NADA-NADA ASMARA - 13

15 4 0
                                    

“Lo beneran oke? Kalau lagi sakit, mending lo istirahat aja deh, Nad, daripada gini. Jangan dipaksa dong.” Nara sudah duduk di kursi kemudi, namun ia tak langsung mengemudikan mobilnya ketika ia melihat sang adik yang wajahnya sudah tampak pucat sekali. Bahkan bibir yang sudah dipoles dengan liptint, masih tidak menutup bahwa Nada saat ini tengah kesakitan.

“Gue gak apa-apa. Hari pertama haid emang begini kan, lo tahu sendiri.” Nada memejamkan mata. “Tadi gue udah minum pereda nyeri kok. Jadi harusnya bentar lagi baikan.”

“Bener?”

Nada hanya mengangguk. Dan Nara menatap adiknya itu dengan iba. Tak tega. Sampai kedua mata Nada kembali terbuka—sebab gadis itu sadar jika Nara terus melihatnya—Nara masih menatapnya tak yakin. “Lo nggak mau jalan? Ini udah siang, Ra.”

Nara menghela napas, pasrah. “Kalau ada apa-apa di sekolah langsung ke UKS dan hubungin gue ya.”

“Iya iya bawel.”

Setelahnya mereka menempuh perjalan selama kurang lebih dua puluh menit ke sekolah. Nara yang mengemudi, sesekali menoleh ke arah Nada yang sudah tak meringis lagi meskipun wajahnya masih terlihat pucat. 

“Hai, Ra.” Nara menoleh ke arah sebelah tempat mobilnya terparkir ketika Romeo menghampirinya. 

“Hai.” Nara tersenyum.

Lalu ia menoleh ke arah Nada yang juga keluar dari mobil, melirik Nara sekilas sebelum kembali menatap Nada dan bertanya, “Lo sakit, Nad? Pucet banget lho.”

Nada tersenyum tipis dan menggeleng. “Gue oke kok. Ya udah gue duluan ya, Kak,” ujarnya pada Romeo.

“Inget kata gue tadi, Nad.” 

Nada mengangguki ucapan Nara sebelum ia benar-benar meninggalkannya dengan Romeo. Karena arah kelas mereka pun berbeda, jadi mereka tidak mungkin berjalan bersama.

Sebelum pergi ke kelas, Nada pergi ke toilet lebih dulu. Entah kenapa saat ini kepalanya juga terasa pusing dan badannya terasa remuk sekali. Padahal ia tadi sudah minum pereda nyeri, tapi kenapa itu tidak memberikan efek apapun?

Nada masuk ke bilik toilet, menghela napas berkali-kali sambil menahan nyeri. Ini tidak seperti sakitnya yang biasa. Cukup lama ia berdiam diri di toilet, sekitar sepuluh menit sebelum bel masuk barulah Nada keluar dari sana.

Namun, “Aduh …” Kalau saja lengan Nada tidak ditahan oleh seseorang, maka sudah pasti ia sudah berakhir di lantai sekarang. “Sorry sorry. Gue nggak ngeliat,” kata gadis itu.

“Lo sakit, Nad?” Saat mendengar suara yang tak asing itu, Nada mendongak. Ia tertegun ketika melihat siapa yang kini menahan lengannya. Itu Kalil, dan dengan cepat Nada menarik tangannya. “Lo keliatan nggak sehat banget.” Sedangkan yang bicara sejak tadi adalah Harjuna. 

“Sakit perut biasa,” kata Nada. 

“Udah minum obat?” Kalil yang bertanya. Hingga membuat Harjuna sedikit melongo karena pertanyaan itu. Wajah Kalil pun terlihat ... khawatir?

Dan Nada menjawab hanya dengan anggukan pelan.

“Nggak ke UKS aja, Nad? Lo pucat banget lho.” Harjuna berkata lagi. “Atau mau gue antar?”

Nada menggeleng. “Nggak usah, gue baik-baik aja. Ya udah, gue mau ke kelas dulu ya.”

“O … ke …” Harjuna yang menyadari tak ada hak untuk memaksa hanya membiarkan Nada pergi begitu saja. Ia melirik Kalil di sebelahnya. “Kalau khawatir tuh kejar, samperin, beliin obat lagi atau apa. Bukannya cuma diem doang begini.”

“Dia bilang udah minum obat. Jadi … ya udah,” kata Kalil. Mereka kembali berjalan setelah memastikan Nada tak terlihat lagi.

“Lo beneran khawatir, Lil?” Harjuna tak menyangka jika Kalil menyahuti perkataannya barusan. Ia kira, Kalil tak ingin membahas apapun lagi tentang Nada—atau bahkan sampai mengkhawatirkan gadis itu. 

NADA-NADA ASMARA || END√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang