribhuwana mengangguk perlahan. "Kebijaksanaan dan keberanianmu sangat mengagumkan, Dyah. Kita semua harus belajar dari tragedi ini dan memastikan bahwa perdamaian dan kesejahteraan rakyat adalah yang utama. Aku berjanji akan mendukung setiap usaha untuk memperbaiki hubungan antara dua kerajaan kita."

Mata Dyah Pitaloka berbinar mendengar dukungan dari Ratu Tribhuwana. Ia merasa lega dan penuh harapan. "Aku berterima kasih atas dukunganmu, Yang Mulia. Aku yakin dengan kerja sama kita, kita bisa menghindari konflik lebih lanjut dan membangun masa depan yang lebih baik untuk kedua kerajaan."

Ratu Tribhuwana tersenyum lembut. "Kita akan mulai dari sini, Dyah. Bersama-sama, kita akan memastikan bahwa masa depan kita penuh dengan kedamaian dan kemakmuran. Kau memiliki tempat yang istimewa di sini, dan kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk mendukungmu."

Pertemuan tersebut memberikan semangat baru bagi Dyah Pitaloka. Ia merasa didukung oleh kekuatan dan kebijaksanaan Ratu Tribhuwana, dan yakin bahwa bersama-sama, mereka dapat mengubah masa depan Nusantara menjadi lebih baik dan damai.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang