“Gue udah maafin lo, Jaya. Tapi buat kasih kesempatan … gue nggak bisa. Sebelum ini gue udah tiga kali kasih kesempatan buat lo supaya lo bisa berpikir dan berubah. Dan akhirnya tetap sama. Lo nggak berubah. Lo tetep nyakitin gue dengan … kata-kata lo yang seenaknya dan—”
“Haaaah sial.”
Lula berjengit saat tiba-tiba Jaya berteriak frustasi. Ucapannya terpotong begitu saja.
Sedangkan Kalil, ia masih diam. Selama Jaya tidak berbuat hal aneh, dia tidak akan berbuat apapun.
“Kenapa sih? Apa karena Kalil? Apa karena dia lo jadi kayak gini, hah? Lo tuh jal—”
Dan yaah … Kalil tidak akan membiarkan Jaya mengucapkan hal buruk itu untuk Lula. Dia mendaratkan pukulannya pada sudut bibir Jaya hingga membuat lelaki itu tersungkur. Jaya pasti terkejut karena tindakan Kalil yang tiba-tiba ini karena Lula pun sampai berteriak.
“Jaga mulut lo, Brengsek. Lo nggak berhak ngomong kayak gitu ke Lula.” Perkataan Kalil cukup dingin dan menusuk. Ada kilat marah yang bisa Jaya tangkap di sana. Namun bukan Jaya namanya jika ia akan takut dengan hal itu. Lelaki itu berdiri seraya meringis menahan perih karena bekas pukulan Kalil barusan membuat sudut bibirnya berdarah.
Kalil sudah akan mendaratkan pukulannya lagi, namun tangan Lula menahannya. “Udah, Lil."
Jaya yang melihat itu mendecih. “Dan lo berpikir setelah lo pacaran sama Kalil, itu bikin gue berhenti?” Jaya tertawa, meremehkan. Ia menunjuk Lula yang berdiri di sebelah Kalil. “Gue nggak akan berhenti sebelum gue dapetin apa yang gue mau. Dan yang gue mau itu cuma lo. Lo tau itu kan, La? Dari dulu sampai sekarang, yang gue mau itu cuma lo. Bukan yang lain. Jadi percuma, mau lo pacaran sama Kalil atau siapa, gue gak akan berhenti.”
Jaya menatap Kalil tak kalah tajam dari lelaki itu menatapnya. “Gue akan menganggap luka ini sebagai hutang.” Ia menunjuk sudut bibirnya yang terluka. “Dan kalau lo nggak bisa lunasin hutang lo ini … jangan salahin gue, kalau terjadi sesuatu sama mantan lo. Paham?” Dan ya, ini adalah alasan kenapa Jaya tidak langsung membalas pukulan Kalil tadi. Ia akan memanfaatkan pukulan ini untuk mengancam bocah itu.
Mendengar itu, Lula bisa merasakan tubuh Kalil menegang. Tetapi Kalil hanya diam, membiarkan Jaya pergi meskipun Kalil sangat ingin membunuhnya sekarang juga.
•••
Kalil tak bisa berpikir tentang apapun. Pikirannya kacau dan perasaannya tak tenang. Ia mulai ragu tentang keputusan yang ia buat untuk menolong Lula ini benar atau salah.
Oke baiklah. Bukan maksud Kalil ia menyesal telah membantu Lula sejauh ini. Namun kalau sudah begini, tentang ancaman Jaya tadi, bukankah semuanya menjadi percuma jika lelaki itu tetap menyakiti Nada? Padahal niat awal memutus hubungannya dengan Nada adalah agar Jaya tidak membawa gadis itu ke dalam masalah ini.
“Lil …” Lula sejak tadi mondar-mandir di hadapannya. Bukan hanya Kalil yang was-was, tetapi Lula juga. Raut wajahnya sangat sarat akan kekhawatiran dan rasa bersalah. Lula menunduk, untuk menemukan Kalil yang duduk dengan helaan napas yang terdengar berkali-kali sejak tadi.
Kalil masih menunduk, menunggu Lula melanjutkan ucapannya.
“Lo beneran harus bicara sama Nada soal ini,” ujarnya. “Gue takut ancaman Jaya tadi bener-bener dia lakuin.”
Kalil masih termenung. Entah apa yang harus ia lakukan.
“Jaya itu orangnya nekat. Dia bakal ngelakuin apapun selama apa yang dia mau bisa terwujud. Kayaknya lo harus berhenti di sini buat bantu gue. Bantuan lo udah cukup, Lil. Lo har—”
“Nggak apa-apa. Dia gak akan berani macam-macam sama Nada.” Meskipun Kalil sendir tak yakin dengan apa yang ia bicarakan. Namun untuk kali ini, ia akan mencoba percaya hal itu. “Mereka dekat, dan gue ragu kalau Jaya berani nyakitin Nada gara-gara ini.”
“Lo ngg—”
Kalil berdiri, menepuk lengan Lula dua kali seraya tersenyum tipis. “Tenang aja. Biar gue yang selesaikan ini.”
Lula masih tidak yakin. Namun ucapan lelaki di depannya seperti tidak bisa ia bantah lagi.
“Gue pulang ya.” Kalil lalu masuk ke panti untuk berpamitan kepada Ibu panti. Tak sampai lima menit kemudian, lelaki itu kembali. Mengenakan tasnya dan berdiri mengahadap Lula lagi.
“Kalau ada sesuatu, lo harus tetap kabarin gue. Gue tetap akan bantuin lo. Masalah Nada, bisa gue pikirin nanti. Lo jangan ikut kepikiran, oke?”
Mau tak mau, Lula hanya bisa mengangguk.
“Ya udah gue balik.” Lula membiarkan Kalil yang berlalu dari hadapannya. Ia masih berdiri di tempat, tatapannya masih lurus ke arah Kalil sampai lelaki itu tak terlihat lagi.
Sedangkan Kalil, bohong kalau ia tidak khawatir. Bahkan pikirannya masih berkelana tak tentu arah saat ini. Dia benar-benar bingung. Haruskah ia menceritakan kepada Nada soal ini? Tetapi bukankah hubungan mereka sudah terlalu rusak untuk ia meminta pengertian gadis itu?
Sampai ketika Kalil tersadar, bahwa kini motor yang ia kendarai berhenti di perumahan yang sangat dikenalinya. Lelaki itu berhenti di depan rumah Nada. Tak jauh dari tempatnya berhenti, ia melihat Nara keluar dari mobil bersama Romeo. Mereka sempat berbicara sejenak, sampai akhirnya Romeo kembali ke mobilnya dan pergi.
Detik itu juga, Kalil juga ingin pergi. Namun sayangnya, matanya tak sengaja beradu pandang dengan Nara. Gadis itu terlihat terkejut saat melihat Kalil yang ada di sana.
Dengan segera Kalil kembali menghidupkan motornya dan berlalu dari sana sebelum Nara memanggil. Ia tidak boleh berada di sini. Sialan sekali karena pikirannya terus tertuju pada Nada, itu malah membawanya ke tempat ini.
Nara sendiri, ketika sosok yang ia curigai berlalu begitu saja setelah mereka beradu tatap sejenak merasa bingung. Kenapa Kalil pergi begitu saja? Dan kenapa lelaki itu ada di sini? Mau bertemu Nada? Tapi kenapa cuma mematung dari jarak jauh dan pergi begitu cepat saat mereka sempat bertatapan?
“Ra?” Lamunan Nara buyar ketika Nada menyentuh pundaknya. Gadis itu melihat kanan dan kirinya seperti mencari seseorang. “Romeo mana?”
“Udah pulang, baru aja,” kata Nara. “Lo kenapa di luar?”
“Nyamperin lo lah. Kenapa lo bengong di sini bukannya langsung masuk?” Nada menjawab jujur. Awalnya, ia hendak menutup gerbang karena teringat tadi ketika pulang ia tak sempat menutupnya. Tetapi ketika keluar, ternyata Nara sudah pulang tetapi masih mematung di pinggir jalan.
“Nggak apa-apa,” ujar Nara. Ia masih ragu untuk membicarakan soal Kalil pada Nada setelah kejadian kemarin.
“Ya udah ayo masuk. Gue baru pesen makanan, bentar lagi nyampe. Lo mandi dulu sana.” Nada berjalan di depan mendahuluinya. Sedangkan Nara berjalan sambil sesekali menoleh ke belakang, dengan pikiran siapa tahu Kalil masih ada di sana?
Nara sungguh penasaran tentang kehadiran Kalil yang tiba-tiba ini.
“Emm Nad …”
“Apaan?” tanya Nada sambil menutup pintu ketika mereka sudah berada di dalam rumah.
“Lo … Kalil …” Suara Nara terdengar tak yakin.
“Kenapa Kalil?”
“Lo beneran—”
“Iya udah beneran gak ada hubungan apa-apa sama dia. Kenapa? Lo sendiri denger kan tentang penegasan dia kemarin?”
Nara menggaruk belakang telinganya yang tak gatal. Sungguh ia ingin bertanya tetapi ia takut salah dan membuat Nada bingung. “Iya sih.”
“Terus kenapa? Lo kenapa gagu gitu sih? Ada masalah emang?” tanya Nada. Meskipun nadanya terdengar tak tertarik, tetapi Nara tahu jika Nada merasa ada yang tidak beres dengan pertanyaannya.
“Nggak.” Nara menjawab singkat. “Yaudah gue ke atas dulu. Mau mandi.”
Nada menoleh, membiarkan Nara naik ke lantai dua meskipun wajahnya terlihat tidak puas karena Nara tak menjawab pertanyaannya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
NADA-NADA ASMARA || END√
Teen FictionNada pikir, ia sudah tahu segalanya tentang Kalil. Nada pikir, ia paham bagaimana seluk-beluk lelaki itu setelah mereka menjalani hubungan selama satu tahun. Namun ternyata, Nada salah. Ia tak pernah tahu apapun tentang Kalil. Bahkan ketika hubungan...