Bab XVIII

39 6 0
                                    

Di tengah ketegangan dan kewaspadaan tinggi, serangan mendadak yang kedua datang tanpa peringatan. Kali ini, para penyerang berhasil memanfaatkan momen kelengahan singkat dari rombongan Majapahit. Dengan gerakan cepat dan terkoordinasi, mereka menyerbu ke arah Raja Hayam Wuruk.

Suasana berubah kacau saat para prajurit Majapahit berusaha melindungi raja mereka. Di tengah kekacauan itu, seorang penyerang berhasil menyelinap melalui pertahanan dan dengan satu gerakan cepat, menusukkan belatinya ke perut Raja Hayam Wuruk.

Raja Hayam Wuruk terhuyung ke belakang, merasakan sakit yang luar biasa. Patih Gajah Mada segera menghampirinya, matanya terbelalak melihat darah yang mengalir dari luka di perut raja.

"Paduka!" seru Patih Gajah Mada, mencoba menahan raja agar tidak jatuh.

Para penyerang, setelah berhasil melukai Maharaja Majapahit, segera melarikan diri ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan rombongan yang kini dalam keadaan panik dan tak berdaya. Para prajurit yang tersisa segera membentuk lingkaran perlindungan di sekitar raja, sementara beberapa di antara mereka berusaha mengejar para penyerang, namun dengan cepat kehilangan jejak.

Patih Gajah Mada bergegas memberikan perintah. "Segera berikan pertolongan pertama! Kita harus membawa Paduka ke tempat yang aman dan mencari bantuan medis secepat mungkin."

Salah satu prajurit datang dengan perban dan mencoba menekan luka di perut Raja Hayam Wuruk untuk menghentikan pendarahan. Wajah Raja Hayam Wuruk pucat, tetapi ia tetap mencoba untuk tegar di tengah situasi genting ini.

"Kita harus segera bergerak," kata Patih Gajah Mada dengan suara tegas namun penuh kekhawatiran. "Tidak ada waktu untuk disia-siakan. Bawa raja ke Majapahit secepat mungkin!"

Dengan cepat, rombongan Majapahit mulai bergerak kembali, kali ini dengan Raja Hayam Wuruk yang dibaringkan di atas tandu darurat. Para prajurit menjaga ketat di sekeliling tandu, mata mereka waspada terhadap setiap kemungkinan serangan lain yang mungkin terjadi.

Di tengah perjalanan yang penuh ketegangan, Raja Hayam Wuruk berusaha berbicara meskipun suaranya lemah. "Gajah Mada, kita tidak boleh membiarkan ini menghentikan upaya kita untuk perdamaian. Kita harus... harus menemukan siapa yang bertanggung jawab... dan mencegah perang."

Patih Gajah Mada mengangguk, wajahnya penuh tekad. "Aku bersumpah, Paduka. Kita akan menemukan mereka dan memastikan bahwa perdamaian tetap tercapai."

Rombongan Majapahit melanjutkan perjalanan mereka dengan kecepatan dan kehati-hatian yang lebih besar, membawa Raja Hayam Wuruk yang terluka menuju keselamatan di Majapahit. Sementara itu, di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa tantangan terbesar masih menunggu di depan, dan bahwa musuh yang bersembunyi dalam bayang-bayang akan terus mencoba menghancurkan harapan mereka untuk perdamaian.

---

Dyah Pitaloka sedang duduk di taman istana Sunda, menikmati sejenak ketenangan yang langka, ketika Adipati Raden Wiratama datang dengan wajah penuh kecemasan. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang buruk terjadi bahkan sebelum Adipati Raden Wiratama berbicara.

"Tuan Putri Dyah Pitaloka," kata Adipati Raden Wiratama dengan suara tegang, "aku baru saja menerima kabar buruk. Rombongan Raja Hayam Wuruk diserang tiba-tiba dalam perjalanan mereka kembali ke Majapahit. Raja Hayam Wuruk terluka parah."

Dyah Pitaloka merasa dunianya berguncang. Ia segera berdiri, matanya terbelalak. "Apa? Bagaimana ini bisa terjadi? Di mana mereka sekarang?"

"Menurut laporan yang aku terima, mereka sedang berusaha kembali ke Majapahit secepat mungkin. Luka Raja Hayam Wuruk cukup serius," jawab Adipati Raden Wiratama dengan nada penuh kekhawatiran.

Dyah Pitaloka merasa campuran ketakutan dan kemarahan menguasai dirinya. "Aku harus pergi ke sana. Aku tidak bisa diam di sini sementara Raja Hayam Wuruk dalam bahaya. Dia membutuhkan bantuan kita."

Adipati Raden Wiratama mengangguk. "Aku akan mempersiapkan pasukan dan kuda untuk kita berangkat secepatnya. Kita harus memastikan keselamatan Raja Hayam Wuruk dan membantu mereka kembali ke Majapahit."

Tidak lama kemudian, Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama beserta pasukan mereka memulai perjalanan menuju tempat di mana mereka menduga rombongan Raja Hayam Wuruk berada. Mereka bergerak dengan kecepatan dan kewaspadaan tinggi, mengetahui bahwa situasi di luar sana berbahaya.

Sepanjang perjalanan, Dyah Pitaloka tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. "Aku tidak mengerti siapa yang bisa melakukan ini. Siapa yang bisa begitu nekat menyerang rombongan raja?"

Adipati Raden Wiratama menggelengkan kepala. "Aku juga tidak tahu, tetapi kita harus waspada terhadap kemungkinan apapun. Ada banyak pihak yang mungkin tidak ingin melihat perdamaian antara Majapahit dan Sunda."

Setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan, mereka akhirnya menemukan rombongan Raja Hayam Wuruk. Para prajurit Majapahit tampak lelah dan waspada, namun mereka segera mengenali Dyah Pitaloka dan Adipati Raden Wiratama.

Patih Gajah Mada keluar untuk menemui mereka. Wajahnya menunjukkan kelegaan bercampur kelelahan. "Putri Dyah Pitaloka, Adipati Raden Wiratama, syukurlah kalian datang. Kami berhasil bertahan, tetapi Paduka Raja terluka parah. Kami sedang berusaha secepat mungkin membawanya kembali ke Majapahit."

Dyah Pitaloka segera mendekati tandu di mana Raja Hayam Wuruk berbaring. Wajahnya pucat, namun ia mencoba tersenyum ketika melihat Dyah Pitaloka. "Dyah... kau di sini."

"Aku di sini, Baginda," jawab Dyah Pitaloka dengan suara penuh emosi. "Aku tidak akan membiarkanmu sendiri. Kita akan memastikan kau selamat sampai ke Majapahit."

Dengan tambahan bantuan dari Dyah Pitaloka dan pasukannya, rombongan segera melanjutkan perjalanan mereka dengan lebih cepat dan teratur. Dyah Pitaloka tidak pernah meninggalkan sisi Raja Hayam Wuruk, memastikan bahwa ia mendapatkan perawatan terbaik yang bisa diberikan dalam situasi tersebut.

Perjalanan kembali ke Majapahit menjadi ujian kekuatan dan ketahanan bagi semua yang terlibat, tetapi mereka bertekad untuk tidak menyerah. Dyah Pitaloka tahu bahwa masa depan perdamaian antara Majapahit dan Sunda bergantung pada keselamatan Raja Hayam Wuruk, dan ia bertekad untuk melakukan segala yang mungkin untuk memastikan itu terjadi.

Dyah Pitaloka menggenggam tangan Raja Hayam Wuruk, "Baginda, jangan tutup matamu, aku tidak mau jadi janda sebelum menikah!" Ujar Dyah Pitaloka saat melihat Raja Hayam Wuruk menutup matanya sesaat.

Raja Hayam Wuruk kembali membuka matanya dan tersenyum ketika merasakan kehangatan dari genggaman Dyah Pitaloka. "Aku tidak akan mati, sebelum perdamaian antara kerajaan kita terjalin, Dyah." Jawab Raja Hayam Wuruk dengan suara yang serak.

Jejak Waktu: Dari Perang Bubat ke Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang