Malam itu, Nada dan Kalil duduk di halaman belakang. Tempat saat Nada deep talk, berbicara dari hati ke hati dengan Papa yang akhirnya membuat hubungan mereka menjadi lebih baik.
Keduanya tak langsung membuka mulut. Ada hening yang mereka nikmati selama beberapa menit, sebelum akhirnya ...
"Gue—"
"Lo—"
Mereka berdua bicara secara bersamaan. Membentuk senyum di bibir Kalil dan Nada.
"Oke, gue duluan ya."
Kalil mempersilakan.
"Gue beneran nggak tahu kalau ternyata masalah Lula sama Mas Jaya ternyata se-kompleks itu," mulainya. Nada sungguh amat sangat bersalah karena tidak tahu apapun tentang hubungan mereka. Kalau saja ia tahu sedikit tentang bagaimana hubungan Lula dan Jaya, pasti Nada akan mencoba membantu meskipun itu terkesan ikut campur. "Dan gue ..." Nada yang semula menghadap ke depan, beralih menatap Kalil, "beneran nggak tahu kalau ternyata lo sama Lula punya hubungan yang 'seperti itu'." Nada membentuk jarinya seperti tanda kutip.
Kalil yang mendengar penekanan pada akhir kalimat si gadis tertegun sebentar.
"Iya, Lula cerita secara singkat, padat dan jelas tentang hubungan kalian. Gak apa-apa kan gue tahu sedikit?" pancing Nada ketika ia melihat wajah tertegun Kalil. "Atau lo marah?"
Kalil menghela napas. Dia memang terkejut karena mungkin tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepalanya bisa terjadi. Namun, melihat sikap Nada sekarang rasanya Kalil tidak perlu merasa khawatir tentang kemungkinan-kemungkinan itu akan terjadi.
"Nggak." Kalil menjawab. "Gue bersyukur kalau akhirnya lo tahu. Meskipun gue agak sedikit ..." Kalil menelengkan kepalanya, mendesis. "Gimana ya? Lo nggak keberatan emangnya? Sama gue yang ternyata bukan anak kandung ibun dan ayah?"
Kedua alis Nada menyatu mendengar pertanyaan tak masuk akal itu. "Memangnya kenapa gue harus keberatan?"
Untuk beberapa saat, Kalil tak menunjukkan ekspresi khusus. Tapi tak lama, ia tersenyum. "Berarti ketakutan gue nggak akan terjadi. Makasih ya."
Nada semakin dibuat tak mengerti.
"Ketakutan apa?"
Kalil memilih menggeleng, tak berniat menjelaskan. Namun tentu saja Nada tak membiarkan lelaki itu lolos begitu saja. Karena tak mendengarnya dari Lula, dia harus mendengarnya sendiri dari Kalil. Yah, meskipun jika Kalil merasa tak nyaman maka ia harus berhenti.
"Selama punya hubungan sama lo, gue itu selalu berpikir kalau gue tahu apapun tentang lo. Tentang Kaliandra Ilham Maulana. Apa hobi lo, makanan favorit, gimana ekspresi lo kalau kesel, pokoknya apapun. Tapi ternyata, lebih dari itu, gue beneran nggak tahu apapun. Gue merasa ... naif. Yah, gue tahu, kita memang baru setahun kenal. Dan selama itu juga kita pacaran. Masih baru banget dan kalau dipikir, agak mustahil juga ya kalau gue tahu apapun tentang lo di rentang waktu yang pendek itu." Nada tersenyum, sesekali melirik ke arah Kalil. "Maaf ya, Lil. Selama kita pacaran, gue selalu egois. Selalu menuntut lo ini itu. Selalu marah nggak jelas. Dan mungkin, lo bener. Itu bikin lo capek. Sama gue, sama energi yang gue punya."
Ekspresi Kalil menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Nada tidaklah benar. Karena memang begitu kenyataannya. Tanpa Nada tahu, sedikitpun Kalil tidak pernah berpikiran seperti itu. Mungkin dia memang sedikit lelah karena kadang sikap Nada yang menurutnya berlebihan, tapi itu masih dalam batas wajar. Ciri khas Nada dan memang begitulah seorang Nada Aruna. Dan tanpa sadar, itulah yang membuat Kalil tertarik lagi dan lagi kepada gadis ini.
Hanya saja, Kalil lebih memilih untuk menyimpan itu sendiri. Bukan dia sekali jika harus mengatakan hal itu pada Nada.
"Nggak gitu. Gue sebenarnya nggak ada masalah sama hubungan kita," jelas Kalil. "Gue cuma ... mau hubungan kita berakhir aja. Masalahnya bukan di lo, tapi di gue. Dengan alasan—"
KAMU SEDANG MEMBACA
NADA-NADA ASMARA || END√
Teen FictionNada pikir, ia sudah tahu segalanya tentang Kalil. Nada pikir, ia paham bagaimana seluk-beluk lelaki itu setelah mereka menjalani hubungan selama satu tahun. Namun ternyata, Nada salah. Ia tak pernah tahu apapun tentang Kalil. Bahkan ketika hubungan...