Ketika sambungan panggilan dengan Lula berakhir, Nada meletakkan ponsel di sebelahnya. Saat ini ia sedang duduk sendirian di taman belakang, menikmati suasana malam dan semilir angin yang membuat anak rambutnya berterbangan.
Banyak sekali yang ia pikirkan malam ini. Tentang hubungannya dengan Kalil. Tentang hubungan Jaya dan Lula yang ia harapkan akan segera berakhir secepatnya. Lalu tentang … papa. Padahal saat terakhir mereka makan malam bersama, papanya itu masih terlihat sama. Papa yang enggan bicara lebih banyak bahkan terlihat tidak peduli pada kedua anaknya. Namun saat tadi mereka bertemu di restoran, Nada seolah melihat papanya yang dulu.
Papa yang penuh perhatian dan khawatir karena takut anaknya sakit.
“Nada?”
Nada terperanjat dan refleks menurunkan kedua kakinya yang sejak tadi ia peluk. Papa menghampirinya. Masih dengan setelan kerja yang sama saat tadi mereka bertemu.
“Eh? Pa?” Nada tersenyum tipis. Menggeser tubuhnya, menyisakan ruang untuk Papa agar pria itu bisa duduk di sisinya.
“Papa tadi mau langsung ke kamar.” Lihat, bahkan papanya itu mulai bisa berbasa-basi. Padahal sudah tujuh tahun berlalu, kebiasannya yang ini nyaris tak pernah Nada lihat lagi. “Tapi Papa lihat kamu duduk sendiri di sini, Papa jadi pengen samperin,” lanjutnya.
Nada hanya tersenyum dan mengangguk. Jujur, ia masih merasa canggung berada di dekat papa. Masih ada perasaan berat hati yang disimpannya.
“Nara di kamarnya?” Papa berbicara lagi sebab Nada tak menyahuti ucapannya.
Lagi-lagi Nada mengangguk. “Jam segini itu masih jamnya Nara belajar, Pa.”
Papa mengangguk-angguk. “Papa … sudah lama sekali ya tidak menghabiskan waktu bersama kalian.” Terdengar helaan napas panjang dari pria itu. Nada menoleh sekilas ke arah papa, untuk menemukan wajah lelah dan … kesedihan?
“Papa terlalu sibuk bekerja,” lanjutnya. “Atau mungkin … Papa sedang melarikan diri. Hanya saja Papa malu untuk mengakui itu.”
Tubuh Nada menegang saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan papa. Melarikan diri?
“Nada …” Nada menoleh, ia melihat sang papa yang kini juga menatapnya tepat di manik mata. “Maafkan Papa ya.”
Papa kembali menatap ke depan. Ke arah langit, yang di mana salah satu bintang bersinar paling terang di atas sana.
“Papa … terlalu banyak salah kepada anak-anak Papa. Terutama kamu.”
Tidak. Nada tahu, bahwa sebenarnya yang salah di sini adalah dia sendiri. Dia lah yang menyebabkan keluarga mereka berada di situasi ini. Kehilangan mama, adalah kesalahannya. Jadi papa tidak perlu meminta maaf untuk itu karena memang pria itu tidak salah apapun.
Kejadian tujuh tahun adalah murni salahnya. Jadi, ketika ada seseorang yang patut disalahkan dan harus meminta maaf adalah dirinya.
“Pa …” Kedua mata Nada memanas. Hatinya terasa mencelus. Ia sedih sekali. Bagaimana papa bisa meminta maaf, padahal penyebab pria itu kehilangan orang yang dicintainya adalah dirinya—seseorang yang paling bersalah. “Papa … aku …” Nada tak sanggup menyelesaikan ucapannya. Dan Papa yang meyadari jika anaknya kesulitan bicara itu menoleh. Ia tertegun, ketika melihat air mata sang anak sudah mengalir deras di pipinya.
Jadi tanpa banyak bicara, Papa mengusap kepala Nada dan merangkul pundak anak bungsunya itu. Diusapnya penuh sayang dan perhatian. Dan Nada sungguh … merindukan sentuhan hangat ini.
“Apa yang terjadi … itu bukan salah kamu, Nada.” Papa pun tahu, jika selama ini Nada terus menyalahkan dirinya sendiri. Karena jangankan Nada, Papa pun tidak mau bersikap munafik jika dulu dia pun pernah berpikiran kalau penyebab kematian sang istri adalah anaknya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADA-NADA ASMARA || END√
JugendliteraturNada pikir, ia sudah tahu segalanya tentang Kalil. Nada pikir, ia paham bagaimana seluk-beluk lelaki itu setelah mereka menjalani hubungan selama satu tahun. Namun ternyata, Nada salah. Ia tak pernah tahu apapun tentang Kalil. Bahkan ketika hubungan...