“Gue sama Kalil dulu tinggal di panti asuhan yang sama, Nad. Dia masuk panti kalau nggak salah waktu umur 6 atau 7 gitu soalnya gue waktu itu umur 8 tahun.” Lula bercerita. Pandangannya terlihat menerawang, seperti kembali ke masa kanak-kanaknya.
Nada yang baru tahu jika ternyata Kalil pernah tinggal di panti asuhan pun tertegun. Sungguh, dia tidak tahu apapun soal ini.
“Gue denger dari ibu—ibu panti, kalau nemuin Kalil di pasar Bandung. Nah—”
“Pasar Bandung? Maksudnya, ibu panti lo nemuin Kalil di Bandung?” Nada semakin terkejut. Jadi maksudnya …
Lula mengangguk pelan. “Iya. Jadi waktu itu, ibu panti gue ada urusan di Bandung. Ke rumah saudaranya yang ada acara gitu, terus beliau pergi ke pasar karena ada barang yang lupa dibeli. Eh pas belanja, dia ketemu Kalil sendirian kayak nungguin seseorang. Terus waktu disamperin dan ditanya ibu, Kalil bilang kalau dia nungguin mamanya. Dan dia udah nunggu di sana selama dua jam. Tapi mamanya nggak balik-balik.”
Nada semakin tertegun. “Nggak lapor polisi?”
Lula menggeleng. “Mungkin ini terkesan menggantung, tapi gue nggak bisa cerita lebih dari itu deh, Nad. Sorry.”
Meskipun masih tidak mengerti, akhirnya Nada mengangguk juga. Mungkin Lula juga merasa tidak nyaman menceritakan kisah masa lalu Kalil yang bisa jadi terlalu bersifat privasi.
“Oke, back to topic ya. Setelah dua tahun, Kalil akhirnya diadopsi. Kalil yang jarang senyum, merasa bahagia sekali sewaktu ada orang tua yang mau bawa dia. Tapi dia juga sedih, karena harus ninggalin gue sendirian. Karena memang sejak datang ke panti, gue yang selalu nemenin dan ngajak dia bicara,” ujar Lula, melanjutkan ceritanya.
“Nah beberapa waktu berlalu, sekitar 6 bulan kemudian kalau gue gak salah ingat ya. Kalil kembali ke panti. Gue kaget dong. Kaget banget. Kenapa dia balik ke panti. Mukanya jadi lebih murung daripada saat pertama kali dia datang. Terus gue tanya ke Kalil, kenapa dia balik lagi. Tapi dia nggak jawab dan ibu yang cerita ke gue kalau katanya, orangtua yang mengadopsi Kalil waktu itu mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Dan keluarga mereka tidak mau mengurus Kalil dan memilih untuk mengembalikan Kalil ke panti.
“Di situ, gue kembali berusaha untuk Kalil. Ngajak dia bicara lagi, meskipun lebih susah dari sebelumnya. Kalil semakin jarang ketawa dari awalnya yang udah jarang. Pokoknya dia tuh … beneran kayak robot waktu itu. Terus setelah setahun, kembali ada orang yang mau mengadopsi. Kalil udah nggak berharap apa-apa lagi katanya waktu gue tanya. Bahkan dia bilang, kalau dia berharap gue aja yang diadopsi. Tapi, harapan memang nggak selalu sesuai kenyataan kan?
“Kalil kembali diadopsi. Dia kan emang anaknya pintar meskipun jarang ngomong. Kata ibu, itu lah yang membuat Kalil akhirnya dipilih. Awalnya Kalil menolak, dia nggak mau dan nangis. Tetapi perempuan yang mengadopsi Kalil terus bujuk Kalil bahkan sampai bolak-balik ke panti lebih dari tiga kali cuma untuk Kalil supaya mau diadopsi.”
“Dan perempuan itu … ibunya Kalil yang sekarang?”
Lula mengangguk. “Benar. Setelah diadopsi terakhir itu, Kalil nggak pernah lagi kembali ke panti. Karena saat itu jarak antara rumah Kalil dan panti jauh banget. Tapi Kalil bilang, setelah kita ketemu di SMA yang sama, dia bersyukur karena akhirnya dia bisa ketemu gue lagi. Awalnya dia memang ingin pergi ke panti setelah sekian lama karena katanya dia sudah pindah rumah dan jaraknya tidak terlalu jauh dengan panti. Begitu.”
“Ah …” Nada mencoba meresapi apa yang diceritakan Lula. Ia tidak tahu jika Kalil pernah mengalami hal itu. Bisa dianggap jika waktu kecil Kalil di buang orangtua kandungnya. Lalu setelah dibuang, dia ditinggalkan. Menyedihkan sekali. Nada jadi merasa bersalah karena dirinya yang terkadang marah sebab sikap dan sifat Kalil yang lempeng-lempeng begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADA-NADA ASMARA || END√
Novela JuvenilNada pikir, ia sudah tahu segalanya tentang Kalil. Nada pikir, ia paham bagaimana seluk-beluk lelaki itu setelah mereka menjalani hubungan selama satu tahun. Namun ternyata, Nada salah. Ia tak pernah tahu apapun tentang Kalil. Bahkan ketika hubungan...